Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 9

Pemuda itu tertawa, "Mobil yang kamu pesan sepertinya ada di belakang." "Ah, maaf ya." Sharleen merasa ini momen super memalukan, jadi buru-buru membuka sabuk pengaman dan berlari keluar. Begitu naik ke mobil Honda, pria muda itu mengetuk kaca jendela dan mengingatkan dengan sopan, "Kopermu ketinggalan." Saat bicara, dia membuka pintu belakang dan memasukkan koper ke dalam. Setelah itu, pemuda itu melambaikan tangan dan berkata sambil tersenyum, "Aku sudah mengingat nomor pelat mobilnya. Kabari aku kalau sudah sampai tujuan." Sharleen sempat bengong, lalu segera paham. Orang ini jelas takut dia tertimpa masalah karena naik mobil asing di malam hari, jadi sengaja berkata begitu di depan sopir. Dia buru-buru mengangguk seakan akrab, "Baik, kamu pulanglah." Setelah mobil melaju pergi, jantungnya masih berdetak kencang. Astaga. Kenapa bisa ada pria setampan dan sebaik itu? Kenapa Aditya, si berengsek itu, tidak seperti dia? Ternyata perbedaan di antara manusia begitu besar. ... Sharleen tidak tahu. Tidak lama setelah dia pergi, mobil Maserati itu langsung masuk ke rumah besar Keluarga Wirawan. Aditya baru saja selesai mandi, ketika mendengar ketukan pintu. Dia mendekat dan berkata marah, "Apalagi yang kamu ...." Kalimatnya berhenti begitu melihat siapa yang berdiri di depan pintu. "Dasar, kenapa datang nggak kasih kabar." Aditya meninju dada Arlon dengan pelan. Arlon tertawa santai, "Barusan kamu kira aku siapa? Kenapa galak sekali?" Aditya malas menanggapi, berbalik dan berkata, "Masuklah." "Boleh masuk nggak?" Arlon menyeringai. "Katanya kamu sudah menikah, jangan-jangan Kakak Ipar ada di dalam?" "Enyahlah." Saat mengungkit wanita itu, wajah Aditya langsung terlihat jijik, "Aku sudah menyuruhnya ke kamar lain." "Nggak perlu sekejam itu. Kalian masih pengantin baru." Arlon melangkah masuk sambil melirik sekeliling, "Ck, ck. Kamar sedingin ini sama sekali nggak seperti kamar orang yang sudah menikah." "Aku sama dia cepat atau lambat pasti cerai." Aditya mengambil handuk, mengusap rambutnya yang masih basah. "Jangan-jangan kamu masih belum bisa melupakan Henny?" Arlon duduk di sofa sambil menyilangkan kaki, "Satunya musisi kelas dunia, cantik dan berbakat. Sedangkan satunya lagi hanya putri Keluarga Thio yang nggak terkenal. Perbedaannya sangat jauh, pria mana pun akan sulit menerimanya." Aditya melihatnya dengan datar, "Apakah belakangan ini, Henny ada hubungi kalian?" Arlon menggeleng, "Nggak. Katanya, sewaktu keluargamu memutuskan soal pernikahan untuk tolak bala itu, mereka sempat menghubungi Keluarga Sarlam, tapi Keluarga Sarlam menolaknya, Henny juga nggak pernah muncul. Sepertinya dia takut menjadi janda. Padahal aku kira dia cinta mati denganmu." Aditya mengernyit dingin, "Sudahlah, itu sudah lewat. Manusia memang egois, wajar kalau dia menolaknya." Arlon terkejut, "Pengertian sekali? Jangan bilang kamu mau cerai terus menikahi Henny?" "Pergi sana." Sehelai handuk basah langsung dilempar ke muka Arlon. "Haha, hanya bercanda. Ngomong-ngomong, barusan mengalami kejadian lucu di jalanan dekat rumah kalian." Arlon mengubah topik, "Ada seorang gadis yang salah kira aku sopir taksi online. Gadis itu sangat imut, bawa koper di tengah malam. Jangan-jangan diusir dari rumah orang kaya di daerah sini. Kasihan sekali." Begitu mendengar kata imut, Aditya langsung teringat Sharleen. Namun wanita itu punya gigi yang tajam, sampai sekarang lengannya masih sakit. Sialan! Arlon masih mengoceh, "Kalau di rumahku ada gadis secantik itu, mana mungkin aku tega mengusirnya malam-malam begini. Kasihan saja." "Kalau kasihan, kamu bisa pergi mengejarnya sekarang," sindir Aditya dengan dingin. "Nggak apa-apa. Aku sudah mengingat nomor pelat mobil online yang dia naiki, pasti aman," jawab Arlon penuh percaya diri. "..." Aditya sampai tidak bisa berkata apa-apa. Kenapa dirinya yang dingin bisa berteman dengan orang seperti Arlon. ... Jam delapan malam. Mobil yang ditumpangi Sharleen berhenti di depan kompleks dekat kampus. Adeline sudah menunggu di sana. Dia memakai sweater warna krem, tubuh rampingnya terlihat sangat cantik. Berbeda dengan Sharleen, wajah Adeline lebih menawan, tapi sifatnya lembut. "Aditya mengusirmu keluar, memangnya Keluarga Wirawan nggak peduli sama sekali?" Adeline mengeluh sambil mengambil koper dari tangan adiknya, "Dulu mereka bersikeras memaksamu menikah buat tolak bala, sekarang setelah orangnya siuman malah dibuang begitu saja. Ini namanya habis manis sepah dibuang." "Keluarga Wirawan nggak tahu aku pergi. Sudahlah, jangan marah lagi. Aku nggak peduli. Jika Aditya semakin baik, malah menguntungkanku karena bisa segera bercerai denganku." Sharleen sama sekali tidak marah. Sebaliknya, karena sudah setengah bulan tidak ketemu Adeline, dia malah menggodanya sambil menatapnya dari atas sampai bawah, "Kelihatan akhir-akhir ini lagi bahagia ya. Lihat wajahmu sampai merona begitu." Wajah Adeline memerah, lalu memelototinya, "Dasar." Dia terdiam sebentar, lalu bertanya, "Ayah masih marah?" Sharleen mengangguk, "Kamu diam-diam bawa kartu keluarga lalu menikah dengan Andres. Emosi ayah sangat tinggi selama beberapa hari ini." Adeline menghela napas, "Aku juga nggak punya pilihan. Dia bersikeras menikahkanku dengan Keluarga Wirawan untuk mendapatkan mahar. Seolah nggak ada yang lebih penting dari uang. Sejujurnya bagiku, asal cukup sudah cukup. Aku hanya mau hidup tenang bersama orang yang aku cintai." Sharleen sangat paham dengan Charles. Dulu, Charles selalu berharap Adeline cepat menikah dengan Aditya dan punya anak. Dengan begitu dia bisa ikut naik status lewat menantunya. Siapa sangka hasilnya nihil, malah masih harus waspada agar Aditya tidak tahu kalau yang menikah sebenarnya bukan putri kandungnya. Mungkin sekarang dia sangat ingin mencekik Adeline sampai mati. "Kak, kamu nggak menikah dengan Aditya dan kamu yang diam-diam mengambil kartu keluarga untuk menikah dengan Andres adalah dua hal yang berbeda. Jangankan ayah, mungkin ibu kandungmu pun sangat marah," kata Sharleen pasrah, "Ibuku bilang, lebih baik nggak pernah melahirkanku." Wajah Adeline tampak sedih, tapi segera tersenyum tipis. "Tapi Andres begitu luar biasa, cepat atau lambat mereka pasti akan menerimanya." Sharleen mengangguk. Andres adalah wakil profesor termuda di fakultas mereka. Dulu, nama Andres bahkan bisa dibilang sebuah legenda. Dia pernah menjadi mahasiswa pertukaran paling berprestasi yang mendapat kesempatan ke universitas ternama di luar negeri, lalu meraih dua gelar doktor di sana. Dia punya beberapa makalah yang bahkan pernah dimuat di jurnal internasional dan saat masih kuliah dia pernah memimpin timnya dalam lomba pemrograman hingga meraih juara Asiana. Orang seperti itu, ketika dibicarakan di kampus, benar-benar terasa jauh dari jangkauan. Bagi para mahasiswa seperti mereka, dia bahkan seperti legenda di puncak piramida. Sharleen sangat mengaguminya, hanya saja ketika legenda itu menjadi kakak iparnya, dia merasa agak disayangkan.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.