Bab 16
"Kalung apa?"
"Kalung yang Henny bawakan untukku. Dasar kampungan, cepat keluarkan, harganya beberapa miliar."
Sambil bicara, Sandra mulai mengubrak-abrik meja belajar di depannya.
Menurutnya pasti tadi Sharleen sempat diam-diam mencoba mengenakan kalung itu.
"Aku nggak tahu kalung apa. Aku bahkan nggak pernah melihatnya." Sharleen benar-benar bingung.
"Jangan pura-pura! Kalung itu ada di kotak di atas meja, waktu itu hanya ada kamu di sana. Kalau bukan kamu yang ambil, memangnya bisa siapa lagi?"
Sandra marah besar, "Itu bukan barangmu, ambil tanpa izin namanya mencuri!"
"Aku sudah bilang nggak ambil!" Sharleen juga marah karena terus difitnah.
"Kamu nggak mau mengaku, ya?"
Sandra sama sekali tidak percaya, "Rita, cepat geledah kopernya, pasti disembunyikan di situ!"
Rita tidak berani sembarangan, tapi Sandra sudah tidak peduli dan langsung pergi mencarinya.
Rita pun terpaksa mengikutinya.
Sandra segera menemukan koper Sharleen dan membukanya. Lalu membongkar semua pakaian dan barang-barang Sharleen, melemparkannya ke lantai sambil mengomel, "Ih, sampah macam apa ini?"
Pemandangan itu ....
Menusuk harga diri Sharleen sedalam-dalamnya.
Dia langsung berlari dan mendorong Sandra dengan kuat.
Sandra jatuh ke lantai, lalu menoleh dengan wajah tidak percaya, "Sharleen, kamu berani mendorongku!"
Dia murka, bangkit dan langsung menerjang ke arah Sharleen.
"Siapa suruh kamu mengacak barangku tanpa izin!"
Kuku Sandra sempat menggores wajah Sharleen, tapi Sharleen juga tidak mau kalah dan menarik rambut panjangnya.
Keduanya pun bergumul.
Rita sampai tertegun melihat adegan itu.
"Rita, kenapa diam saja? Cepat bantu aku! Jangan lupa aku menantu pertama Keluarga Wirawan, hati-hati nanti kamu aku pecat!"
Sandra tidak pernah dipermalukan seperti ini atau bisa dibilang belum pernah adu fisik.
Tapi harga diri yang tinggi dan sifat pantang kalah membuatnya nekat melawan.
Awalnya dia pikir Sharleen yang mungil mudah diatasi, ternyata gadis itu tenaganya sangat kuat.
Rita menggertakkan gigi, akhirnya ikut membantu Sandra.
Meski dia tidak mau menyinggung siapa pun, tapi Sharleen jelas tidak punya kedudukan di Keluarga Wirawan.
Sharleen tadinya tidak mau terlalu kasar, tapi dia harus menghadapi dua orang sekaligus, jadi terpaksa menendang Rita menjauh, lalu menindih Sandra di lantai.
Rita buru-buru maju lagi dan menarik rambut Sharleen.
Tito dan Leoni baru pulang dari luar. Begitu mendengar keributan di atas, mereka naik ke lantai dua serta melihat pemandangan kacau itu.
"Hentikan! Hentikan!"
Suara bentakan Tito terdengar.
Ketiga orang itu sontak berhenti.
Sandra yang belum pernah diperlakukan seperti ini, langsung menangis terlebih dulu, "Ayah, Ibu, untung kalian datang! Aku hampir mati dipukul Sharleen! Tolong aku!"
"Sharleen, berani sekali kamu!" Leoni marah besar.
Bagaimanapun, Sandra sudah hidup bersamanya lebih dari dua puluh tahun, dan selama ini dia pandai mengambil hati kedua orang tua itu. Mereka sudah lama menganggapnya seperti anak sendiri.
Kini saat melihatnya babak belur, tentu saja kekecewaan terhadap Sharleen semakin memuncak.
Tapi syukurlah, Sharleen memang tidak pernah menaruh harapan pada mereka.
Dia melepaskan Sandra.
Sandra langsung bangkit dan bersembunyi di sisi Leoni, sambil terus menangis dan mengadu.
"Ayah, Ibu, hari ini Henny datang ke rumah. Dia kasih aku kalung dan kasih Ibu jam tangan dari luar negeri. Tapi begitu aku antar dia keluar dan kembali lagi, kalungku sudah hilang. Waktu itu hanya Sharleen yang ada di ruang tamu. Kalung itu harganya lebih dari sepuluh miliar. Kalau bukan dia yang curi, siapa lagi? Aku suruh dia kembalikan, tapi dia malah memukulku."
"Sharleen, berani-beraninya kamu mencuri di rumah Keluarga Wirawan. Cepat kembalikan kalungnya!" Leoni menghardik keras.
Padahal sekarang sedang panas terik, tapi Sharleen merasa hawa dingin menusuk tulang, "Kalian bilang aku yang curi kalungnya, apakah ada buktinya?"
"Hah! Kalau bukan kamu, siapa lagi?"
Sandra menunjuknya dengan penuh amarah, "Waktu itu hanya kita berdua di rumah. Rita sudah kerja belasan tahun di rumah Keluarga Wirawan, barang yang lebih mahal pun nggak pernah dia sentuh. Justru kamu yang baru datang, tiba-tiba kalungku hilang. Jelas kamu yang ambil. Kamu nggak pernah lihat perhiasan mewah, makanya nggak tahan godaan!"
Leoni mengangguk. Dia memang cukup mengenal sifat Rita, "Sharleen, itu barang kakak iparmu. Siapa yang mengajarimu mengambil barang orang lain?"
"Ibu, sewaktu aku bongkar kopernya, dia langsung marah dan memukulku. Itu jelas karena dia panik!" Sandra terus mengadu karena melihat Leoni memihaknya.
Sharleen pun menoleh ke Tito, "Ayah, apakah Anda juga merasa aku yang mencurinya?"
Tito berkerut, tampak merenung dengan serius, lalu berkata, "Kalau kamu suka dengan kalung itu, nanti aku bisa membawamu pergi membelinya. Sharleen, kalau kamu kembalikan sekarang, kami semua akan memaafkanmu karena ini kesalahan pertama."
"Huh ...."
Sharleen tertawa, seolah baru mendengar lelucon konyol.
Selama ini dia sempat mengira Tito cukup baik, karena sering melindunginya.
Ternyata dia juga merendahkannya.
Sharleen menyeka air mata yang keluar karena tertawa getir, "Hari ini aku baru tahu, ternyata orang yang paling miskin dan kedudukannya paling rendah di rumah ini, otomatis jadi orang paling berdosa."
"Sharleen ...." Wajah Tito menjadi serius.
"Bukannya begitu? Hanya karena kalian pikir aku nggak pernah melihat kalung semahal itu, maka kalian langsung menuduhku mencuri. Bahkan dengan seenaknya mengacak-acak koperku. Padahal polisi saja kalau mau menggeledah barang pribadi orang harus ada izin. Tapi di rumah Keluarga Wirawan ini, semuanya bisa seenaknya sendiri ...."
Sharleen menarik napas panjang. Wajah mungilnya yang manis kini memancarkan sorot mata tajam penuh amarah, "Apa Keluarga Wirawan ini lebih tinggi dari hukum?"
Ekspresi Tito seketika berubah.
Leoni sampai gemetar menahan emosi, "Cukup! Aku belum pernah melihat orang sekeras kepala kamu. Tadinya aku pikir meski keluargamu miskin, setidaknya kamu bawa keberuntungan hingga bisa membuat Aditya siuman. Tapi dengan watakmu ini, aku rasa rumah ini nggak bisa lagi menampungmu!"
Sandra segera menimpali, "Cepat kembalikan kalungnya, lalu keluar dari rumah Keluarga Wirawan!"