Bab 7
Tak tahu berapa lama waktu berlalu, ketika tersadar lagi, Aruna mendapati dirinya berada di rumah sakit.
Dua perawat sedang bercakap-cakap di sampingnya.
"Kedua pria tampan di kamar 608 sebelah itu benar-benar memanjakan berlebihan, ya? Nona Aurora itu hanya mengalami sedikit luka ringan, tapi mereka sampai menggendongnya setiap kali ke toilet."
"Benar sekali. Barusan Nona Aurora menuang segelas air sendiri, kedua pria tampan itu hampir panik setengah mati, seolah takut sesuatu yang buruk menimpanya."
"Sebaliknya, Nona Aruna ini benar-benar kasihan. Sudah seharian, bukan? Bahkan tak ada satu pun yang menjenguk."
"Benar sekali. Sesama manusia, tapi nasib bisa begitu berbeda."
Aruna meletakkan tangan di dada. Hatinya yang dulu terasa perih hingga seakan tercabik, kini telah benar-benar mati rasa.
Cintanya pada Julian akhirnya padam sepenuhnya.
Tak lama kemudian, Julian berjalan masuk.
Melihat Aruna yang terbaring di ranjang, pucat dan diam tanpa suara, dia mau tidak mau tertegun sejenak.
Dalam ingatannya, Aruna selalu begitu ceria. Begitu melihatnya, dia akan tersenyum cerah dan manja mengulurkan tangan meminta pelukan darinya.
Dan memanggilnya dengan lembut.
Namun entah sejak kapan, senyum itu tak pernah lagi tampak di wajahnya.
Saat berhadapan dengannya, tatapan Aruna sangat tenang tanpa sedikit pun gelombang emosi.
Apakah hukumannya belakangan ini terlalu kejam?
Namun kalau Aruna tidak sekejam itu menyakiti Aurora, bagaimana mungkin dia akan menghukumnya?
Julian menekan bibirnya kuat-kuat, lalu mendekat dan menuangkan segelas air untuk Aruna.
"Aurora terluka parah. Beberapa hari ini aku harus merawatnya bersama kakak. Aku sudah menyewa perawat untukmu, sebentar lagi dia akan datang. Jika ada perlu, panggil saja dia langsung."
Aruna tidak menerima gelas itu, menatapnya sekilas, lalu mengangguk pelan. "Aku mengerti."
Sebelum pergi, entah dorongan apa yang membuat Julian menoleh. Dia melihat Aruna sudah memejamkan mata dan tertidur.
Di bawah cahaya matahari, wajah Aruna bahkan lebih pucat daripada salju seperti embun pagi yang seakan akan lenyap kapan saja.
Pasti hanya ilusinya.
Dia seseorang yang nyata dan hidup, mana mungkin bisa menghilang? Lagi pula, Aruna begitu mencintainya, tidak mungkin rela meninggalkannya.
Aruna berbaring di rumah sakit selama satu hari. Ketika memutuskan keluar tanpa mengindahkan larangan dokter, dia berpapasan dengan Aurora yang datang dengan sikap menang dan berniat merendahkannya.
Dia menyalakan fitur rekaman di ponselnya tanpa menunjukkan emosi apa pun.
"Aurora, kamu datang untuk apa? Untuk menertawaiku?"
Aurora melihat Aruna dari atas sampai bawah yang menyedihkan. Dengan wajah penuh kepuasan, dia berkata, "Benar. Aku datang untuk melihat betapa menyedihkannya hidupmu."
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan?"
"Pergi dari Keluarga Stanley, kembalikan semua yang seharusnya menjadi milikku. Kalau nggak, aku akan mencari cara untuk menghabisimu seperti sebelumnya."
Aruna menatapnya dengan tenang. "Jadi kamu sama sekali nggak mencintai Lucian maupun Julian? Semua jebakan yang kamu buat hanya untuk memaksa aku pergi?"
"Tentu saja aku mencintai mereka. Aku mencintai kekayaan mereka, kedudukan mereka dan semua hal yang bisa mereka berikan padaku. Dan aku juga mencintai bagaimana mereka bisa kupermainkan sesukaku."
"Aku mengerti. Aku akan menuruti keinginanmu, pergi dari Keluarga Stanley dan Julian."
Setelah berkata demikian, Aruna menyeret langkahnya yang lambat namun teguh, berbalik dan pergi.
Dalam satu jam setelah pergi, Aruna mendatangi tempat lelang dan menyalin video saat Aurora melukai dirinya sendiri. Video itu, bersama laporan dan rekaman percakapan barusan, dia letakkan di ruang kerja Julian.
Pada jam kedua, Aruna naik taksi menuju bandara. Pada saat yang sama, memblokir dan menghapus seluruh kontak Julian dan Lucian.
Pada jam ketiga, Aruna bersama Evander menaiki pesawat menuju luar negeri.
Saat pesawat menembus langit, Aruna mencabut kartu SIM, mematahkannya, lalu membuangnya ke dalam tempat sampah.
Julian Stanley, selamat tinggal. Semoga sepanjang hidup kita tak pernah bertemu lagi.