Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Pada hari perceraian, Karin Norman sengaja memakai baju lengan panjang merah dan merias wajahnya cukup lama, penampilannya sama persis seperti dua tahun yang lalu. Pukul sepuluh pagi, dia tiba tepat waktu di depan Kantor Urusan Sipil. Fernando Suntaro sudah menunggu di sana. Di awal bulan September, pria itu mengenakan jas abu-abu muda. Karena postur tubuhnya yang tinggi dan wajah tampannya, cukup dengan berdiri di sana saja sudah menarik perhatian orang-orang. "Bawa KTP?" tanyanya. Karin mengangguk. "Bawa." "Oke." Fernando melangkah masuk ke lobi. Karin teringat dua tahun lalu saat mereka mendaftarkan pernikahan. Mereka berjalan bergandengan tangan dengan bahagia. Saat mengucapkan janji, matanya Fernando bahkan berkaca-kaca, pria itu memegang tangannya dan berjanji akan menyayanginya seumur hidup. Dan sekarang ... Petugas pendaftaran perceraian bertanya, "Apakah kalian yakin nggak ada kemungkinan untuk berdamai?" Karin menjawab, "Ya." Fernando menjawab, "Ya." Tidak ada anak, tidak ada sengketa harta benda. Staf memberikan stempel dan menandatangani, prosedurnya sangat sederhana. Karin memandangi sertifikat perceraian di tangannya, matanya menatap dengan sedih. Waktu yang sama, tempat yang sama, orang baru menggantikan yang lama. Pria yang dulu berjanji akan menjaganya seumur hidup, akhirnya malah mengundurkan diri di tengah jalan. Lebih baik bercerai. Selama dua tahun ini, tidak ada satu hari pun dia merasa bahagia. Keluarga Suntaros adalah keluarga kaya, sementara dirinya hanya berasal dari keluarga biasa. Menikah dengan Fernando sudah merupakan keberuntungan baginya. Agar bisa diterima di Keluarga Suntaro, dia mengundurkan diri dari kantor, memasak setiap hari, mengurus segala hal di rumah. Namun, setelah dua tahun mencoba untuk hamil, dia tetap tidak bisa mengandung. Ibu mertuanya cerewet, adik iparnya juga menyebalkan, hubungannya dengan mereka tidak baik, hubungan suami istri juga jadi tidak harmonis. Demi Fernando, dia berusaha menahannya. Namun belum lama ini, mantan kekasih Fernando, Sherin Ananda, kembali dari luar negeri. Pada akhirnya dia tetap kalah pada cinta pertama suaminya itu. Dalam hubungan segitiga ini, dirinya yang tidak dicintai, jadi dia memilih untuk melepaskan. Keduanya keluar dari Kantor Urusan Sipil, tanpa adanya komunikasi di antara mereka. Sherin sedang menunggu di luar, dia mengenakan gaun putih, rambut panjangnya berkibar seperti peri. Dia tidak melihat Fernando, matanya yang memerah saat ini malah menatap Karin, dia terlihat menyesal. "Kak Karin, aku benar-benar minta maaf, aku nggak tahu kenapa hal ini bisa terjadi ... aku benar-benar nggak bermaksud merusak pernikahanmu." Karin membuka mulutnya, suaranya terdengar lemah. "Nggak perlu minta maaf ... " Belum selesai bicara, Fernando sudah memandangnya dengan tidak senang. "Perceraian ini adalah keputusanku, nggak ada hubungannya dengan Sherin. Kalau kamu nggak suka, salahkan aku, jangan salahkan Sherin." Karin terdiam, dalam sebulan ini dirinya sudah marah-marah, memohon, hingga akhirnya dia hanya bisa diam karena mati rasa. Sherin berkata dengan tidak senang, "Fernando, Kak Karin nggak salah, kita yang bersalah padanya. Kamu nggak boleh berbicara seperti itu pada Kak Karin." Fernando memandang dengan penuh kasih sayang dan tidak berdaya. "Kamu ini terlalu baik hati, bagaimana jadinya nanti kalau aku nggak ada di sampingmu?" Karin melihat mereka saling bermesraan, hatinya terasa seperti ditusuk pisau. Pada hari ulang tahun pernikahan kedua mereka, Fernando dan Sherin ketahuan di kamar hotel olehnya. Sherin menangis dan berlutut meminta maaf, sementara Fernando melindungi Sherin seperti ini. Bagi Fernando, Sherin adalah orang yang baik hati dan tidak bersalah. Apakah wanita yang benar-benar tidak bersalah akan masuk ke kamar hotel dengan seseorang pria yang sudah berkeluarga? Karin tidak membahasnya bukan berarti dia tidak mengerti. Hanya saja dalam sebuah hubungan, ketika pasangan sudah berpindah hati, menahannya atau bertengkar tidak ada gunanya. Dia tersenyum pahit. "Kalian masih berjodoh, aku seharusnya mengucapkan selamat pada kalian, semoga kalian bahagia." Sikap Karin ini justru membuat Fernando terkejut dan menatapnya. Karin mengangguk padanya. "Selamat tinggal." Baru saja hendak berbalik, Fernando tiba-tiba berbicara, "Kamu nggak meminta rumah, mobil atau harta saat bercerai, lalu hidupmu bagaimana ke depannya?" Langkah Karin berhenti sejenak. Fernando mengeluarkan selembar cek. "Ambil saja ini, selama dua tahun ini kamu telah membantuku banyak hal." Ekspresinya agak rumit. "Hiduplah dengan baik ke depannya. Kalau nanti ada masalah yang nggak bisa kamu diatasi, kamu bisa menghubungiku, asalkan nggak merepotkan, aku akan membantumu." Karin memandang tangan di depannya, persis seperti saat menggenggamnya dulu, putih dan ramping dengan tulang jari yang jelas. Cincin pernikahan yang dipakai selama dua tahun sudah pria itu lepas. Dia menolak uluran itu. "Nggak perlu." Sherin dengan wajah penuh belas kasihan berkata, "Kak Karin, terima saja agar aku juga nggak merasa terlalu bersalah ... " Karin menggelengkan kepala. "Sungguh, nggak perlu." Tangan Fernando tergantung di udara, melihat sosoknya semakin menjauh, hatinya tiba-tiba merasa tidak enak. Sherin berkata dengan makna bersalah, "Fernando, menurutmu apakah Karin akan benci pada kita?" Fernando mengusap kepalanya. "Nggak akan." Mata Sherin memerah, suaranya terdengar sedih tapi tegas. "Kalau dia menyalahkanku aku akan terima. Demi dirimu, aku bersedia melawan seluruh dunia." Makna haru terlihat di mata Fernando saat memeluknya, dia menghela napas dan berkata, "Dasar gadis bodoh." Dalam cinta tidak punya ruang untuk orang ketiga. Karin membelakangi mereka berdua, akhirnya matanya pun memerah. Cinta tidak mengenal siapa yang datang lebih dulu, tapi jika dia tahu sejak awal bahwa di hati Fernando selalu ada wanita lain, pasti dia tidak akan pernah menyetujui pernikahan ini. Padahal pria itu yang bilang suka duluan, dia yang melamarnya, berjanji akan memberinya keluarga dan melindunginya seumur hidup. Ternyata cinta tidak hanya bisa hilang, tapi juga bisa dipalsukan. Karin berhenti di samping tiang, mengusap air mata di wajahnya, lalu mengeluarkan ponsel untuk menelepon seseorang. "Halo, sudah sampai? Aku ada di pintu masuk, pakai baju merah." Beberapa menit kemudian seorang pria bertubuh tinggi berjalan menghadapinya dengan cahaya di belakangnya. "Nona Karin." "Tuan Xander?" Karin terkejut sejenak. Kemarin di bar, suasananya remang-remang sehingga membuatnya tidak bisa melihat wajah lawan bicaranya dengan jelas. Baru sekarang dia menyadari pria ini terlalu tampan. Pihak lawan mengenakan kemeja hitam dan celana bahan hitam, fitur wajah yang dingin, garis rahang yang tajam dan proporsional, mata hitam yang dalam seperti kolam tidak berujung, penuh misteri, dari atas ke bawah tubuhnya memancarkan aura yang sangat menawan. Setelah terpana sesaat, Karin menarik arah pandangannya dan bertanya dengan sopan, "Sekarang ada waktu luang?" Mata dan hidung Karin masih memerah, suaranya juga agak serak. Xander menatapnya, lalu beberapa detik kemudian mengangguk. "Ada." Karin berkata, "Kalau begitu ayo." Keduanya berjalan berdampingan kembali ke lobi Kantor Urusan Sipil. Tidak disangka mereka langsung bertemu dengan Fernando dan Sherin. Sherin berteriak dengan kaget, dia menutup mulutnya. "Kak Karin, ini pacar barumu?" Langkah Karin tanpa sadar terhenti. Fernando mengamati Xander sekilas, ekspresi wajahnya berubah muram, dia mengerutkan alis memandang Karin. "Apa lagi yang kamu inginkan? Hubungan kita sudah selesai, lebih baik kamu bersikap dewasa, aku nggak mau sampai ribut-ribut." Dia tidak merasa Karin akan mencari pacar baru, karena seminggu yang lalu wanita ini masih bertanya padanya dengan mata memerah kenapa hubungan mereka tidak bisa kembali seperti dulu lagi.
Bab Sebelumnya
1/100Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.