Bab 2
Hati Karin hancur berkeping-keping.
Setelah menjadi suami istri selama dua tahun, Fernando mungkin tidak pernah benar-benar mengenalnya.
Bersikap dewasa ... apakah dia belum cukup dewasa?
Ketika pernikahan mereka hancur dia berusaha memperbaikinya. Dari awal hingga akhir, yang ingin diselesaikannya hanyalah masalah antara dirinya dan Fernando, tidak pernah sekalipun melibatkan Sherin.
Jika dia benar-benar ingin mempermasalahkan hal ini, ada banyak cara untuk menuntut mereka.
Tanpa perceraian, Sherin akan selamanya menjadi wanita simpanan, dicaci maki dan akan hidup dengan memalukan.
Namun, dia tidak melakukannya.
Sebaliknya, dia memilih melepaskan dan membiarkan mereka bersama.
Sekarang setelah bercerai, Fernando masih takut dirinya akan kembali mengganggu mereka.
Hal ini membuat Karin ingin tertawa sekaligus menangis.
Tiba-tiba ada tangan yang meraih tangannya dari samping.
Suara rendah pria terdengar di sana. "Inikah mantan suamimu yang berengsek dan selingkuhannya yang nggak tahu malu itu?"
Pria itu seperti sinar yang menyelamatkan Karin dari kesedihan, dirinya tertegun sejenak.
Xander melirik Sherin dengan ekspresi tidak percaya. "Seleranya biasa saja."
Mata Sherin langsung memerah.
Ekspresi Fernando seketika berubah masam, dia melirik Karin dengan dingin. "Menceritakan urusan keluarga kepada orang luar seenaknya, apa-apaan kamu ini? Cepat minta maaf pada Sherin!"
Sherin segera berkata dengan gelisah, "Fernando, aku nggak apa-apa, jangan menyulitkan Kak Karin."
Pandangan Fernando terlihat iba. "Sherin, aku nggak akan membiarkanmu menderita karenaku."
Fernando kembali memandang Karin, sorot matanya menjadi lebih tajam. "Minta maaf pada Sherin, kalau nggak, aku nggak akan membiarkanmu begitu saja."
Karin dan Fernando berdiri berhadapan, tubuh Fernando yang tinggi dan besar memancarkan aura mengintimidasi, membuat Karin menundukkan kepalanya.
Dia membuka mulut, lalu menutupnya lagi.
Fernando ingin membela wanita yang dicintainya, apa lagi yang bisa dia katakan?
Dirinya hanyalah orang biasa yang tidak memiliki apa-apa, mau melawan Keluarga Suntaro?
Saat Karin berusaha menahan rasa sakit dan berdamai dengan situasi, pria di sampingnya tiba-tiba mengulurkan tangan, menariknya ke belakang.
"Aku yang berbicara tadi, maka aku yang seharusnya meminta maaf."
Xander menatap Sherin, suaranya yang berat mengandung sedikit makna meledek yang ambigu. "Maaf, aku pikir kamu melakukan banyak operasi plastik karena nggak puas dengan penampilanmu sendiri. Kalau hal ini menyinggungmu, maka aku minta maaf."
"Aku ... aku nggak ... " Air mata Sherin langsung menetes. "Aku sama sekali nggak melakukan operasi plastik, wajahku memang seperti ini sejak awal ... "
Fernando segera memeluk dan menghiburnya dengan suara lembut. "Aku tahu, kamu memang cantik sejak awal."
Sherin langsung menangis tersedu-sedu karena merasa tidak adil.
Fernando memeluknya, matanya menatap penuh amarah. "Karin, kemarilah! Siapa dia sampai berani ikut campur urusan keluarga kita? Kalau hari ini kamu nggak meminta maaf pada Sherin, jangan salahkan aku nanti bertindak kasar!"
Xander dengan kuat menahan Karin.
Dia menatap Fernando, tersenyum sinis. "Urusan keluarga? Karin sudah bercerai denganmu, aku tunangannya, kami baru satu keluarga. Tolong jaga sikapmu."
"Tunangan?" Tubuh Fernando gemetar marah. "Karin, kita baru saja bercerai! Sejak kapan kalian mulai berhubungan? Kamu menghianatiku?"
"Nggak!"
Mata Karin tiba-tiba memerah, dia tidak bisa menahan diri lagi, jadi dia maju dari belakang Xander. "Kamu pikir semua orang sama sepertimu? Dalam pernikahan ini, aku selalu setia padamu dan bersikap baik pada Keluarga Suntaro, jadi jangan sembarangan memfitnahku!"
Sorot mata Fernando menjadi dingin. "Aku kenapa? Aku juga punya hak mencari cinta sejati, perceraian ini sudah kamu setujui, sekarang malah dibahas lagi, pantas nggak?"
Karin menggigit giginya menahan emosi, dia tidak ingin menangis.
Mata Sherin masih memerah, dia berkata dengan khawatir, "Kak Karin, aku tahu kamu sakit hati Fernando bercerai denganmu, aku juga merasa bersalah, tapi nggak peduli semarah apa dirimu, pernikahan itu masalah penting, kamu nggak bisa memilih orang dengan sembarangan ... "
Xander yang berdiri di samping tiba-tiba berbicara dengan suara berat, "Setelah merusak hubungan orang baru bilang merasa bersalah, jadi pelakor malah merasa bangga?"
Ekspresi Sherin langsung membeku.
Fernando hendak marah, tapi dihentikan oleh Xander dengan nada sedikit kesal. "Mau suruh dia minta maaf lagi? Jangan menyulitkan seorang wanita, nanti cari saja aku, ini kartu namaku."
Dia mengeluarkan kartu nama dan memberikannya kepada Fernando. "Kita bicarakan nanti, jangan sampai kami telat mendaftarkan pernikahan kami."
Setelah berhenti sejenak, lalu dia tertawa. "Bagaimanapun, terima kasih sudah bercerai dengan Karin. Kalau nggak sibuk, setelah kami selesai mengurusi pernikahan kami, aku akan mengirim dua kotak permen pernikahan pada kalian."
Setelah berkata demikian, dia memeluk Karin dan berbalik.
Fernando terkejut melihat mereka berdua berjalan berdampingan masuk ke ruang pendaftaran pernikahan.
"Karin, berani-beraninya dia?!" batin Fernando.
Sherin merasa sedih sekali. "Kak Karin pasti masih marah padaku, kalau nggak kenapa dia menikah dengan orang asing begitu saja?"
Wajah Fernando menjadi pucat, dia langsung tertawa sinis. "Kamu tahu betul sifatnya itu selalu tenang, mana mungkin dia menikah dengan pria asing? Pasti dia sudah lama berhubungan sama pria itu!"
Wanita yang begitu hina, sia-sia selama dua tahun ini dirinya pernah tertarik padanya!
Fernando menunduk melihat kartu nama di tangannya, tertulis: Sales Asuransi Sehat Bersama, Xander Alexander.
Tanpa sadar tangannya menggunakan tenaga meremas kartu nama itu dan dibuang ke tempat sampah.
Cuma sales asuransi!
Fernando tersenyum sinis, mengeluarkan ponsel dan menelepon asistennya. "Jadwalkan pertemuan dengan bos Asuransi Sehat Bersama, tanyakan kapan dia punya waktu, aku ingin makan malam bersamanya."
Dia ingin melihat, pasangan berengsek ini bisa membuat kejutan apa!
Ruang pendaftaran pernikahan. Karin dan Xander menandatangani dokumen, lalu bersumpah dengan saling berhadapan.
Dulu Karin menganggap sumpah di sini sangat sakral, seolah-olah melanggar sumpah akan disambar petir.
Sekarang ...
Seberapa jujur orang-orang yang mengucapkan kata "saling mendukung dan mencintai seumur hidup" di sini?
Begitu keluar dari Kantor Urusan Sipil, dirinya dan Xander masing-masing memegang buku merah.
Baru saja menikah, keduanya masih belum akrab, Karin dengan sopan berkata, "Sebentar lagi aku ada wawancara, kamu mau pulang sendiri?"
Dia menikah kilat dengan pria asing bukan karena impulsif semata.
Nenek dari anak yang dia biayainya selama tiga tahun ini meninggal, anak itu dimasukkan ke panti asuhan.
Karin terus mempersiapkan proses adopsi, meski sudah bercerai dengan Fernando, dia tidak berniat menyerah pada hal ini.
Dan untuk adopsi, syarat yang paling utama adalah harus punya buku nikah ini.
Ditambah lagi dengan pindah dari rumah Fernando, dia untuk sementara ini tidak punya tempat tinggal, Xander memiliki sebuah apartemen kecil di pusat kota yang kebetulan bisa menyelesaikan masalah mendesaknya ini.
Sedangkan Xander, sebenarnya bukan pria sejati, dia gay, karena sudah di usia menikah, keluarganya terus menjodohkannya, dan dia sangat membutuhkan pernikahan darurat.
Karena itu kemarin malam di bar ketika bertemu, mereka langsung cocok.
Xander tersenyum sopan padanya dengan sikap yang sama-sama menjaga jarak. "Perusahaan asuransi sedang mengadakan acara hari ini, aku izin keluar sebentar, nanti baru kembali ke kantor."
Karin sudah tahu kerjaannya sejak kemarin, lalu dia mengangguk. "Kalau begitu aku pergi dulu."
Dia berbalik dan segera naik ke bus, tidak menyadari bahwa pria di belakangnya menatap punggungnya cukup lama.
Setelah bus benar-benar menjauh, barulah Xander menarik arah pandangannya, membuka buku nikah, melihat dua nama yang berjajar di dalamnya dengan senyuman kecil di sudut bibirnya.
Tidak ada yang tahu sudah berapa lama dia menunggu hal ini.