Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 10

"Wakil Profesor Andres memang hebat, tapi dia duda." Sharleen mengernyit dan berkata, "Kak, kamu bahkan belum pernah pacaran, kamu rugi besar." "Aku nggak merasa rugi. Aku justru merasa bahagia karena bisa menyerahkan semua pertama kali untuk orang yang dicintai. Kamu belum pernah mencintai siapa pun, jadi nggak paham." Adeline tersenyum, "Lagi pula, Andres bukan sengaja jadi duda, banyak hal yang terjadi karena nggak ada pilihan. Demi mendapatkan izin tinggal permanen di luar negeri, mantan istrinya sampai membocorkan data penelitiannya, lalu nggak mau pulang ke negara asal lagi. Mereka memang nggak mungkin bisa bersama." Sharleen tertegun. Tidak disangka mantan istri Wakil Profesor Andres seperti itu, "Jadi mantan istrinya nggak pulang?" "Hmm." Adeline mengangguk. Sharleen ikut bernapas lega. Dia hanya takut kalau menikahi duda, mantan istrinya akan muncul membuat keributan. Dua kakak beradik itu berjalan berdampingan di jalan kecil di bawah pepohonan rindang. Tempat itu adalah rumah dinas yang disediakan kampus untuk para dosen. Walau sudah dibangun lebih dari sepuluh tahun, tapi lingkungannya tenang, dengan dinding yang penuh tanaman rambat. Rumah Andres ada di bagian terdalam, sebuah apartemen kecil dengan lift. Ketika hampir sampai, Adeline diam-diam melirik wajah Sharleen dan berkata dengan suara rendah, "Ada satu hal yang belum kuceritakan. Begini, Wakil Profesor Andres punya anak berumur lima tahun dan selama ini tinggal bersama neneknya, tapi karena libur, dia datang ke sini. Belakangan suasana hatinya kurang baik, jadi jangan perhitungan dengannya." Sharleen yang tadinya melangkah santai langsung gemetar dan wajahnya berubah drastis, "Wakil Profesor Andres punya anak? Kak, kamu jadi ibu tiri?" "Pelankan suaramu." Adeline menutup telinganya dan meneruskan, "Dia punya seorang putri, lumayan imut." Sharleen langsung tidak ingin bicara lagi. Dia memang belum pernah jatuh cinta, tapi tetap merasa cinta itu terlalu gila, terlalu tidak rasional. Begitu keluar dari lift, Adeline membuka pintu rumah. Andres sedang duduk di sofa, menemani seorang anak kecil imut membaca dongeng. Andres yang memakai baju santai di rumah tampak tampan, berwibawa, dan terkesan lembut. Sharleen masih ingat kalau Andres sangat serius dan pengetahuannya luas saat berada di kelas. "Sharleen datang ya." Andres berdiri dan tersenyum ramah, "Sudah makan? Perlu kubuatkan sesuatu?" "Nggak perlu, Wakil Profesor Andres. Aku sudah makan banyak tadi." Sharleen menjawab sopan. Andres menepuk kepala putrinya, "Ini anakku, Miana." Dia berhenti sejenak lalu bicara dengan putrinya, "Panggil bibi, ini adik Bibi Adel." "Wajahnya sama sekali nggak mirip." Miana memonyongkan mulutnya. Sharleen diam-diam mengernyit. Saat ini, Miana menepis tangan ayahnya, "Aku mau kembali ke kamar untuk baca buku." Lalu dia berlari masuk ke kamar. "Maaf, dia masih kecil, belum paham apa-apa." Andres mengusap pelipis dan berkata tanpa daya. "Nggak apa-apa." Sharleen tentu tidak bisa perhitungan dengan anak umur lima tahun. "Adel, kamu temani Sharleen mengobrol dulu. Aku siapkan kamarnya dulu." Andres pun masuk ke dalam untuk merapikan ranjang, lalu membawa keluar handuk dan sikat gigi baru. Sharleen berbisik pada kakaknya, "Kak, anak tirimu memang imut, tapi aku nggak merasa dia anak yang patuh atau bisa menerimamu." Adeline tersenyum, "Itu wajar. Anak sekecil itu, orang tuanya cerai, pasti nggak punya rasa aman. Buat dia, aku orang luar, jadi wajar kalau waspada. Saat kamu baru datang ke Keluarga Thio dulu, bukankah juga begitu? Tapi lihat sekarang, hubungan kita dekat sekali." "Aku nggak seperti itu. Aku hanya takut kamu nggak menyukaiku. Lagi pula, nggak semua anak sebaik aku." Sharleen ingin menambahkan kalau itu juga karena didikan ibunya. Ayahnya seorang pemabuk dan tidak pernah mengurusnya. Tapi Miana berbeda. Ibunya bahkan rela mengkhianati suaminya demi mendapatkan izin tinggal. Jelas karakternya bermasalah. Anak yang dididik orang seperti itu, apa bisa sama sepertinya? Tentu, mungkin dia terlalu keras menilai seorang anak. Namun, setengah jam kemudian, dia benar-benar berubah pikiran. Begitu selesai mandi, Sharleen keluar kamar dan mendapati Miana sedang menuangkan air yang disiapkan untuknya di atas ranjang. "Apa yang kamu lakukan?" Sharleen jelas bukan orang yang sabar. Dia langsung marah dan mencengkeram tangan anak itu. "Ini rumahku, terserah aku mau tuang di mana saja." Miana menatapnya dengan penuh kebencian. "Aku membencimu! Kamu sama seperti wanita bernama Adeline itu yang mau merebut rumahku. Kamu nggak layak tidur di sini!" Sharleen sampai gemetar karena marah, "Kakakku sudah menikah dengan ayahmu. Itu berarti dia berhak tinggal di sini. Ini rumahmu, tapi juga rumah kakakku." "Bukan! Adeline hanya perebut suami orang yang nggak tahu malu! Kalau bukan karena dia menggoda ayahku, ayah dan ibuku nggak akan bercerai!" Miana berteriak dengan wajah penuh kebencian. "Beraninya kamu memaki kakakku!" Sharleen benar-benar marah. Miana memelototi Sharleen dan tidak lama kemudian, dia langsung menangis kencang. "Mia, ada apa?" Andres dan Adeline buru-buru masuk ke kamar. "Ayah, dia jahat sama aku." Miana langsung melepaskan diri dari cengkeraman Sharleen dan berlari ke pangkuan ayahnya, terisak sambil berkata, "Aku ... aku tadi hanya mau tuang air buat bibi, tapi ... nggak sengaja tumpah ke selimut. Dia ... dia malah memarahiku." Mata Sharleen membelalak. Kalau bukan melihatnya sendiri, dia benar-benar tidak akan percaya anak lima tahun bisa memutarbalikkan kenyataan seperti ini. "Jangan sembarang bicara, kamu sengaja menumpahkannya." Andres berkata pelan, "Sharleen, jangan perhitungan dengan Mia. Dia masih kecil, nggak ada maksud jahat." Miana masih menangis, "Dia ... dia juga bilang, ini rumah kakaknya, nanti kakaknya akan punya banyak bayi, aku ... aku nggak pantas tinggal di sini. Ayah, apakah kamu benar-benar nggak mau aku lagi?" "Nggak mungkin, Ayah nggak akan meninggalkanmu." Andres membungkuk, menghapus air mata di wajah Miana dengan lembut. Sharleen seketika tidak tahu harus bicara apa. Hari ini dia datang, sebenarnya karena tidak ada tempat tinggal itu hanya alasan kedua. Tujuan utamanya adalah ingin merasakan bagaimana kehidupan kakaknya setelah menikah. Tapi hasilnya .... "Sharleen ...." Adeline menepuk bahunya dan terpantul rasa tidak berdaya di mata hitamnya yang lembut. "Kak, aku nggak bilang seperti itu." Sharleen menahan amarahnya. Adeline mengangguk. Miana tiba-tiba meronta dalam pelukan ayahnya sambil meraung, "Aku nggak bohong! Aku benar-benar nggak bohong! Dia jahat sama aku, dia juga membuat tanganku sakit!" "Ayah tiup ya, jangan menangis lagi. Ayah temani kamu ke kamar untuk baca buku, ya?" Andres tetap menenangkan dengan lembut, lalu menggendong Miana ke kamar sebelah. Dia tidak menyalahkan siapa pun, juga tidak mengucapkan sepatah kata keras. Tapi Sharleen sadar, sebenarnya hari ini dia sama sekali tidak seharusnya datang, "Kak, aku lebih baik tinggal di hotel saja malam ini."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.