Bab 3
Saat terbangun lagi, aku sudah berada di rumah Keluarga Baskara.
Stanley duduk di tepi tempat tidurku, seolah sudah menjagaku sejak lama.
Pria itu berkata dengan ekspresi bersalah, "Jihan, ini salahku. Foto-foto itu sudah aku urus, kamu nggak perlu khawatir."
"Mulai sekarang, kalau kamu nggak mau keluar rumah, ya nggak usah keluar. Aku juga nggak akan memaksamu. Kamu boleh tinggal di rumah Keluarga Baskara selamanya, aku akan menemanimu."
Aku memalingkan wajah dengan perasaan getir.
Benar, inilah tujuan Stanley sebenarnya.
Dia justru berharap aku tidak muncul di depan umum selamanya, supaya tidak mengganggu karier Rosa.
Saat aku hendak berbicara, pintu kamar tiba-tiba terbuka, lalu Rosa masuk ke dalam.
Begitu Rosa masuk ke kamar, pandangan Stanley langsung tertuju padanya. Tatapan pria itu menjadi lembut dan penuh perasaan.
Kalau dipikir-pikir lagi, akulah yang terlalu bucin, sehingga tidak menyadari bahwa wanita yang dicintai Stanley adalah Rosa.
Seolah bertemu dengan saingan, aku berkata, "Kenapa kamu datang ke sini?"
Nyonya Tina ikut di belakang. Saat mendengar kata-kataku, Nyonya Tina langsung mengerutkan alis sambil berkata, "Setelah mendengar kamu pingsan, Rosa langsung datang menjengukmu. Dia sangat mengkhawatirkanmu, tapi kamu malah bilang seperti itu? Benar-benar nggak punya sopan santun!"
Rosa berusaha membujuk, "Tante, jangan bilang begitu. Kakak hanya tertekan karena kejadian di acara lelang hari ini. Nggak apa-apa, aku sudah terbiasa."
Alis Nyonya Tina makin berkerut. "Keluarga Baskara selalu dipandang terhormat. Aku nggak menyangka sekarang malah terlibat dalam hal-hal yang nggak senonoh seperti ini. Sungguh memalukan nama baik keluarga ... "
Nyonya Tina menggenggam tangan Rosa sambil berkata, "Rosa, kamu anak yang baik. Siapa pun pria yang menikahimu pasti beruntung. Sayang sekali, Stanley nggak seberuntung itu ... "
Stanley menundukkan kepala, seolah menahan emosinya.
Rosa mengatakan dia ingin bicara berdua denganku, sehingga Stanley dan Nyonya Tina segera meninggalkan kamar.
Begitu mereka pergi, ekspresi lemah lembut Rosa langsung berubah.
Rosa menatapku sambil menyibakkan rambut dengan anggun, kemudian terlihat kilauan cincin juara yang melingkar di jarinya.
Betapa terkejutnya aku, cincin itu melambangkan kehormatan tertinggi di dunia tari.
Aku latihan menari tanpa lelah selama 20 tahun, selalu latihan tanpa absen satu hari pun. Semua itu kulakukan agar suatu hari aku bisa mengenakan cincin itu dengan bangga di atas panggung.
Namun, pada hari kompetisi, aku diculik oleh anak buah Stanley.
Akhirnya, cincin itu menjadi milik Rosa.
Menyadari tatapanku tertuju pada cincinnya, Rosa tersenyum puas. "Kakak, menurutmu cincin ini bagus nggak? Kamu pasti sangat menginginkan cincin ini, 'kan?"
"Tapi, apa kamu bisa? Meskipun kamu bisa menari lagi di atas panggung, orang-orang nggak akan lagi mengagumi tarianmu, melainkan mengingat pose-pose mesummu. Kakak, kamu masih punya muka bersaing denganku?"
Dia berdecak pelan, lalu menggelengkan kepala dan berkata, "Oh ya, ada satu hal yang lupa aku katakan padamu, sebenarnya tempat kamu diculik hanya berjarak lima ratus meter dari tempat lombaku. Sebenarnya, kamu bisa diselamatkan, tapi sorakan para penonton terlalu keras hingga menenggelamkan suara teriakanmu."
"Kalau dipikir-pikir, agak disayangkan. Bagaimanapun juga, Kakak berbakat dalam segala hal, bahkan suaramu juga merdu. Jeritanmu saat itu pasti merdu sekali ... "
Aku tidak bisa menahan emosiku lagi dan menyelanya, "Tutup mulutmu ... "
Belum selesai bicara, suara tamparan nyaring terdengar di dalam kamar.
Bukan aku yang menampar.
Sebaliknya, Rosa tiba-tiba menampar wajahku.
Saat aku masih bingung, tiba-tiba sepasang tangan memegangi tubuhnya dengan kuat dari belakang.
Sambil berlinang air mata, Rosa berkata, "Kakak ipar, jangan salahkan Kakak, ini salahku, nggak seharusnya aku membuat Kakak marah ... "
Saat melihat wajah Rosa yang sembap, Stanley merasa sedih.
Aku berusaha menjelaskan, "Stanley ... aku nggak menamparnya."
Mendengar itu, Stanley menoleh dan menatapku dengan tajam.
Pada saat ini, aku ragu apakah dia akan menamparku demi Rosa.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Stanley keluar dari kamar sambil menggendong Rosa.
Pintu dibanting dengan keras.
Aku sudah tidak tahan lagi, akhirnya menutupi wajah sambil menangis tersedu-sedu.