Bab 5
Saat Lyvia terbangun lagi, dia sudah terbaring di ranjang rumah sakit.
"Akhirnya, kamu bangun." Dokter menghela napas. Dia menatap Lyvia dengan penuh iba. "Kamu mengalami keguguran dengan perdarahan hebat. Kalau terlambat beberapa menit saja, bahkan dewa pun nggak bisa menyelamatkanmu."
Dari mulut dokter, Lyvia tahu bahwa keesokan harinya, dia ditemukan pingsan oleh pelayan yang mengantarkan makanan. Dia beruntung hingga nyawanya terselamatkan.
"Keluargamu benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa mereka memperlakukanmu seperti itu? Apalagi suamimu, teleponnya nggak diangkat. Setelah dia datang ke rumah sakit, aku pasti akan menegurnya habis-habisan."
"Dokter," sela Lyvia. Ujung jarinya mencengkeram seprai. "Soal kehamilanku, jangan kasih tahu dia."
Lagi pula, dia juga tidak akan memercayainya.
Selain itu, Steve sudah tidak mencintainya lagi. Dia tidak ingin terjerat sedikit pun dengan pria itu lagi.
Dokter ingin berkata sesuatu, tetapi terhenti. Akhirnya, dia menggelengkan kepala dan pergi.
Selama Lyvia dirawat di rumah sakit, Steve sama sekali tidak muncul.
Namun, di lingkaran teman Yanny, Steve ada di mana-mana.
Hari pertama, dia mengunggah foto semangkuk sup ayam dengan keterangan. [Sepuluh tahun, rasanya masih yang paling aku suka.]
Hari kedua mengunggah wajah pria yang tertidur di tepi ranjang dengan keterangan. [Malam tadi mimpi buruk lagi. Untungnya, begitu buka mata, aku bisa melihatmu.]
Tiba-tiba Lyvia teringat, saat dia sakit, Steve juga selalu membuatkan sup ayam untuknya.
Saat Lyvia demam dan tidak nyaman, Steve juga selalu menunggunya di tepi ranjang. Dia menggenggam tangannya dengan erat tanpa melepaskannya.
Sekarang, dia baru benar-benar mengerti.
Ternyata, kelembutan itu tidak pernah ditujukan untuknya.
Steve hanya menggunakan Lyvia sebagai pengganti. Sementara hatinya mencintai orang lain.
Di hari dia keluar dari rumah sakit, akhirnya Steve meneleponnya.
"Ada urusan mendadak di kantor, aku sudah menyuruh sopir menjemputmu."
Lyvia tidak bertanya dan tidak histeris. Dia hanya berkata dengan pelan, "Oke."
Begitu telepon dimatikan, dia menyentuh perutnya yang rata dengan lembut.
Sekarang, Steve hanyalah nama di buku teleponnya yang sebentar lagi akan dihapus.
Dia tidak akan lagi menaruh harapan apa pun pada pria itu.
...
Setelah Lyvia kembali.
Begitu masuk, dia melihat Yanny memegang papan gambar. Dia melukis di dinding ruang tamu dengan leluasa.
Foto pernikahannya dengan Steve dan polaroid dibuang ke lantai. Semua itu tertutupi cat warna-warni.
Melihat Lyvia, Yanny tersenyum. "Lyvia, kamu sudah pulang?"
"Aku lihat dinding ini terlalu berantakan, jadi kepikiran untuk menghiasnya lagi. Kamu nggak keberatan, 'kan?"
Lyvia menatap kekacauan itu sebentar, lalu berkata dengan nada datar, "Terserah kamu."
Baginya, rumah itu hanya sebatas nama yang tanpa makna.
Mulai sekarang, pemilik rumah di sini juga bukanlah dirinya.
Saat ini, Steve keluar dari dapur sambil membawa sepiring buah yang sudah dipotong.
Melihat Lyvia hendak naik ke atas, Steve menghalangi jalannya.
"Yanny sudah berbaik hati meredakan ketegangan, tapi begini sikapmu?"
"Lalu bagaimana?" Wajah Lyvia yang pucat tampak sedikit lelah. "Haruskah aku berlutut dan berterima kasih padanya karena merusak fotoku?"
Melihat situasi itu, Yanny cepat-cepat melerai, "Steve, jangan marah padanya. Lyvia juga nggak sengaja ...."
"Kalau nggak sengaja, kenapa bisa mengutukmu dengan kata-kata sekejam itu?" Setelah berkata, tatapan Steve pada Lyvia menjadi makin asing. "Lyvia, kamu benar-benar mengecewakanku."
Lyvia sudah tidak punya tenaga untuk berdebat dengan Steve. Dia mendorong bahu pria itu dan langsung naik ke lantai atas.
Dia baru saja menjalani operasi keguguran. Saat ini, tubuhnya masih sangat lemah.
Namun, dia baru berbaring sebentar, pintu kamar sudah didorong terbuka.
Yanny muncul di pintu. Ekspresi lembut di wajahnya lenyap, digantikan dengan ekspresi menghina yang sangat jelas.
"Melihat Steve begitu melindungiku, sedih nggak?" Sudut mulut Yanny tersenyum mengejek. "Aku sudah bilang, dia cuma main-main sama kamu. Tapi, nggak aku sangka kamu benar-benar percaya."
Lyvia membalikkan badan. Dia tidak ingin membuang waktu dengannya, lalu dia menutupi kepala dengan selimut.
Namun, Yanny malah berdiri di sampingnya. Dia tampak pantang menyerah.
"Kamu tahu orang-orang di luar sana bilang kamu seperti apa?"
"Mereka bilang kamu tidur sama kakak iparmu sendiri selama empat tahun. Tapi, akhirnya kamu nggak dapat apa-apa. Kamu bahkan lebih murahan dari jalang di klub malam."
"Lyvia, sadari kenyataan."
"Keluarga Lovanka nggak butuh kamu, Steve juga nggak butuh kamu! Kamu sama seperti ibumu, cuma beban yang nggak diinginkan siapa pun!"
Mendengar Yanny menyebut ibunya, Lyvia tidak bisa menahan diri lagi. Dia mendongakkan kepala dengan tatapan tajam seperti pisau.
"Kamu panik begitu. Kamu takut kalau selama empat tahun ini, dia sudah jatuh cinta padaku?"
Yanny sempat terkejut sejenak, lalu dia tertawa pelan.
"Jatuh cinta padamu?" Matanya penuh ejekan. "Kalau dia benar-benar mencintaimu, kenapa dia membiarkan aku berdiri di sini untuk menghina kamu?"
Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu menutup dengan keras.
Lyvia menggenggam selimut erat-erat. Tubuhnya terasa makin dingin.
Untungnya, sebentar lagi dia akan pergi.
Dia tidak perlu lagi menghadapi mereka.