Bab 5
Setelah pelelangan berakhir, para tamu pergi dalam kelompok-kelompok kecil.
Ketika Hansen sibuk dikelilingi para tamu yang mengajaknya berbincang, Jessy memanfaatkan kesempatan itu untuk mendekati Marsha.
"Marsha, sekarang kamu pasti sudah bisa melihat dengan jelas, 'kan?" bisik Jessy, bibir merahnya tersenyum penuh kemenangan. "Orang yang disukai Hansen itu aku. Kalau kamu terus memaksa, itu hanya akan membuatnya makin muak."
Marsha menatapnya dengan tenang, sorot matanya datar. "Keinginanmu akan terpenuhi."
"Maksudmu apa?" Jessy mengerutkan alis.
Marsha tidak menjawab, dia berbalik dan bersiap pergi.
"Ah ... "
Tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang.
Marsha menoleh, dan melihat Jessy terguling dari tangga!
"Marsha!"
Teriakan marah Hansen bergema di aula.
Dia berlari mendekat dan mendorong Marsha dengan keras hingga dia terhuyung menabrak dinding.
"Apa salah Jessy padamu? Kenapa kamu perlakukan dia seperti itu?" Dia bertanya dengan suara keras, tatapannya sedingin es. "Kalau kamu kesal karena aku nggak bisa melindungimu waktu itu, marahlah padaku! Kenapa harus melukai dia?"
Marsha menempelkan punggungnya ke dinding yang dingin, suaranya lembut tapi tegas. "Aku nggak mendorongnya."
"Hansen ... " Jessy memegang lengan Hansen dengan lemah. "Aku sendiri yang ceroboh ... bukan salah Marsha ... "
"Kamu nggak perlu membela dia!" Hansen menatap Marsha dingin, kemudian membungkuk dan mengangkat Jessy. "Aku nggak akan mengurusmu, kamu pulang sendiri saja."
Marsha berdiri di tempatnya, menatap punggung Hansen yang tergesa-gesa membawa Jessy pergi.
Jas hitamnya masih menutupi Jessy, dengan sikap hati-hati seolah sedang memegang sesuatu yang berharga.
Dia selalu begitu.
Setiap Jessy menangis, yang salah pasti selalu dia.
Marsha menyentuh tiket pesawat di sakunya. Penerbangan ke Kota Lyndora seminggu lagi akan membawa semua cinta dan sakitnya pergi.
Kini, Hansen tidak perlu lagi menganggap Marsha sebagai beban.
Sebab sebentar lagi, beban itu akan benar-benar hilang dari dunianya.
Lokasi acara pelelangan itu jauh dari vila, dan berada di tempat terpencil, Marsha sama sekali tidak bisa memanggil taksi, sehingga dia harus berjalan kaki pulang sendiri.
Hujan mulai turun ketika dia masih berada di pertengahan jalan.
Hujan yang dingin membasahi rambut dan pakaiannya, sepatunya penuh dengan air, setiap langkah rasanya seperti menapak di atas pisau.
Setibanya di rumah, telapak kakinya sudah lecet berdarah, dan tubuhnya mulai terasa panas.
Dia memaksakan diri mencari obat, merawat luka seadanya, lalu terlelap dalam kelelahan.
Keesokan harinya, dia terbangun karena keributan di lantai bawah.
Begitu turun, dia mendapati ruang tamu dipenuhi dengan barang-barang Jessy.
Suara Hansen terdengar dari ruang tamu, "Orang tua Jessy pergi ke luar negeri, nggak aman kalau dia tinggal sendirian, jadi untuk beberapa hari ini dia akan tinggal di sini dulu. Tolong kamu jaga sikap ya, jangan lagi punya pikiran macam-macam."
Marsha berpegangan pada susuran tangga, berjalan turun dengan wajah pucat. "Aku nggak akan begitu."
Dia tidak akan lagi bermain-main dengan pikiran orang lain.
Dia juga tidak akan menyukai Hansen lagi.