Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 13

Tatapan pria itu menyipit, dingin dan berbahaya. Sepertinya sudah lama sekali tidak ada orang yang berani bicara padanya seperti ini. Terlebih lagi, wanita ini bahkan bisa mengulang kata-kata yang dia lontarkan semalam, persis tanpa meleset. Benar-benar wanita yang pendendam. Tapi Sharleen tetap santai, "Kesal?" "Sharleen, kalau mau mati, langsung katakan saja, nggak berbelit-belit." Aditya menatapnya dengan jengkel. "Tuan Muda Aditya, aku hanya mau kamu merasakan perasaanku semalam." Sharleen tidak takut, juga tidak marah, malah tersenyum, "Kita bekerja sama, kedudukannya setara. Tapi kamu selalu sok lebih tinggi dan suka mengusirku. Aku nggak peduli status sosial kamu lebih tinggi dariku. Tapi dalam pernikahan ini, kita sama-sama saling terikat." Tekanan melintas di mata Aditya, lalu dia terdiam. Ini pertama kalinya dia bertemu wanita seperti Sharleen. Wanita lain mendekatinya dengan hati-hati, selalu hormat, takut dia marah. Hanya Sharleen yang menuntut kesetaraan. Perasaan itu justru membuatnya semakin penasaran dan ingin tahu tentang wanita ini. "Pikirkan baik-baik sendiri." Setelah berkata begitu, Sharleen langsung turun dari mobil. Ketika melihat punggungnya yang angkuh dan koper berwarna merah muda itu, wajah tampan Aditya sampai berubah bentuk. Bukankah itu kalimat yang sering dia katakan pada bawahannya? ... Sharleen melangkah masuk ke rumah besar. Pukul sepuluh pagi, dua pria dewasa di rumah sudah berangkat kerja. Hanya ada Tito, Leoni, dan Sandra. "Ayah, Ibu, Kakak Ipar." Sharleen menyapa sopan. "Heh, masih ingat pulang rupanya." Sandra menyindir, "Malam pertama tinggal di rumah Keluarga Wirawan saja sudah kabur dari rumah. Aku pikir kamu benci sama Keluarga Wirawan dan nggak berniat kembali lagi." "Kakak Ipar, Anda salah paham." Wajah Sharleen berubah, mata hitamnya tampak sedih. "Bukan aku yang mau pergi, Aditya yang menyuruhku pergi. Aku sakit hati, jadi pergi." "Apa? Bocah kurang ajar itu berani menyuruhmu pergi!" Tito langsung murka. Leoni yang selalu memihak anak bungsunya buru-buru berkata, "Aditya nggak akrab dengannya, wataknya begitu, wajar susah terima. Tapi Sharleen ...." Leoni berhenti sejenak dan menatap menantu keduanya dengan kesal, "Kamu terlalu lemah. Aditya menyuruhmu pergi, kamu langsung patuh. Kalau dia menyuruhmu mati, apa kamu akan mendengarkannya juga?" Sharleen pura-pura berpikir serius, lalu menunduk, "Sejak kecil, ayahku selalu bilang, kalau sudah menikah harus ikut suami, kalau suami mati ikut anak." Leoni, "..." "Omong kosong! Zaman apa sekarang, masih ada saja pikiran kolot begitu." Tito berdiri dan membentak. "Mulai sekarang, perkataan Aditya cukup kamu dengarkan saja, nggak perlu dituruti. Kalau dia berani macam-macam, kamu langsung cari aku, biar aku yang urus dia." "Terima kasih, Ayah." Sharleen memang mengucapkan terima kasih, tapi hatinya justru merasa rumit. Di keluarga ini, mungkin hanya Tito yang punya kesan baik padanya. Tapi demi bisa bercerai, dia justru harus membuat Tito membencinya. Huh. "Bantu Bu Sharleen bawa barang-barangnya ke atas," perintah Tito. Para pelayan buru-buru mengambil barang dari tangan Sharleen, lalu membawanya ke lantai dua. Begitu pelayan hendak masuk ke kamar utama milik Aditya, Sharleen langsung menahan dan bertanya, "Di lantai dua ada kamar tamu nggak? Tolong bawa barangku ke kamar tamu saja." Pelayan itu tertegun dan terlihat serbasalah, "Bu Sharleen, Anda mau tidur terpisah dengan Tuan Muda Aditya?" Sharleen baru saja mau menjawab, suara tegas Tito terdengar dari belakang, "Pasangan baru menikah nggak boleh pisah kamar, bawa masuk saja. Oh ya, bukannya ada sofa di dalam? Pindahkan keluar." Sharleen, "..." Jurus Tito yang satu ini benar-benar luar biasa, bahkan kesempatan untuk tidur di sofa pun tidak diberikan padanya. "Ayah .." Sharleen menoleh dengan wajah sedih, "Aku sama Aditya masih belum terlalu akrab, kalau tidur sekamar dia pasti nggak suka. Aku juga ...." "Dia kerja di siang hari, jika malam masih tidur terpisah, mana bisa akrab." Tito mendengus, "Aku dan ibumu menikah karena dijodohkan sebelum kawin hanya ketemu sekali, tapi lama-lama tidur sekamar jadi akrab." Belum sempat Sharleen membantah, dia sudah melanjutkan, "Putuskan begitu saja. Soal Aditya, aku ada cara membuatnya setuju." Tidur sekamar .... Seluruh sel tubuh Sharleen penuh penolakan. Dia terpaksa masuk ke kamar utama. Tapi Sharleen tidak langsung mengeluarkan barangnya, kalau Aditya menyuruhnya pergi lagi, dia tidak perlu repot membereskannya. ... Grup Wirawan. Itu adalah perusahaan terbesar di Kota Sunther, bahkan di kancah global pun termasuk yang terdepan. Namun, hanya orang internal perusahaan yang tahu kalau lima atau enam tahun lalu, Grup Wirawan masih sebatas perusahaan menengah dengan hanya ratusan karyawan. Sampai akhirnya anak kedua Keluarga Wirawan, Aditya, yang ambil alih. Reformasi cepat dan berani, serta ekspansi besar-besaran, membuat Grup Wirawan langsung melonjak jadi raksasa bisnis di Kota Sunther. Beberapa waktu lalu, kabar kecelakaan Aditya sempat membuat Grup Wirawan terpuruk. Hari ini, begitu dia kembali ke kantor, para karyawan sudah menyiapkan acara penyambutan meriah. Tapi setelah lama menunggu, ketika sosok Aditya akhirnya muncul di pandangan mereka. Orang-orang langsung menyambut dan sebelum sampanye sempat dibuka,. Aditya sudah menerima bunga lalu melemparkannya ke tong sampah. Tatapan tajamnya menyapu semua yang ada di depannya. "Saham perusahaan turun terus selama sebulan penuh, kalian masih punya waktu membuat acara seperti ini?" Uh .... Semua orang langsung ketakutan. Suasana hati Pak Aditya tampaknya sedang tidak baik. "Kumpulkan semua eksekutif, rapat." Aditya memberi perintah, lalu melangkah masuk ke lift. Setelah itu, dia bahkan tidak makan siang, langsung menghabiskan tiga jam penuh dalam rapat. Ketika kembali ke kantor, Dony dengan hati-hati mendekat dan mengingatkan, "Pak Aditya, Nona Henny sudah datang dan sedang menunggu Anda di dalam." Langkah Aditya terhenti, alis tebalnya langsung berkerut tajam. Lalu, tangannya mendorong pintu. Henny yang berdiri di depan jendela besar tiba-tiba berbalik, matanya memerah, "Aditya, aku nggak sangka masih bisa ketemu kamu lagi di hidup ini!" Sambil berkata begitu, dia buru-buru berlari ke dalam pelukan Aditya. Tepat sebelum berhasil, tubuh Aditya sedikit bergeser ke kiri. Henny hanya menangkap angin. Dia menoleh dan air mata menetes. "Aditya, apa kamu membenciku? Aku benar-benar baru tahu dua hari ini, kalau malam setelah mengantarku ke bandara malam itu, kamu kecelakaan. Ayah ibu menyembunyikannya dariku. Kamu juga tahu, waktu itu aku lagi tur konser di luar negeri dan sibuk setiap hari. Teleponmu juga nggak bisa aku hubungi. Aku khawatir kamu meninggalkanku, bahkan aku berpikir untuk kembali bersama seluruh tim. Tapi aku inti dalam tim itu, aku nggak bisa pergi ...." "Aku baru pulang kemarin. Ayah ibu bilang Keluarga Wirawan sempat mencari Keluarga Sarlam untuk menikahkan aku buat mengusir bala. Tapi karena mereka pikir kamu nggak akan hidup lama lagi, mereka langsung menolaknya tanpa menanyakan pendapatku." Semakin lama bicara, Henny makin sedih, makin putus asa dan air matanya mengalir deras. Wajah tegang Aditya perlahan melembut.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.