Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Kakak suamiku meninggal dalam kecelakaan mobil. Suamiku pun mengambil alih Grup Vianto. Tapi dia juga diminta bertanggung jawab merawat istri mendiang kakaknya. Ibu mertuaku berkata, "Kakak iparmu akan kesepian kalau sendirian. Kamu harus bisa menjaga dua keluarga. Kamu harus memberi kakak iparmu anak, sekaligus menjaganya." Suamiku memelukku sambil berusaha menenangkan, "Aku cuma akan memberinya anak, lalu nggak akan berhubungan lagi dengannya. Dari dulu cuma ada kamu di hatiku." Namun, saat Edwin yang awalnya hanya akan datang ke rumah kakak iparku sebulan sekali, kini berubah jadi hanya pulang ke rumahku sebulan sekali. Dari situ aku sadar kalau Edwin bukanlah suamiku seorang. Di hari kakak iparku mengumumkan kehamilannya, Edwin menghadiahkan kalung warisan keluarga padanya. Kalung itu hanya diwariskan dari satu generasi ke generasi dalam Keluarga Vianto. Sebelumnya, Edwin memberikan kalung itu padaku waktu kami bertunangan. Tapi sekarang dia malah memakaikan kalung itu di leher kakak ipar kami. Saat itu aku tersadar kalau sudah saatnya aku pergi. ... Kakak iparku, Jenita, malu-malu bersandar di bahu Edwin. Dia menyentuh kalung berlian yang melingkar di lehernya. "Edwin, ini kan kalung warisan turun-temurun Keluarga Vianto. Seharusnya Winny yang pantas memakai kalung ini." Nada bicaranya terdengar pura-pura tidak enak hati. Ibu mertuaku yang ada di samping, tersenyum sambil melambaikan tangan. "Bicara apa kamu ini? Kamu kan dari dulu suka berlian. Apalagi, sekarang kamu sedang mengandung anak pertama, sekaligus cucu pertama keluarga ini. Sudah sewajarnya kalung ini jadi milikmu." Barulah saat itu Edwin melirik ke arahku yang berdiri di dekat pintu. Tanpa menunjukkan ekspresi apa pun, dia melepaskan pelukannya dari Jenita dan berjalan mendekatiku. Aroma parfum bunga lily yang biasa Jenita pakai, masih melekat di tubuh suamiku. Aromanya yang sangat menyengat membuatku pusing. "Winny, Jenita sudah lama suka kalung itu. Kamu sendiri juga tahu dia seperti apa. Jarang ada barang yang benar-benar sesuai maunya. Jadi, tolong biarkan dia memakai kalung itu dulu, ya. Kamu nggak akan marah padaku, 'kan?" Jenita pura-pura mau melepas kalung di lehernya. Ujung jarinya sudah meraba-raba pengait kalung di belakang leher. "Aduh, Winny, jangan salah paham. Aku cuma merasa kalung ini cantik sekali, makanya jadi suka. Edwin cuma mau meminjamkannya sebentar. Ini aku kembalikan sekarang." Tapi makin dia pura-pura mau melepaskannya, pengait kalung itu malah tersangkut. Kulit leher belakangnya sampai memerah karena tergores. Kedua matanya tampak sudah berkaca-kaca, dia mulai sedikit terisak dan berkata dengan suara bergetar, "Edwin, sakit banget ... " Edwin langsung meraih tangannya. Pria itu seolah ikut tersakiti. "Jangan dilepas! Sudah kubilang kalau ini hadiah buat kamu. Soal Winny, besok akan kusuruh orang untuk membelikan kalung berlian yang lebih bagus sebagai gantinya." Edwin lalu balik badan menatapku. Nada bicaranya terdengar lembut tapi tidak menerima penolakan, "Winny, kamu kan baik hati, kamu nggak mungkin akan bertengkar dengan ibu hamil cuma gara-gara perhiasan, 'kan?" "Dia kan lagi hamil, itu nggak mudah. Apa salahnya kalau membuatnya senang sedikit?" Ibu mertuaku sudah kesal saat menatapku. "Winny, kamu sudah dua tahun menikah dengan Edwin, tapi nggak pernah ada tanda-tanda sedang hamil." "Anakku Edwin sekarang sudah jadi bos yang perusahaannya terdaftar di bursa saham. Kita ini keluarga terpandang, kalau sampai tersebar kabar dia nggak bisa punya anak, mau ditaruh mana wajah kita?" "Sekarang Jenita akhirnya hamil dan akan melahirkan cucu untuk keluarga ini. Itu sudah seperti jasa besar bagi kita." "Setelah Jenita melahirkan bayinya, biarkan dia hamil lagi dan melahirkan anak perempuan untukmu kan bisa. Jenita sudah berjasa besar bagi keluarga ini. Sedangkan kamu, kamu malah mempermasalahkan sebuah kalung. Kamu ini memang nggak tahu diri." "Kamu kan juga wanita dari keluarga terpandang. Masa masih harus diberi tahu soal begini?" Aku merasa ironis saat menyaksikan mereka bernyanyi bersama dengan harmonis. Selama beberapa tahun belakangan, tanpa bantuan ayah Winny, mana mungkin Edwin yang awalnya miskin, kini bisa menjadi seorang bos. Tapi sepertinya mereka semua sudah melupakan hal itu. Aku menoleh dan menatap kalung yang dulu Edwin pakaikan sendiri di leherku waktu melamar. Setelah kami menikah, karena takut kalung itu rusak, aku sengaja menyimpannya dalam kotak beludru. Sekarang, kalung itu tampak berkilauan di leher Jenita. Setiap butir kilau berliannya begitu menyilaukan, mataku sampai perih. Ada perasaan pahit sekaligus ngilu yang menyeruak di dadaku. Tapi aku tetap berusaha tenang saat berkata, "Kalung itu memang lebih cocok dipakai Kak Jenita. Kak, kalung itu tanda ketulusan Edwin padamu, jadi simpan baik-baik." Ibu mertuaku mendengus, "Baguslah kalau sudah tahu diri." Edwin menatapku kaget. Mungkin dia mengira aku akan menangis dan membuat keributan. Sebab, dulu aku memang akan marah besar saat melihatnya mengobrol dengan asisten wanitanya. Tapi, ketenanganku sekarang malah membuatnya terlihat sedikit panik. Saat sudah larut malam, Edwin berjalan masuk ke kamarku. Begitu masuk, dia memelukku dan berkata, "Winny, aku sudah banyak menyusahkanmu akhir-akhir ini. Sekarang Jenita sudah hamil, aku bisa menemanimu dengan tenang." Aku teringat janji-janji yang pernah dia ucapkan dulu. Itu membuatku tidak bisa menahan diri untuk mendongak dan bertanya, "Edwin, apa kamu masih ingat janjimu padaku dan ayahku dulu?" Edwin mencubit lembut pipiku, lalu berkata dengan penuh kasih, "Dasar cemburuan, tentu saja aku ingat." "Aku sudah janji kalau tugasku akan selesai begitu Kak Jenita melahirkan. Setelah itu, aku akan kembali padamu dan menemanimu." "Nanti aku juga akan berusaha supaya kamu cepat hamil, biar kamu nggak berpikiran macam-macam." Sisa perasaanku yang terakhir untuknya, seketika lenyap usai mendengar kalimat barusan. Waktu kami baru menjalin hubungan dulu, Edwin masih seorang pemuda miskin. Ayahku tidak mau merestui hubunganku dengannya. Kata ayah, Edwin tidak pantas bersanding denganku. Kemudian, Edwin berlutut di depan rumahku selama tiga hari tiga malam demi mendapatkan restu ayahku agar kami bisa menikah. Dia bersumpah di depan ayahku, dia bilang akan selalu berusaha melakukan yang terbaik, akan selalu mencintai dan melindungiku, serta tidak akan pernah membiarkanku menderita sedikit pun. Dulu aku sempat tersentuh dengan ketulusannya. Aku juga ikut berlutut di depan ayahku, sambil menangis aku bilang kalau tidak akan pernah menikah jika bukan dengan Edwin. Ayahku terdiam lama. Pada akhirnya, dia menyerah. Dia meletakkan sebuah dokumen di depan Edwin, lalu berkata dengan serius. "Ini surat perjanjian akan cerai. Isinya sangat jelas, kalau suatu hari nanti kamu mengkhianati putriku dan melukainya. Dia berhak pergi darimu selamanya, meski tanpa izinmu." "Edwin, apa kamu berani menandatanganinya?" Waktu itu, Edwin menandatangani perjanjian itu tanpa ragu. Namun, pria ini sudah lama melupakan janji dan komitmennya dulu. Aku merasa ironis melihatnya yang seperti sedang pura-pura sayang. Melihatku hanya diam dari tadi, Edwin pun menunduk dan mau menciumku. Aroma parfum bunga lily yang masih melekat di tubuhnya membuat perutku langsung mual. Aku refleks mengerutkan kening dan mendorongnya menjauh.
Bab Sebelumnya
1/8Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.