Bab 7
Entah kapan tiga orang itu pergi, Anna tidak tahu. Dia masih duduk sendirian di pemakaman sampai ibunya menelepon.
[Kamu pergi ke mana? Cepat pulang. Suamimu menggila. Dia bilang mau menikahi kakak iparmu!]
Anna tidak punya tenaga untuk membalas ucapannya. Tamparan Ivan di depan makam orang tua pria itu tadi sudah memberitahukan segalanya.
Meskipun dia pulang sekarang, semuanya akan sia-sia.
Tapi karena Mita memaksa, Anna pun terpaksa bangkit berdiri dengan susah payah.
Sulit mendapatkan taksi di sekitar pemakaman. Anna baru sampai rumah saat ketegangan yang memuncak sebelumnya sudah mereda.
Air mata Mita hampir kering, amarah serta kesedihannya yang terdengar dari seberang telepon tadi juga sudah mereda.
Riki masih akan tetap memakai marga Roslan, dan Ivan juga akan tetap memperhatikan kepentingan Keluarga Roslan saat mengembangkan bisnis baru.
Namun, anak kedua yang ada di perut Gina kelak harus bermarga Farid.
Kedua belah pihak sudah menyepakati hal ini setelah bernegosiasi bersama.
Hadi dan Mita akhirnya setuju. Riki dan Gina pun sangat senang.
Waktu Anna pulang, pertengkaran babak kedua kembali dimulai.
"Aku nggak mau anak keduaku nanti menganggap wanita lain sebagai ibunya. Aku harap, Anna mau bekerja sama dengan cerai dariku."
Ivan mengatakannya sambil mengulurkan surat cerai dengan ekspresi dingin.
Anna menatap lurus ke arah surat cerai tersebut. Suara tangisan serak terdengar dari tenggorokannya.
Gina merasa bersemangat, dia sengaja menunduk untuk menutupi kesenangannya. Sementara Hadi dan Mita hanya diam seolah setuju.
Anna tersenyum pilu. Dia menggenggam erat surat cerai di tangannya.
Sedikit harapan di mata Ivan pun sirna seketika.
Dia berubah marah dan mencengkeram erat pergelangan tangan Anna. "Kalau memang mau cerai, berarti kamu harus mengembalikan harta peninggalan keluargaku."
Ada sebuah gelang giok melingkar di tangan Anna. Dulu Ivan sendiri yang memberikan gelang itu padanya. Pria itu memberikannya saat menyatakan perasaan. Gelang itu menjadi simbol pengikat cinta mereka.
Anna menunduk. Kedua matanya sudah berkaca-kaca, air matanya makin sulit dibendung. Tapi dia tetap berusaha menahan tangisnya.
Dia kemudian mengepalkan tangan dan melepaskan gelang giok itu pelan-pelan, seolah ikut melepaskan cintanya perlahan.
Siapa yang bisa disalahkan kalau sudah jadi begini?
Dia terlalu mudah memercayai orang lain. Dia sendiri yang sudah mendorong suaminya menjauh dan melukai hati pria itu.
Semua yang terjadi sekarang merupakan dampak dari perbuatannya sendiri.
"Bagus, bagus sekali." Ivan tertawa sinis. Dia malah tiba-tiba merobek surat cerai hingga berkeping-keping.
"Nggak asyik kalau membiarkanmu mendapatkan semua yang kamu mau dengan mudah."
Orang-orang kaget. Tapi Ivan sama sekali tidak memedulikan mereka. Dia malah melangkah pergi meninggalkan kekacauan ini.
Anna benar-benar lelah. Dia tidak sanggup memikirkan masalah ini lagi ataupun yang lainnya.
Setibanya di kamar, dia mulai membereskan barang-barangnya.
Sekarang dia baru sadar. Setelah mengorbankan pernikahannya sendiri demi Keluarga Roslan. Keluarga itu malah mau membuangnya.
Kalau begitu, dia juga enggan tinggal di rumah ini lagi.
Saat sedang berkemas, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dari luar.
Gina mengelus perutnya yang masih belum terlalu buncit. Dia menyibakkan rambut guna memamerkan gelang giok di tangannya. "Ivan marah gara-gara kamu. Tapi dia sudah mengakuiku jadi pasangannya. Lihat, ini kan gelang peninggalan Keluarga Farid. Cantik sekali ya kalau kupakai?"
Anna sudah malas menanggapi ocehannya, "Kamu nggak perlu ke sini lagi untuk memanas-manasiku. Aku akan segera pergi dari sini dan nggak akan mengganggu kalian lagi. Sekarang puas ... "
Sebelum menyelesaikan kalimatnya, Gina tiba-tiba menjerit, "Aduh!" Wanita itu lalu jatuh ke lantai sambil memegangi perut. "Anakku!"
Segera setelah itu, Ivan berjalan masuk. "Gina!"
Pria itu langsung menggendongnya dan bergegas pergi secepat kilat. Bahkan tanpa menoleh ke arah Anna sedikit pun.
Sesaat kemudian, suara deru mesin mobil pun terdengar.
Anna tersenyum pedih. Air mata langsung menghapus senyumannya.
Mita masuk ke kamar Anna saat matahari mau terbit.
Dia berusaha menghibur Anna, "Aku tahu kamu marah dan mau membela Rian. Tapi memangnya apa lagi yang bisa kita lakukan sekarang? Kita harus lebih mengutamakan Riki."
Anna mendongak kaget. Sebelum sempat mengatakan sesuatu, dia sudah melihat sosok Ivan yang pulang dengan panik.
Kedua mata pria itu tampak suram. Jenggotnya acak-acakan. Sama sekali tidak ada kehangatan di sorot matanya yang sedingin es.
"Rupanya benar kata Gina. Kamu cuma peduli pada kakakmu saja."
"Kalau begitu, sudah nggak ada gunanya lagi mempertahankan pernikahan kita."
Ivan menyodorkan surat cerai yang baru. Kali ini dia sudah lebih dulu menandatanganinya.
Anna menatap Mita yang terlihat berusaha menyembunyikan rasa bersalahnya. Ini membuat hati Anna hancur berkeping-keping. Hatinya bagaikan diiris-iris.
Karena semua orang ingin dia menceraikan Ivan. Lebih baik turuti saja keinginan mereka.
Anggap saja itu sebagai bentuk balas budinya pada Keluarga Roslan yang sudah mengurusnya selama ini.
Soal Ivan dan Gina, Anna harap mereka bisa hidup bahagia serta dikaruniai banyak anak serta cucu.