Bab 1
Pada tahun keempat menikah dengan Steve, Lyvia hamil.
Dia membawa dokumen untuk mendaftar di rumah sakit. Namun, saat pengecekan, perawat memberi tahu jika surat nikahnya palsu.
Lyvia terkejut. "Palsu? Mana mungkin?"
Perawat menunjuk stempel di atasnya. "Stempel di sini miring, kodenya juga salah."
Lyvia tidak mau menyerah. Dia pergi ke Kantor Catatan Sipil untuk memeriksa. Jawaban yang didapat sama persis.
"Pak Steve sudah menikah. Nama pasangannya adalah Yanny Lovanka ...."
Yanny Lovanka?
Lyvia seolah disambar petir. Pikirannya benar-benar kosong!
Yanny, kakak tirinya, juga cinta pertamanya Steve.
Dulu, demi mengejar impian belajar ke luar negeri, Yanny kabur tepat di hari pernikahan. Dia tega meninggalkan Steve.
Namun, sekarang, dia malah menjadi istri Steve yang sah secara hukum!
...
Lyvia keluar dari kantor catatan sipil seperti mayat hidup. Pandangannya kosong dan langkahnya pun terhuyung.
Setelah dia naik taksi yang berhenti di depannya, akhirnya air mata yang ditahan sepanjang perjalanan pun mengalir tanpa suara.
Empat tahun lalu, demi menjaga hubungan kedua keluarga, dia menikah dengan Steve untuk menggantikan kakaknya yang kabur dari pernikahan.
Awalnya, Steve bersikap dingin padanya.
Namun, dia tidak pernah mengeluh. Lyvia merawat segala kebutuhan Steve dengan sangat teliti.
Lambat laun, Steve mulai membuka hatinya berkat kehadirannya setiap hari.
Dia mulai membiarkan Lyvia mengacak jadwalnya.
Dia mendengarkan Lyvia menyelesaikan lelucon konyolnya dengan sabar.
Bahkan dokumen rahasia di tempat kerja pun, Steve membiarkan Lyvia merapikannya dengan tenang.
Seiring waktu, Steve makin baik padanya.
Steve memberinya kartu VIP tanpa batas, membawa Lyvia mencicipi semua restoran kelas atas.
Bahkan saat Lyvia ingin makan kue di utara kota tengah malam, Steve rela mengemudi jauh untuk membelinya. Dia akan mencubit wajah Lyvia sambil berkata, "Aku belum pernah lihat kamu begitu rakus."
Lyvia mengira, akhirnya dia berhasil menghangatkan hati Steve.
Hingga dua bulan lalu, Yanny yang didiagnosis kanker tiba-tiba kembali.
Ayah mengadakan rapat keluarga malam itu juga.
Ayah memberi tahu Lyvia dengan ekspresi serius, "Kanker kakakmu sudah stadium akhir, paling lama hanya enam bulan lagi. Penyesalannya terbesar adalah nggak bisa menikah dengan Steve, jadi kamu sementara mundur dulu. Setelah pernikahan selesai dan kakakmu tiada, Steve tetap milikmu."
Ibu tiri memohon padanya dengan putus asa, "Yanny kakak kandungmu, sabarlah sekali ini!"
Yanny pun menangis sejadi-jadinya. "Ini satu-satunya keinginanku sebelum mati, aku mohon kabulkanlah."
Lyvia tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya.
Tiba-tiba, mata Lyvia memerah. Saat dia menegur mereka, setiap kata yang keluar seperti meneteskan darah, "Dulu, kalian menjadikan aku boneka untuk menikah menggantikan Kakak. Sekarang, kalian ingin Steve menikah dengan Kakak. Sebenarnya kalian menganggap aku apa? Aku menolak!"
Ayahnya menutup telinga terhadap protesnya. Dia langsung melarangnya keluar rumah. Dia berkata saat dia setuju, ayahnya baru akan membebaskannya.
Di hari ketiga, dia mendengar Steve melempar cangkir di depan ayahnya dengan marah.
Hari ke-13, ponselnya menampilkan berita Steve mengumumkan secara terbuka, "Istri Steve hanya Lyvia."
Hari ke-28, Steve langsung membekukan semua kerja sama bisnis dengan Keluarga Lovanka. Dia memaksa mereka menyerahkan istrinya!
Hingga sebulan kemudian, akhirnya pintu yang terkunci pun terbuka.
Mengingat semua yang Steve lakukan untuknya selama ini, mata Lyvia langsung basah. Dia bahkan tidak sempat memakai sepatu. Dia tergesa-gesa melemparkan diri ke pelukannya.
Namun, di detik berikutnya, dia mendengar suaranya serak berkata, "Lyvia, maafkan aku."
"Orang tuamu bersikap tegas. Mereka bahkan berlutut memohon padaku. Demi hubungan kedua keluarga selama bertahun-tahun, aku harus menemani kakakmu memainkan sandiwara ini."
"Tapi, tenang saja, ini cuma pura-pura menikah. Istriku cuma kamu selamanya."
Saat itu, Lyvia merasa jantungnya seketika tenggelam ke dasar. Bahkan setiap tarikan napasnya pun terasa menusuk dan menyakitkan.
Setelah terkejut dua detik, Lyvia menyentuh pipi Steve yang kurus dengan sedih sambil menahan air matanya. "Kamu sudah melakukan yang terbaik."
Kemudian, dia hanya bisa menatap Steve memasangkan cincin berlian untuk Yanny di depan semua orang. Steve memberinya pernikahan yang mewah.
Setelah itu, Steve tetap baik padanya seperti sebelumnya.
Hanya saja, waktu yang Steve habiskan untuk Yanny makin banyak. Dari sekadar sesekali mengunjungi, hingga beberapa hari berturut-turut tidak pulang.
Saat Lyvia ngambek padanya, dia menjelaskan dengan sabar, "Aku nggak mencintainya. Hanya saja, sebagai teman, aku ingin menemani dia sampai akhir."
Lyvia percaya pada Steve.
Tidak disangka, kenyataan itu seperti tamparan keras yang menghantam wajahnya.
...
Saat mobil berhenti di bawah gedung Grup Furlangga, Lyvia sudah menenangkan emosinya.
Di tangannya, Lyvia menggenggam erat surat nikah palsu itu.
Begitu sampai lantai paling atas, dia bertabrakan dengan sekretarisnya Steve.
Begitu sekretaris itu melihatnya, wajahnya tampak agak canggung.
"Bu Lyvia, kok datang ke sini?"
"Aku cari Steve."
"Pak Steve sedang rapat, sekarang nggak ada waktu ...."
Lyvia mengabaikan upaya sekretaris menghentikannya. Dia segera melangkah ke pintu kantor.
Tepat saat dia hendak mendorong pintu, terdengar suara Yanny dari dalam.
"Steve, tatap mataku dan jawab aku." Yanny menarik dasi Steve dengan tangan kiri. Tangan kanannya menempel di dada Steve. "Di hatimu, kamu nggak pernah benar-benar melepaskanku, 'kan?"
Steve menelan ludahnya. Dia terhenti sejenak oleh hangatnya ujung jari Yanny, tetapi suaranya tetap dingin. "Kamu salah paham."
"Aku salah paham?" Yanny tersenyum. "Dulu, kamu pura-pura menikah dengan Lyvia. Bukankah untuk menungguku kembali? Sekarang, aku baru pulang, kamu langsung mengurus surat nikah denganku."
"Selain itu, semua yang kamu tulis di buku harianmu."
"Kamu bilang setuju Lyvia menikah denganmu, itu untuk memaksaku kembali ... um!"
Sebelum Yanny selesai berbicara, tiba-tiba Steve menahan lehernya dari belakang.
Semua kata yang belum terucap, tertahan dalam ciuman yang kasar.
Tatapan matanya membara. Setiap katanya itu seolah diperas keluar dari giginya. "Yah, aku nggak pernah melepaskanmu. Jadi Yanny, bagaimana kamu membayar utangmu?"
Lyvia berdiri di luar pintu. Sekujur tubuhnya terasa seperti direndam air es. Dia mati rasa sampai hampir kehilangan sensasi.
Dia teringat beberapa hari lalu, Steve masih memeluknya, mengecup helai rambutnya sambil berkata, "Lyvia, kakakmu sudah menjadi masa lalu. Sekarang, hanya kamu yang pantas mendapatkan ketulusan hatiku."
Konyol sekali.
Ternyata yang disebut sebagai ketulusan hanyalah kebohongan yang bertentangan dengan hatinya.
Sejak awal, pernikahan mereka memang kebohongan belaka.
Lyvia menutup matanya dengan perlahan. Dia berusaha keras untuk menahan air matanya agar tidak mengalir.
Jika memang ini adalah pilihan Steve ....
Maka dia akan merelakannya. Dia akan membiarkan Steve bersama orang yang benar-benar dicintainya dan hidup bahagia!