Bab 4
Hari jamuan itu akhirnya tiba, dan Gian mengirim mobil khusus untuk menjemput Nadine.
Saat acara berlangsung, Gian tidak pernah menjauh dari sisi Celine. Begitu Nadine masuk, pria itu langsung memberi isyarat lewat tatapannya, memintanya naik ke depan.
Dengan tangan yang tergenggam erat untuk menahan gemetar, Nadine melangkah ke panggung, tetapi wajahnya tetap tenang.
"Aku mengadakan jamuan ini untuk meminta maaf kepada Dokter Celine. Semua rumor dan keributan di internet sebelumnya ... adalah kesalahpahaman dariku. Di sini, aku meminta maaf."
Kerumunan langsung heboh. Hampir semua orang menyalahkannya dan menuduh Nadine yang membuat Celine menjadi korban serangan netizen tanpa alasan.
Nadine hanya diam dan tidak berniat menjelaskan apa pun.
Setelah selesai meminta maaf, dia bersiap pergi.
Namun tepat saat dia berbalik, Celine tiba-tiba memanggilnya.
"Aduh, Nadine, barangku yang penting tertinggal di mobil. Bisa tolong ambilkan sebentar?"
Nadine langsung menolak tanpa ragu, "Kamu bisa panggil pelayan."
"Aku mana bisa percaya orang lain? Aku cuma tenang kalau kamu yang mengambilkannya." Celine menarik lengan Gian sambil merajuk kecil.
Gian menepuk tangan Celine untuk menenangkannya, lalu menoleh pada Nadine dengan tatapan seperti perintah.
Nadine tahu dia tidak bisa menolak. Dia pun berbalik dan keluar dari aula.
Begitu dia sampai di depan mobil, tiba-tiba suara mesin yang sangat nyaring terdengar.
Saat Nadine sadar ada yang tidak beres dan hendak berbalik, semuanya sudah terlambat. Sebuah mobil berhenti tepat di depannya, dan orang di dalamnya melompat keluar dengan sangat cepat.
Saat bertatapan dengan mata dingin dan gelap pria berbaju hitam itu, Nadine langsung merinding. Dia refleks ingin kabur, tetapi rambutnya tiba-tiba ditarik keras hingga tubuhnya tersentak mundur dan tamparan mendarat di wajahnya.
"Siapa kalian?" Rasa darah naik ke tenggorokan, namun Nadine tetap menahan diri dan bertanya, "Di sini ada banyak kamera pengawas. Berani-beraninya kalian menyerangku di sini?"
Pria berbaju hitam itu menatapnya dengan sorot mata penuh kebengisan. "Anggap saja ini pelajaran dari malaikat maut. Berani-beraninya kamu membuat Nona Celine marah. Menyerangmu saja belum cukup. Kamu pantas dibunuh!"
"Brak!"
Pria berbaju hitam itu menarik rambut Nadine dan menghantamkan kepalanya ke jendela mobil.
"Ah!"
Terdengar suara pecahan kaca yang begitu nyaring, dan darah langsung menodai retakan kaca itu.
Ini baru permulaan.
Segera setelah itu, pria berbaju hitam kembali menghantamkan kepala Nadine ke jendela hingga beberapa kali.
Sampai akhirnya kaca mobil hancur, berbaur dengan darah, dan bertebaran di tanah.
Nadine berusaha mati-matian melawan, tetapi genggaman pria itu begitu kuat, membuatnya sama sekali tak bisa lepas.
"Tolong ... tolong ... "
Di tempat yang begitu sunyi itu, hanya isakan putus asa Nadine yang terdengar. Darah dari keningnya mengalir masuk ke matanya, membuat penglihatannya buram. Saat dia merasa dirinya benar-benar di ambang kematian, pria itu akhirnya menghentikan pukulannya dan melemparkan tubuhnya ke tanah begitu saja.
Namun tak lama setelah itu, lampu mobil menyala, dan mobil mulai bergerak perlahan.
Nadine hanya bisa mendengar suara napasnya yang lemah, sementara mobil itu sudah bersiap untuk melindasnya.
"Berhenti!"
Dalam pandangan yang kabur, dia samar-samar melihat seseorang berlari cepat ke arahnya. Belum sempat melihat jelas siapa itu, seluruh kesadarannya menghilang.
Saat rasa sakit mulai kembali terasa, Nadine perlahan sadar. Bau disinfektan yang familier langsung memberinya petunjuk. Dia dibawa ke rumah sakit lagi.
Keningnya dibalut perban tebal, matanya perih. Begitu dia mencoba menggerakkan tubuh sedikit, nyeri di kepala langsung menusuk.
"Nadine ... akhirnya kamu sadar ... "
Suara laki-laki yang sangat dikenalnya terdengar di telinganya. Nadine membuka mata dan melihat Gian berdiri di samping ranjang dengan mata merah dan tampak lelah.
Begitu dia sadar, Gian akhirnya mengembuskan napas lega.
"Syukurlah ... syukurlah kamu baik-baik saja."
"Aku sudah menyelidikinya. Mereka adalah para perusuh rumah sakit. Mereka mengira kamu itu Celine. Aku sudah membuat mereka semua masuk penjara, jadi jangan takut."
"Kepalamu masih sakit? Coba gerakkan sedikit, apa ada bagian lain yang nggak enak."
Saat Gian berbicara, ponselnya tiba-tiba berbunyi beberapa kali.
Itu adalah nada dering khusus milik Celine.
Namun yang mengejutkan, Gian tidak mengangkatnya. Ini adalah pertama kalinya dia mengabaikan telepon dari Celine.
Mata Gian yang biasanya dingin kini tampak penuh rasa sayang dan kecemasan saat menatap luka-luka di tubuh Nadine. Dia menggenggam tangan Nadine dengan sangat erat, seolah hanya itu yang bisa meredakan ketakutannya sendiri.
Nadine berusaha menarik tangannya, tapi genggaman Gian terlalu kuat. Dia sama sekali tak bisa melepaskan diri.
"Gian ... kalau aku bilang ini bukan ulah perusuh rumah sakit, melainkan Celine yang menyuruh orang untuk menyerangku, apa kamu percaya? Aku dengar sendiri pria itu menyebut nama Celine."
Alis Gian langsung mengerut. Dia perlahan melepas genggaman tangannya.
"Nadine, kamu sudah keterlaluan."
"Celine juga korban. Kalau bukan karena kamu, yang terbaring di rumah sakit sekarang mungkin dia. Mana mungkin dia dalangnya? Kamu terlalu berpikir jauh."
Tatapan mata Nadine bergetar, dan dia tersenyum sinis.
Mungkin karena memang sudah tak berharap apa pun dari Gian, Nadine sama sekali tidak terkejut mendengar perkataan seperti itu.
Tak ingin membuang tenaga untuk berdebat, dia menutup matanya yang lelah dan ingin beristirahat.
"Nadine, aku tahu kamu masih kesal pada Celine. Aku janji, setelah semuanya kembali normal, aku akan menjaga jarak darinya, oke?"
Gian mengusap rambutnya dengan lembut.
Mungkin karena merasa bersalah, malam itu dia terus berjaga di sisi ranjang, mencoba menenangkan Nadine seperti dulu.
Namun hati Nadine sudah benar-benar mati rasa.
Dia tahu, Gian tidak akan pernah bisa menepati itu.
Celine sudah mencoba menelepon Gian beberapa kali, tetapi tak satu pun teleponnya dijawab. Merasa ada yang aneh, dia berjalan menuju depan ruang rawat.
Saat melihat Gian merawat Nadine dengan penuh perhatian, wajah Celine menegang. Matanya dipenuhi kemarahan dan niat jahat yang melintas sekejap.