Bab 5
Keesokan harinya.
Saat Nadine masih terlelap, pintu ruang rawat tiba-tiba ditendang keras dari luar.
Belum sempat dia sadar, tubuhnya langsung ditarik bangun dari tempat tidur.
"Mana Celine? Kamu bawa ke mana dia?"
Nadine benar-benar kebingungan.
Wajah Gian gelap dan penuh amarah. Dia melemparkan sebuah kalung berlumuran darah ke wajah Nadine.
"Nadine ... " Suara Gian terdengar seperti menahan amarah, "Aku mau lihat ... kali ini kamu mau mengelak apa lagi?"
Kalung itu menempel di wajah Nadine, dan dia mengambilnya pelan.
Itu memang kalung miliknya.
Kalung yang tertinggal di lokasi ketika dia dipukuli pria berjaket hitam tempo hari.
Tapi dia tak mengerti apa maksud Gian membawa-bawa ini.
"Kalung ini punya kamu, 'kan?" Gian menggertakkan giginya. "Tadi malam Celine tiba-tiba mengirim pesan padaku. Hanya dua kata 'Tolong aku!' Saat aku sampai di rumah sakit, dia sudah hilang! Yang tersisa di ranjang cuma kalung ini!"
Nadine menatap kosong, lalu menyerahkan kalung itu kembali.
"Ini bukan urusanku."
"Masih bilang bukan urusanmu?" Gian mencengkeram leher Nadine dengan mata merah penuh amarah. "Tadi malam kamu bilang Celine yang menyakitimu, dan hari ini dia hilang. Bukankah kamu melakukan ini untuk membalasnya?"
Napas Nadine terasa sesak, namun tatapannya teguh dan tidak gentar sedikit pun.
"Aku bilang ... aku nggak tahu ... dan aku nggak melakukannya ... "
Tapi Gian tetap tidak percaya.
Dia yakin benar bahwa Nadine yang melakukannya. Untuk memaksa Nadine mengembalikan Celine, Gian bahkan membawa kakak Nadine keluar dari penjara, lalu mengikatnya dengan posisi seperti huruf "X" dan membuangnya di tengah jalan.
Di depan kakaknya, ada sebuah mobil dengan lampu berkedip-kedip tanpa henti.
Nadine belum sempat memahami apa yang ingin Gian lakukan.
Tiba-tiba, mobil itu menyala, lalu melaju kencang dan langsung melindas kaki kakaknya.
"Ah!"
Mata Nadine memerah seketika, seolah darah langsung mengalir deras ke otaknya.
"Kakak!"
"Apa yang kalian lakukan pada kakakku!"
"Aku sudah bilang aku nggak tahu apa-apa. Aku benar-benar nggak tahu! Kenapa kamu nggak bisa percaya padaku? Kenapa kamu nggak bisa memercayaiku sekali saja?"
Nadine sama sekali tidak menyangka Gian bisa segila ini. Demi Celine, dia sampai berani mengancam nyawa kakaknya.
Pria ini benar-benar sudah kehilangan akal.
"Nadine." Suara Gian dingin dan datar. "Aku kasih kamu waktu. Kalau dalam tiga menit kamu masih belum mengatakan di mana Celine ... maka mobil itu akan menghantam kepala kakakmu."
"Katakan di mana Celine, dan kakakmu akan selamat."
Seluruh tubuh Nadine gemetar hebat. Melihat kakaknya yang hampir tak bernyawa tergeletak di tanah, dia merasa seluruh dirinya hampir runtuh.
"Aku nggak tahu ... aku benar-benar nggak tahu apa-apa ... Gian, kumohon... lepaskan kakakku ... Dia sudah kamu kirim ke penjara, kenapa kamu masih nggak mau melepaskannya?"
Permohonannya hanya dibalas dengan senyuman dingin dari Gian.
Satu menit berlalu, mobil kembali dinyalakan.
Kali ini, ban mobil melindas tangan kakaknya.
"Nggak! Jangan!"
"Brak!"
Nadine langsung jatuh berlutut di tanah. Dengan tubuh gemetar dan air mata tak henti mengalir, dia menatap Gian sambil bersumpah.
"Gian, kumohon ... jangan sakiti kakakku. Aku bersumpah ... ini bukan ulahku. Kalau memang aku yang melakukannya, biar aku yang mati! Itu sudah cukup, 'kan?"
"Percayalah padaku, Gian ... kumohon ... "
Namun kerendahan hati dan tangisannya tetap tidak membuat Gian percaya.
Dia hanya mengerutkan kening dengan tidak sabar, lalu mengangkat tangannya memberi isyarat. Tak jauh dari sana, lampu mobil kembali menyala pertanda hukuman berikutnya akan dimulai.
Mata Nadine terbelalak, dan suaranya gemetar.
"Jangan ... jangan ... "
Saat melihat mobil mendekat, Nadine langsung bertindak tanpa ragu. Dia melepaskan diri dari ikatan dan berlari menutupi kakaknya yang sedang tergeletak di tanah, demi melindunginya.
"Nadine!" Gian terlihat panik.
Namun sudah terlambat untuk menghentikan aksi itu.
Detik berikutnya ...
Punggung Nadine terkena benturan, dan dia terlempar ke udara.
Sakit yang menusuk membuatnya sulit bernapas, dan organ-organ dalam tubuhnya seakan tergeser. Tiba-tiba, perutnya menegang dan darah segar memancar dari mulutnya.
"Nadine!"
Gian langsung berlari dan mengangkat Nadine, jarinya terus mengusap darah di sudut mulutnya.
"Maaf ... maaf ... aku ... "
Tiba-tiba, sekretaris Gian datang tergesa-gesa dan memberi kabar dengan suara lembut.
"Pak Gian, Nona Celine sudah ditemukan."
"Saat ini dia ada di pinggiran kota, dan masih trauma serta terluka. Nggak ada yang bisa mendekatinya, dan dia hanya memanggil namamu."
Tubuh Gian mendadak kaku.
Dia menatap Nadine yang terluka parah dan tidak sadarkan diri di pelukannya, sambil mengingat teriakan Celine di telepon hari itu.
Di saat ambulans datang, dia akhirnya mengambil keputusan.
"Bawa istriku ke rumah sakit, dan cari dokter terbaik. Pastikan nggak terjadi apa-apa padanya."
"Aku ... akan segera ke sana."