Bab 8
Anna menandatangani surat cerai tersebut.
Lalu dia lanjut membereskan barang-barangnya lagi.
Sudah tidak ada tempat lagi untuknya di rumah ini.
Mita bilang bahwa fokus utama Keluarga Roslan saat ini adalah keselamatan Gina. Jika Anna tidak pergi dari rumah ini, kondisi Gina yang sedang hamil mungkin akan terganggu.
Ivan tidak membantah. Dia malah bilang kalau cabang perusahaan Keluarga Roslan di Selanda juga masih kekurangan karyawan.
Anna tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Dia makin mempercepat beres-beresnya.
Dia hanya membawa beberapa barang. Lima belas menit kemudian, dia langsung merapatkan koper dan pergi tanpa menoleh lagi.
Ivan hanya diam. Dia seharusnya senang, tapi perasaan aneh malah menyeruak dalam hatinya. Rasanya dia seperti kehilangan sesuatu.
Hal ini seolah pernah terjadi sebelumnya.
Rasanya seperti tujuh tahun lalu. Saat Anna yang biasanya pasrah pada keadaan, malah nekat mengambil risiko besar demi bisa bersamanya. Wanita itu bahkan berani memutuskan hubungan dengan Keluarga Roslan.
Waktu itu Ivan hanyalah seorang pemuda miskin. Meskipun cerdas dan jago mengurus banyak hal, pria itu tetap harus memulai semuanya dari nol.
Keluarga Roslan memandangnya rendah. Bahkan mereka diam-diam menjalankan berbagai macam rencana untuk memisahkannya dari Anna.
Mita bahkan sempat tidak mau menganggap Anna sebagai anak lagi jika tidak mau menurut.
Hari itu hujan turun deras. Anna melepas seluruh perhiasan mahalnya seperti hari ini. Dia hanya pergi membawa beberapa baju biasa. Wanita itu melangkah keluar dari rumah Keluarga Roslan.
Hanya saja, waktu itu Anna pergi keluar sambil menggenggam tangan Ivan.
Hujan menetes membasahi wajah Anna. Tapi dia tetap tersenyum hangat dan berkata, "Aku nggak apa-apa asal ada kamu, Ivan."
Ivan mendongak, pandangannya tertuju pada sosok Anna.
Apakah cinta bisa sirna begitu saja?
Apakah Anna yang dulu sangat mencintainya, sebenarnya diam-diam mencintai kakaknya sendiri seperti kata Gina?
Sementara Ivan hanyalah lelaki cadangan?
Ivan merasa sakit hati saat memikirkannya. Hatinya seolah diremas sepasang tangan tidak kasatmata.
Mita melihat ekspresinya dan langsung menarik lengan baju Ivan. "Bagaimana kondisi bayi di perut Gina? Apa kata dokter?"
Ivan sontak tersadar dari lamunannya. Dia berusaha menahan emosi dalam dada dan menjawab, "Sementara ini nggak apa-apa. Tapi dia harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Aku pulang sekalian mengambil beberapa baju ganti."
Mita mengangguk berulang kali. "Tunggu sebentar, biar aku siapkan bajunya. Sekalian bawa beberapa baju ganti untuk Riki, dia sekarang ... ah ... "
Anna berhasil memesan taksi usai menghadapi kekacauan barusan.
Sementara itu, Ivan malah tiba-tiba berdiri. Kakinya seolah tidak mendengarkan perintahnya dan malah mau mengejar Anna.
Tapi taksi wanita itu sudah terlanjur pergi makin jauh, dan akhirnya menghilang dari pandangan.
Ivan hanya bisa kembali dan menjatuhkan diri di sofa. Tatapannya tertuju pada surat cerai di atas meja.
Ivan menandatangani surat cerai itu dengan mudahnya. Dia seolah sudah yakin dengan keputusannya waktu itu.
Namun, saat melihatnya lagi sekarang. Hatinya terasa seperti dibakar. Dia marah sekaligus menyesal.
Dia marah karena Anna sama sekali tidak berusaha mempertahankan pernikahan mereka.
Dia juga menyesal pada diri sendiri karena sudah buru-buru menandatangani surat cerai itu duluan.
Padahal dia juga tidak benar-benar cinta pada Gina.
Awalnya dia hanya marah karena tidak terima sudah ditipu. Kemudian dia ingin melihat Anna hancur perlahan. Tapi dia juga tetap mau menjaga anak yang ada dalam perut Gina.
Tadi Ivan hanya sedang marah, makanya bisa sampai mengucapkan bahwa tidak ada gunanya lagi mempertahankan pernikahan.
Dia awalnya cuma mau menenangkan Gina agar bayinya bisa lahir dengan selamat dan Riki bisa sembuh.
Ivan sudah melihat Riki tumbuh besar selama ini. Apalagi sekarang dia sudah tahu kalau anak itu adalah anaknya.
Tapi semua sudah terlanjur jadi begini. Sudah terlambat kalau mau menyesal.
Namun, dia berencana menemui Anna beberapa bulan lagi. Dia ingin mengajak wanita itu rujuk kembali.
Ivan masih menggenggam erat cincin nikah mereka sampai kedua telapak tangannya memutih.
...
Mita sudah beres menyiapkan baju ganti. Dia lalu menyuruh Ivan agar segera kembali ke rumah sakit.
Ivan berjalan keluar seperti robot. Pikirannya kacau balau selama mengemudikan mobil ke rumah sakit.
Saat mendekati ruang rawat inap Gina, dia baru bisa menguasai dirinya sendiri dan fokus.
Tapi saat sudah memegang knop pintu, obrolan orang di dalam kamar rawat inap itu membuatnya urung membuka pintu.