Bab 6
Ambulans melaju kencang membawa Nadine dan kakaknya ke rumah sakit.
Tepat saat dia hendak dibawa ke ruang gawat darurat, terdengar keributan di pintu masuk.
"Dokter! Cepat panggil dokter ke sini!"
"Celine, tahan dulu ya. Aku segera panggil dokter untuk merawat lukamu. Jangan takut."
"Pak Gian ... " Sekretarisnya mendekat dan berkata dengan terbata-bata, "Di UGD rumah sakit hanya ada dua dokter jaga. Satu masih menangani operasi kakak istri Anda, sedangkan satu lagi masih berjaga ... Siapa yang harus diselamatkan terlebih dulu, Nona Nadine atau Nona Celine ... ?"
"Kami sudah memanggil dokter lain, tapi yang tercepat pun butuh setengah jam ... "
Pilihan itu akhirnya jatuh ke tangan Gian.
Nadine sudah tak mampu bicara lagi. Hanya dengan penglihatan kabur yang ternoda darah, dia bisa melihat keraguan di wajah Gian.
Satu orang terluka di tangan.
Satu lagi kecelakaan mobil dan muntah darah.
Dan pria ini masih ragu.
Nadine ingin mentertawakan situasi yang ironis ini, tetapi kekuatannya sudah habis hanya untuk sekadar menggerakkan mulutnya.
Darah terus mengalir dari tubuh Nadine, dan dia bisa merasakan kesadarannya semakin melemah. Dia tahu Gian pun menyadarinya.
Tiba-tiba Celine mengangkat tangannya dan menangis panik.
"Gian, aku adalah dokter ... tanganku nggak boleh rusak."
"Aku mohon, tolong aku. Kalau tanganku hancur, sama saja aku mati. Lagi pula ... aku seharusnya sudah mati hari ini. Bisa kabur saja sudah keberuntungan ... "
Ucapan Celine seakan membuat Gian tersadar.
Benar.
Menurutnya, semua masalah ini dimulai dari Nadine.
Nadine pantas menanggung akibatnya, sementara Celine adalah korban yang tak bersalah, dan baru saja hampir kehilangan nyawanya. Kalau sekarang tangannya rusak, itu sama saja menghancurkan hidupnya.
"Celine adalah dokter, dan tangannya sama sekali nggak boleh bermasalah. Aku harus selamatkan Celine dulu." Tatapan Gian meredup saat melihat pakaian yang Nadine kenakan sudah basah oleh darah. Dia tak sanggup terus melihatnya dan langsung memalingkan wajah. "Nadine ... kamu tunggu sebentar lagi, ya."
"Ini semua utang yang harus kamu bayar pada Celine."
Nadine bahkan sudah tak punya tenaga untuk membantah.
Detik demi detik terus berlalu, dan berkali‑kali Nadine merasa dirinya akan mati.
Namun naluri bertahan hidupnya sangat kuat, hingga dia mampu bertahan sampai dokter datang dan membawanya masuk ke ruang gawat darurat.
Enam jam penuh dia berada di ruang operasi dan akhirnya berhasil diselamatkan.
Begitu dia sadar di ruang rawat yang begitu familier, teleponnya tiba‑tiba berdering. Itu panggilan dari ayah Gian.
[Nadine, semua berkas sudah siap. Sekarang tinggal langkah terakhir.]
[Apa kamu nggak akan menyesal?]
"Mana mungkin." Suara Nadine parau. "Justru aku ingin pergi secepatnya. Tolong belikan dua tiket pesawat. Setelah semuanya selesai, aku ingin langsung pergi."
Dia masih ingin membahas rencana kematian palsu itu, tetapi pintu kamar tiba‑tiba terbuka dari luar.
"Nadine, kamu mau ke mana?"
Entah sejak kapan Gian sudah berdiri di ambang pintu.
Ucapan Nadine langsung terhenti. Dia segera menutup telepon dan wajahnya berubah dingin seketika.
"Kondisimu belum stabil. Sebelum luka-lukamu pulih, jangan ke mana‑mana. Kalau nggak, aku akan khawatir." Gian berjalan mendekat, hendak mengusap kepalanya. "Syukurlah cedera di tangan Celine nggak sampai ke tulang, dan cuma perlu dibalut sedikit. Kalau sampai cedera parah ... kamu nggak akan bisa dimaafkan."
Tidak sampai ke tulang?
Jadi, hanya demi sedikit luka di tangan Celine, Gian tega mengambil satu‑satunya dokter jaga dan membiarkan dokter itu menemani Celine semalaman, sementara nyawanya sendiri diabaikan?
Dan itu yang dia sebut khawatir?
Sungguh konyol.
Nadine menghindari sentuhannya, dan tatapannya dingin.
"Keluar."
Gian terdiam sesaat.
"Apa?"
Nadine mengulang dengan suara dingin. "Aku bilang keluar. Aku nggak mau melihatmu."