Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 5

Clayton terkejut menatapnya. "Urus? Bagaimana kamu bisa mengurusnya sendiri?" Dia marah besar. "Seperti sekarang ini? Wenny, kamu bisa nggak jangan selalu keras kepala? Aku suamimu, kenapa nggak bilang dulu kalau mau melakukan sesuatu? Kamu mau aku melihatmu terluka seperti ini?" Dia marah sampai terengah, melangkah mendekat, tapi gerakannya tiba-tiba menjadi lembut. Dia bertanya kesal dengan alis berkerut. "Sakit nggak?" Wenny perlahan menunduk. Sesakit apa pun lukanya, mana bisa menandingi sakit di hatinya? Suaminya? Clayton mana mungkin suaminya? Selama Wenny dirawat di rumah sakit, Clayton hampir menjadikan tempat itu rumahnya. Dia sibuk merawat Wenny seorang diri. Sampai suatu malam, seorang wanita berpakaian perawat yang memakai masker mendorong pintu. Dia duduk di atas pangkuan Clayton. Rasa kantuk Clayton seketika hilang dan ekspresinya berubah saat melihat Friska di atas pangkuannya. Dia menarik Friska ke kamar dalam dan sebelum menutup pintu, dia melirik Wenny yang tertidur di ranjang. "Siapa suruh kamu datang ke sini!" Suaranya penuh amarah. Tapi Friska sama sekali tidak takut, malah menyentuh bagian bawah tubuh Clayton. "Suamiku, anak kita kangen ayah! Dia mau kamu menyentuhnya ... menyentuh ibunya ...." Suaranya manja, penuh godaan. Mata Clayton semakin dalam, jakunnya naik turun. Sampai seluruh darahnya naik ke ubun-ubun, dia tidak bisa mengontrol diri lagi. "Friska, kamu benar-benar nakal!" Dari seberang terdengar raungan pria dan teriakan manja wanita yang menantang. Kening Clayton penuh keringat, tangannya menutup mulut Friska. "Diam!" Tapi Friska tetap ingin berteriak, agar wanita yang ada di ranjang luar mendengarnya. Sebenarnya Wenny sudah terbangun dari tadi. Dia sudah bangun saat Friska masuk kamar. Tubuhnya gemetar, jantungnya seperti diremas, sakitnya sampai ujung jari ikut gemetar tanpa kendali. Clayton, bagaimana dia begitu berani? Dia berani menghinanya seperti ini! Setelah puas melampiaskan nafsu dan mengantar Friska pergi, Clayton mendekat ke sisi Wenny dengan pelan. Dia menyelimuti Wenny dengan hati-hati. Clayton ingin menggunakan tangan yang habis menyentuh Friska untuk mengelus pipi Wenny. Tapi Wenny pura-pura berguling menjauh. Clayton menarik tangannya kembali dengan kecewa. Hingga mendengar langkahnya menjauh, Wenny baru membuka matanya lagi. Ponselnya bergetar. "Gaun pengantin sudah dikirim, seminggu lagi siap berangkat." Dia tidak membalas, hanya menggenggam ponsel itu erat-erat, menutup mata, dan dua baris air mata mengalir. Hanya perlu menunggu satu minggu lagi. Dia bisa benar-benar pamit dengan dua belas tahun itu. Dalam seumur hidupnya, dia tidak mau bertemu Clayton lagi! Keesokan paginya, di meja sudah tersaji makanan favoritnya, tapi Clayton tidak ada. Sepertinya dia tahu kapan Wenny akan bangun. Ada pesan masuk di ponselnya. "Istriku, ada urusan penting di organisasi, aku pulang agak malam. Aku mencintaimu!" Wenny tersenyum sinis, menghapus riwayat percakapan mereka. Sepertinya Clayton sudah lupa, kalau dia juga bagian dari organisasi. Dulu, semua tindakannya selalu dilaporkan padanya. Tapi sejak dua tahun lalu, Clayton sudah belajar menyembunyikan dan menipu. Wenny mengurus kepulangan rumah sakit sendiri, naik taksi pulang ke rumah. Semua barangnya dikemas, tapi tidak ada satu pun barang terkait Clayton yang dibawa. Dia mengemasi barang-barangnya dengan perasaan mati rasa dan merapikannya satu per satu. Tiba-tiba ponsel berdering. Itu telepon dari ibu Friska yang gila itu. Friska meninggalkannya di Negara Itana, sedangkan dirinya sendiri menikmati hidup enak. Kondisi Regina kadang baik, kadang buruk. Wenny sering disiksa olehnya dalam dua tahun ini. Tapi setiap kali teringat Friska dalam kondisi koma karena demi Clayton, dia menahan diri. Dia bahkan tidak pernah mengeluh pada Clayton. Tapi ternyata, sementara dirinya berkorban, dua orang itu hidup santai dan menciptakan kehidupan baru! Wenny menjawab telepon dengan wajah dingin. Di telepon, Regina berteriak marah. "Wenny! Dasar wanita nggak tahu malu! Kamu lupa aku harus kontrol hari ini? Kamu sudah nggak sabar ingin melihatku mati, ya! Biar kamu bisa bebas dariku, bebas dari dosamu!" "Berengsek! Aku kasih tahu ya! Jangan harap!" Kata-kata kasar terus terdengar dari telepon. Wenny tetap tenang, tidak menutup telepon, malah setuju untuk menemaninya kontrol.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.