Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Tiba-tiba terdengar suara berisik dari depan pintu. "Cepat panggil dokter! Nggak ada yang bisa tanggung jawab kalau sampai ada apa-apa!" Segera setelah itu, ada orang yang mengetuk pintu dengan terburu-buru. "Pak Edwin, orang dari rumah Bu Jenita bilang kalau Bu Jenita tiba-tiba sakit perut dan sedikit pendarahan. Bapak sebaiknya cepat ke sana!" Edwin langsung mendorongku menjauh usai mendengar kalimat barusan. Punggungku sampai terbentur ujung meja. Rasa sakit sontak menjalar ke seluruh tubuhku. Pria itu sama sekali tidak menoleh padaku dan tergesa-gesa membuka pintu. "Ada apa? Cepat suruh sopir menyiapkan mobil. Hubungi juga dokter kandungan terbaik secepatnya!" Dia mengatakannya sambil melangkah keluar, berlari kecil menuju ke rumah kecil tempat Jenita tinggal. Asisten rumah tangga segera menopangku, jari-jari hangatnya menggosok pelan pinggangku yang sakit. "Jangan dimasukkan hati ya, Nyonya." Aku pun tertegun. Apa kejadian barusan kumasukkan dalam hati? Saat mengangkat tangan dan menyentuh wajahku, aku baru sadar kalau pipiku sudah basah oleh air mata. Aku memaksakan sebuah senyuman dan berkata, "Bantu aku ganti baju, lalu ayo kita pergi melihat kondisi Kak Jenita." Saat aku tiba di tempat Jenita, aku melihatnya bersandar di lengan Edwin. Wajahnya sedikit mendongak dan mau menangis. "Aku nggak bermaksud bilang kalau aku kenapa-kenapa ... Aku cuma merasa gelisah dan takut kamu nggak mau melihatku lagi setelah aku punya anak." "Hatiku seperti diremas setiap memikirkanmu harus menemani wanita lain. Rasanya sakit sekali." "Edwin, aku juga nggak tahu kenapa bisa jadi begini. Jangan salahkan aku ... Aku cuma mau lebih lama melihatmu. Aku nggak mau kamu pergi." Edwin memeluknya erat. Telapak tangannya berada di atas perut Jenita. "Dasar bodoh. Kamu ini sedang hamil anakku, mana mungkin aku mengabaikanmu? Kamu dan anak ini ... kalian berdua adalah orang yang paling kusayang." "Anak kita nanti akan jadi penerus perusahaan, mana mungkin aku mengabaikanmu." "Winny itu wataknya terlalu keras, beda jauh denganmu yang lembut dan pengertian. Aku sudah lama lelah menghadapinya. Tenang saja, nggak ada yang lebih baik darimu." Jenita menyentuh kerah baju Edwin dan berkata, "Kalau begitu, kamu harus janji akan menemaniku setiap hari, dan jangan sampai punya anak dengannya, oke? Aku bisa memberimu banyak anak, mau laki-laki atau perempuan." Edwin menunduk dan mencium kening Jenita. Dia tersenyum dan menjawab, "Oke, kamu memang manja. Mulai sekarang, aku akan menemanimu setiap hari." Jenita tersenyum dan bersandar di lengannya, sambil berkata, "Coba kamu elus, bayi ini pasti tahu kalau sedang ditemani ayahnya." Aku menggenggam erat tas di tanganku, lalu perlahan mundur keluar. Aku menatap rumah yang terang benderang ini dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. Aku masih ingat bagaimana ayahku menepuk punggung Edwin di hari pernikahan kami. Waktu itu, ayahku bilang, "Winny putri kami satu-satunya. Aku nggak akan memaafkanmu kalau sampai berani menyakitinya." Waktu itu, dengan kedua mata berkaca-kaca, Edwin berjanji, "Ayah, kalau sampai aku membuat Winny menderita, aku rela dijauhi orang-orang seumur hidupku." Belum genap tiga tahun Edwin berjanji, dan sekarang dia sudah membuat wanita lain mengandung anaknya. Asisten rumah tanggaku terlihat menatap wajahku yang sudah memucat. Dia kemudian menyarankan, "Nyonya jangan cemas. Kalau nanti Nyonya juga sudah melahirkan, anak Nyonya yang akan jadi pewaris Keluarga Vianto. Sekalipun Kakak ipar Nyonya sudah melahirkan anak duluan." Aku menggeleng dan berkata, "Bi Nina, nggak akan ada lagi nanti." Bi Nina tampak kaget. Aku lalu balik badan. Aku tidak mau lagi bersama Edwin yang sudah kotor. Karena begitu sesuatu sudah ternoda, noda itu tidak akan bisa dihilangkan. Aku kembali ke kamar dan duduk di depan meja kerjaku. Aku mengirimkan sebuah email terenkripsi pada ayahku saat matahari mau terbit. [Ayah, aku sudah cerai dengan Edwin. Seminggu lagi aku akan datang menemuimu dan Ibu.] Setelah mengirimkan pesan itu, aku mengambil dokumen perjanjian dari brankas, lalu pergi ke kantor firma hukum terdekat. Aku pergi untuk mengurus perceraian. Edwin, kamu sudah berkhianat. Jadi biarkan aku pergi dari hidupmu. Dengan begitu, kalian bisa hidup bahagia. ... Keesokan paginya, sebelum aku sarapan, seorang pelayan sudah lebih dulu datang mengetuk pintu. Sudah ada Jenita duduk bersandar di sofa ruang tamu. Sementara Edwin sedang menyuapinya buah. Melihatku datang, Edwin tampak terdiam sesaat. Dia lalu meletakkan buah di tangannya dan berjalan menghampiriku. "Kenapa raut wajahmu terlihat buruk, Winny? Tidurmu semalam nggak nyenyak?" Ibu mertuaku yang ada di samping pun menyindir, "Dia kan nggak lagi hamil, masa iya nggak bisa tidur? Beda dengan Jenita. Dia nggak bisa tidur semalaman karena hamil. Semua orang jadi cemas."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.