Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Semua orang menatap Lyvia dengan serentak. Lyvia terdiam di tempat. Sebelum dia sempat menyadari apa yang terjadi, terdengar teriakan ibu tirinya dari kejauhan. "Yanny!" Yanny pingsan karena ketakutan mendengar kutukan itu. Tiba-tiba, wajah Steve berubah. Dia menunduk dan menggendong Yanny, lalu melangkah cepat ke ruang medis. Lyvia merasa pikirannya kosong. Saat tamparan keras mendarat di wajahnya, dia baru tersadar. "Kenapa aku melahirkan bajingan sepertimu!" Ayahnya menatap dengan mata memerah, urat di pelipis bahkan menonjol. "Kakakmu sudah sakit parah, tapi kamu masih berani mengutuknya?" Lyvia mundur setengah langkah dengan goyah. Dia tanpa sengaja menabrak sampanye di samping, hingga minuman tumpah berserakan di lantai. Dia jatuh duduk di tengah pecahan kaca yang berserakan. Lyvia menahan sakit sambil berseru, "Bukan aku!" "Diam!" Ayahnya berteriak dengan keras, "Aku sudah melihat dari awal, kamu memang nggak tahan melihat kami memperlakukan kakakmu dengan baik. Tapi, dia sudah sekarat. Kamu bahkan nggak punya empati sama sekali?" "Pengawal, tangkap anak durhaka ini dan kunci dia!" ... Lyvia dilempar masuk ke sebuah ruangan gelap dan kecil. Sejak kecil, Lyvia takut pada kegelapan. Dia juga menderita klaustrofobia. Begitu pintu tertutup, napas Lyvia seketika terhenti. Kegelapannya menyerbu dari segala arah, seperti gelombang pasang yang menelannya. Lyvia memukul pintu dengan sekuat tenaga, hingga telapak tangannya yang berlumur darah dan meninggalkan bekas mencolok di papan kayu. "Buka pintunya! Aku mohon ... tolong biarkan aku keluar!" Namun, di luar sana sunyi senyap. Lyvia kehilangan tenaga dengan perlahan, hingga tubuhnya melorot ke lantai. Napasnya makin cepat. Pandangannya pun mulai menjadi gelap. Beberapa saat kemudian. Tepat saat dia hampir kehilangan kesadaran, akhirnya pintu terbuka. Dia segera merayap keluar. Detik berikutnya .... "Byur!" Sebaskom darah segar yang pekat dan berbau amis tumpah tepat di kepalanya! Selanjutnya, baskom kedua, baskom ketiga .... Lyvia tersedak sampai hampir kehilangan napas. Pandangannya mulai kabur. Dia samar-samar melihat sosok yang familier berdiri di depan pintu. Steve. Pria itu berdiri di perbatasan cahaya dan gelap. Saat anak buahnya menumpahkan baskom demi baskom darah ke arahnya, dia hanya menatap dengan ekspresi masam. Dia tidak sekalipun memerintahkan untuk berhenti. Hingga baskom terakhir tumpah ke arahnya. Steve melangkah ke depannya dengan perlahan. Dia membungkuk dan menyeka pipinya dengan saputangan sutra. Namun, suaranya dingin bagai es. "Yanny sudah bangun. Dia nggak menyalahkanmu karena mengutuknya. Dia malah membelamu. Dia bilang kamu hanya kerasukan, bukan benar-benar jahat." "Aku yang minta orang siapkan darah hitam ini, bisa mengusir roh jahat." Dia berhenti sejenak. "Tapi, supaya efektif, kamu harus direndam di sini selama tiga hari tiga malam." Di mata Lyvia, terlintas ketakutan. Dia berusaha meraih tangan Steve. "Kutukan itu benar-benar bukan aku yang tulis, kamu percaya padaku ...." "Lyvia." Steve melepaskan satu per satu jari tangannya. Gerakannya lambat, tetapi sangat kejam. "Berbuat salah harus menerima hukuman, itu hal yang bahkan anak tiga tahun pun paham." Lyvia merasa kehangatan di ujung jarinya menghilang, Lyvia membuka mulutnya. Kemudian, perjuangan terakhirnya berubah menjadi sebuah permohonan yang hina. "Aku mohon, jangan tinggalkan aku di sini .... Aku takut gelap ...." "Lalu, Yanny bagaimana?" Steve menatapnya dengan dingin. "Saat kamu mengutuknya, apa terpikir dia juga takut?" Lyvia merasa linglung sejenak. Dia teringat malam hujan lebat dulu. Saat listrik mati di rumah, dia meringkuk di sudut sambil gemetar ketakutan. Saat itu, Steve menyalakan lilin di seluruh ruangan. Dia memeluk Lyvia dengan erat. Telapak tangannya yang hangat menyentuh punggungnya. "Lyvia, jangan takut. Aku di sini." Namun, sekarang, pria itu justru akan mendorongnya sendiri ke dalam jurang yang gelap. Tiba-tiba, rasa sakit yang seperti diremas dan terkoyak di perutnya muncul. Lyvia secara naluriah menutup perutnya. Dia merasakan cairan hangat mengalir dari bawah. Menyadari kemungkinan dia keguguran, Lyvia meraih celana Steve dengan tangan gemetar. Nada suaranya sudah berubah. "Steve, perutku sakit sekali .... Kayaknya aku keguguran .... Aku mohon, antar aku ke rumah sakit ...." Steve terhenti sejenak. Lalu, dia mengernyit. "Kamu nggak hamil, bagaimana bisa keguguran?" Lyvia kesakitan hingga pandangannya menjadi gelap. "Sungguh .... Aku hamil anakmu ...." "Cukup." Steve jelas tidak percaya ucapannya. Dia hanya berkata, "Tiga hari lagi, aku akan datang menjemputmu." Kemudian, dia berbalik dan pergi. Dari tenggorokannya, terdengar rintihan kecil bagai binatang malang. Ujung jari Lyvia mencakar lantai dengan sekuat tenaga. Namun, dia tetap tidak bisa menahan sosok pria yang makin menjauh. Jari-jari itu mencakar udara dengan sia-sia. Akhirnya, dia terkulai tidak bertenaga. Lyvia terkulai lemas dalam genangan darah. Sebelum kesadarannya hilang, bibir Lyvia tersungging senyum yang penuh kehampaan. "Steve ...." "Kali ini, aku benar-benar meremehkanmu."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.