Bab 4
Malam harinya, seperti biasa aku pergi ke ruang pendingin untuk mengambil jus.
Saat mau keluar dari ruang pendingin, aku mendapati pintunya terkunci. Meskipun aku sudah berusaha keras membukanya, pintu tetap tidak bisa dibuka.
Aku hanya mengenakan piyama tipis, belum beberapa menit aku sudah kehabisan tenaga, kemudian aku duduk menyandar di dinding sambil memeluk tubuhku sendiri.
Stanley benar, aku memang takut dingin.
Demi menari, aku diet ketat dan latihan semalaman selama bertahun-tahun, akibatnya kondisi kesehatanku memburuk dan tubuhku melemah.
Entah sudah berapa lama aku duduk, bulu mataku telah membeku. Saat aku mengira akan mati di sini, tiba-tiba pintu ruang pendingin terbuka.
Seorang pelayan tampak terkejut dan berteriak, "Nyonya, kenapa Anda ada di sini?"
Begitu keluar dari ruang pendingin, kehangatan dari luar langsung menyelimutiku. Ketika berjalan dengan tubuh kedinginan, aku teringat ada barang yang tertinggal di dalam, jadi aku kembali ke ruang pendingin.
Tanpa kuduga, aku mendengar pelayan yang tadi membantuku membuka pintu ruang pendingin sedang berbincang di telepon.
"Pak Stanley, saya sudah mengeluarkan Nyonya. Nyonya kedinginan parah, tapi nggak membahayakan nyawanya."
Dari seberang telepon, pria itu mendengus dingin, tidak ada kehangatan sedikit pun dari nada suaranya. [Yang penting dia nggak mati.]
Setelah berkata demikian, pria itu langsung menutup telepon.
Meskipun kata-katanya singkat, aku kenal suaranya, itu suara Stanley.
Ternyata aku terkurung di ruang pendingin bukanlah kecelakaan, melainkan sudah direncanakan oleh Stanley.
Tatapan yang dia berikan padaku sebelum pergi bersama Rosa ternyata bukan perasaanku semata.
Pria itu membenciku karena mengira aku menindas wanita yang dicintainya, sehingga dia ingin memberiku pelajaran.
Saat ini masih musim kemarau, suhu di vila mencapai dua puluh delapan derajat, tetapi aku merasa seolah masih berada di dalam ruang pendingin.
Aku kembali ke kamar tidur dan tertidur lelap.
Saat terbangun lagi, kepalaku terasa pening dan dahiku panas.
Aku demam, tenggorokanku terasa sangat kering.
Pelayan tidak ada, jadi aku menyibak selimut, turun dari tempat tidur, dan menuangkan air minum.
Saat melewati sebuah kamar, aku mendengar suara isak tangis seorang wanita.
"Kak Stanley, kenapa kamu begitu baik padaku, sampai-sampai melakukan hal sejauh ini demi aku ... "
Itu Rosa!
Stanley menatap mata Rosa yang memerah, tangannya sedikit mengepal, tetapi pria itu hanya bisa menahan perasaannya dan menyeka air mata Rosa sambil berkata, "Kamu dulu pernah bilang menari adalah impianmu. Demi kamu, aku rela melakukan apa saja."
Rosa langsung memeluknya. "Kak Stanley, kamu ini benar-benar bodoh. Demi aku, kamu menikahi wanita yang nggak kamu cintai. Aku ... aku benar-benar nggak tahu bagaimana harus membalasmu."
Sambil berkata demikian, Rosa mendongak dan hendak mencium bibir Stanley.
Namun di luar dugaan, Stanley justru memalingkan wajah dan menghindari ciuman itu.
Pria itu mengatupkan bibirnya, urat di lehernya menegang, terlihat jelas pria itu sedang menahan diri. "Rosa, jangan lakukan ini. Aku sudah bertunangan, sedangkan kamu belum menikah. Ini ... akan merusak reputasimu."
Dahiku terasa makin panas.
Pemandangan di depanku mulai berputar. Dalam keadaan setengah sadar, aku teringat kembali saat menerima lamaran Stanley.
Malam setelah aku menerima lamarannya, pria itu langsung mengajakku tidur bersama.
Stanley menyeka air mataku ketika melihatku kesakitan. Pria itu mengatakan bahwa ini adalah bukti cintanya padaku.
Namun, ternyata ketika pria itu benar-benar mencintai seorang wanita, pria itu akan berusaha menjaga kesucian wanita yang dia cintai ...
Di dalam kamar, Rosa masih menangis, bagian depan kemeja Stanley sudah basah oleh air matanya.
"Kak Stanley, kamu sangat baik padaku. Tapi makin kamu baik padaku, justru membuatku makin takut."
"Bagaimanapun juga, kamu adalah tunangan kakakku. Suatu hari nanti, kalian akan menikah dan memiliki anak. Saat itu tiba, kalian akan menjadi keluarga utuh, kamu nggak akan menyukaiku seperti sekarang ... "
Stanley mengusap hidung Rosa dengan penuh cinta sambil berkata, "Rosa, kamu ini bodoh. Aku sama sekali nggak mencintainya, mana mungkin aku biarkan dia mengandung anakku?"
"Sejak dia dilecehkan, aku sudah menyuruh orang-orang itu merusak rahimnya, sehingga dia nggak akan bisa hamil selamanya ... "
Semua perkataan Stanley setelah itu sudah tidak terdengar jelas lagi di telingaku. Aku hanya merasa seluruh darah di tubuhku membeku.
Pantas saja, setelah berhubungan badan dengan Stanley sekian lama, aku tidak juga hamil walaupun Stanley tidak memakai pengaman.
Aku bahkan menangis di depan Stanley karena hal ini.
Ibuku sudah lama meninggal, lalu ayahku menikahi ibunya Rosa.
Setiap kali melihat mereka bertiga hidup harmonis, aku merasa asing di rumahku sendiri.
Aku pernah mengatakan pada Stanley bahwa aku benar-benar ingin memiliki seorang anak, ingin memiliki keluargaku sendiri.
Saat itu, Stanley masih memelukku dan menghiburku dengan lembut.
Tidak kusangka, ternyata sekarang aku mandul.
Dan, semua ini adalah hasil perbuatan pria itu!
Begitu rupanya.
Begitu rupanya.
Mataku terasa pedih. Selama beberapa hari ini, aku terlalu sering menangis, hingga air mataku sudah kering.
Dengan langkah terhuyung-huyung, aku kembali ke kamar dan menghubungi seseorang yang nomornya telah melekat di ingatanku.
Aku tidak akan membiarkan mereka berdua hidup dengan tenang!