Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Mahkota phoenix itu disimpan dalam brankas, hanya pemindaian iris mata Aruna yang dapat membukanya. Setelah mengeluarkan mahkota phoenix itu, dia mengusap lembut kelopak-kelopak kaca yang membentuknya. Tatapannya menjadi jauh dan melamun. Saat Julian menghadiahkan mahkota phoenix itu padanya, dia mengira telah menemukan pelabuhan seumur hidupnya. Dia memeluk Julian sambil menangis bahagia. Andai bukan karena kesempatan untuk mengulang segalanya, dia takkan pernah melihat kebengisan di balik kelembutan sikap Julian. Hatinya telah mati dan sudah tidak peduli dengan mahkota phoenix ini. Namun dia tidak akan menyerahkannya pada Aurora. Aruna menundukkan pandangan, menutupi gejolak di hatinya dan membawa mahkota itu turun. Pada detik ketika Aurora tak sabar menjulurkan tangan untuk mengambilnya, Aruna tiba-tiba mengangkat tangan dan menghantamkan mahkota itu ke lantai. Untaian manik-manik mutiara pada rumbaiannya putus satu per satu, sementara kelopak bunga kaca yang membentuknya hancur berkeping-keping. Menatap Aurora yang terpaku di tempat, nada Aruna tetap tenang namun menyiratkan ejekan. "Seorang pencuri, kamu juga pantas meminta mahkota phoenix milikku?" Ekspresi Julian dan Lucian seketika berubah. Aurora termangu beberapa saat, lalu matanya memerah. "Kak Aruna, kalau nggak mau memberikannya padaku nggak apa-apa. Tapi bagaimana bisa Kakak merusaknya? Apakah kamu nggak merasa bersalah pada Kak Julian melakukan ini?" Melihat Aurora dengan air mata bergulir seperti bunga pir tertiup hujan, alis Julian dipenuhi amarah yang pekat. "Runa, kamu sudah keterlaluan. Menurut aturan keluarga, merusak pusaka turun-temurun harus dihukum cambuk lima puluh kali. Di depan Kakak, bagaimana aku bisa membelamu?" Wajah Aruna tetap tenang. "Nggak masalah. Silakan kalian cambuk." Ketika menatap kehampaan di dalam mata Aruna, dada Julian tiba-tiba dipenuhi kegelisahan. Dengan suara dingin, dia memerintahkan para pengawal untuk melaksanakan hukuman keluarga. Cambuk yang berkilat dingin itu menghantam dengan keras, disertai suara siulan yang tajam. Tubuh Aruna menegang seketika. Dari tenggorokannya meluncur sebuah erangan pilu bak anak hewan yang terluka, tapi dia segera menggigit bibir dan menelannya kembali. Bruk, bruk .... Suara cambukan bergema tanpa henti di dalam vila, baru berhenti setelah genap lima puluh kali. Aruna terjatuh ke lantai, dengan bekas cambukan bersilang di sekujur tubuh. Darah segar yang mengalir hampir sepenuhnya mewarnai karpet di bawahnya. Namun sekalipun demikian, sepanjang proses itu dia tidak mengeluarkan satu pun jeritan kesakitan atau memohon belas kasihan. Melihat tubuh Aruna yang terus gemetar karena kesakitan, rasa gelisah tak jelas dalam diri Julian justru semakin kuat. Dia menggendong Aruna kembali ke kamar, lalu memanggil dokter pribadi untuk mengobati lukanya. "Runa, jangan salahkan aku. Di hadapan kakak, aku nggak bisa berlaku memihak." Aruna sangat ingin bertanya, apakah Julian benar-benar tak bisa memihak, atau hanya ingin melampiaskan amarah demi Aurora. Namun pada akhirnya, dia tetap tak mengucapkannya. Karena ... sudah tidak ada artinya lagi. Dalam tiga hari berikutnya, Julian selalu menemaninya. Hingga pagi itu, setelah Julian meneteskan obat mata untuknya, dia berkata akan pergi ke perusahaan sebentar dan memintanya pergi ke rumah sakit sendiri untuk pemeriksaan ulang. Aruna naik mobil bersama para pengawal, tidak disangka di tengah jalan disergap dan diculik, lalu dikurung di sebuah klub eksklusif. Yang menculiknya adalah tiga pria berwajah mesum. Begitu pintu tertutup, ketiganya menunjukkan senyum menjijikkan, lalu berebut merobek pakaian di tubuh Aruna. Aruna sangat ketakutan, berusaha mendorong dan melawan sekuat tenaga. "Hentikan! Apa yang ingin kalian lakukan?" "Lepaskan aku!" Beberapa pria itu terus tertawa rendah tanpa henti. "Nona Aruna, tenang saja. Kami hanya berpura-pura, nggak akan menyentuhmu. Kamu bekerja samalah, kami juga bisa lebih cepat menerima bayaran." "Apa boleh buat. Siapa suruh kamu menyakiti wanita kesayangan Tuan Muda Lucian, bahkan merekam video dan menyebarkannya! Diberi pelajaran juga sudah sepantasnya." "Kalau kamu begitu suka merekam video pribadi, pasti di belakang juga sangat genit. Membiarkan kami bersenang-senang, apa salahnya?" Aruna berlari ke luar seperti orang gila, tapi rambutnya ditarik hingga diseret kembali. Ketiga pria itu menindih tubuh Aruna, merobek pakaiannya dalam hitungan detik, lalu memaksanya ke berbagai posisi yang sangat merendahkan, sambil dengan gila memotretnya. Selama itu, Aruna berkali-kali melawan, menendang, memukul, mencakar, namun semuanya sia-sia. Tiga jam kemudian, siksaan merendahkan itu akhirnya berakhir, ketiga pria itu pergi dengan langkah congkak. Aruna mengambil sehelai kain dari lantai dan dengan gemetar menutupi tubuhnya, lalu tak mampu menahan diri lagi dan akhirnya menangis tersedu-sedu. Di tengah pandangannya yang mengabur, pintu kamar didorong terbuka dengan keras. Julian melangkah masuk dengan cepat, menggendong Aruna. Sorot matanya menyiratkan ejekan, tapi suaranya terdengar lembut. "Runa, jangan takut. Aku akan membawamu pergi dari sini."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.