Bab 3
"Winny, kehamilan Jenita sangat penting bagi Keluarga Vianto."
"Akhir-akhir ini dia susah tidur, mungkin karena ruangannya kurang pencahayaan dan ventilasi. Beda dengan tempat yang kamu tinggali sekarang, sangat nyaman."
"Kamu kan nggak sedang hamil, sepertinya lebih baik biarkan Jenita tinggal di tempatmu dulu sampai dia melahirkan. Bagaimana menurutmu?"
Bi Nina bergegas maju dan berkata dengan gelisah, "Nyonya Winny dari awal sudah tinggal di rumah utama, mana mungkin menyerahkan rumah ini begitu saja? Ini nggak adil untuknya!"
Wajah ibu mertua Winny langsung suram. "Dia kan sudah tiga tahun jadi istri Edwin tapi masih belum hamil sampai sekarang. Aku sudah cukup baik hati nggak menyuruh Edwin menceraikannya. Memangnya dia masih mau menuntut apa lagi?"
"Sekarang Jenita sedang mengandung cucu pertama Keluarga Vianto, apa susahnya cuma pindah rumah saja?"
Jenita berdiri sambil memegangi pinggang, kedua matanya terlihat berkaca-kaca. "Ibu jangan bicara begitu. Aku nggak masalah mau tinggal di mana, paling cuma jadi sedikit kerepotan saja."
"Winny kan istri sah Edwin, mana mungkin aku bisa bersaing dengannya? Aku cuma mau melahirkan anak Edwin dengan selamat, itu saja sudah cukup."
Wajahnya tampak memucat saat bicara. Dia lalu kembali duduk di sofa dan memasang ekspresi lemah tidak berdaya.
Edwin menatapku sambil mengerutkan kening. "Winny, ini kan cuma soal pindah rumah. Biarkan saja Jenita pindah. Dia kan lagi hamil sekarang, kondisinya juga sedang kurang sehat. Kalau dia sudah melahirkan, aku akan langsung memintanya pindah dari rumah. Kamu juga jadi bisa memiliki rumah utama nanti."
Suamiku menyuruhku menyerahkan rumah utama kami pada kakak ipar yang sedang hamil.
Jika kabar ini sampai tersebar, semua pebisnis pasti akan menertawakanku. Ini jelas sebuah penghinaan.
Mana mungkin orang-orang ini tidak tahu?
Tapi Edwin malah tetap mengatakan hal seperti barusan. Semua hanya karena Jenita sedang mengandung anaknya.
Melihatku hanya diam, nada bicara Edwin mulai terdengar tidak sabar, "Winny, cepat bereskan barang-barangmu dalam dua hari ini. Biarkan Jenita cepat pindah demi melindungi kandungannya."
Aku menarik napas panjang dan berdiri tegap. "Aku bisa pindah hari ini juga biar nggak mengganggu kehamilan Kak Jenita."
Edwin tampak sedikit kaget. Dia terdiam sebentar sebelum akhirnya berkata dengan ragu, "Nggak harus buru-buru juga, kok ... "
Jenita segera menyela sambil tersenyum, "Terima kasih banyak, Winny. Edwin, aku mau makan buah plum kering, bisa tolong ambilkan?"
Edwin langsung gagal fokus. "Oke, biar aku suruh orang dapur membelikan lagi yang masih segar."
Dia mengatakannya sambil kembali duduk di samping Jenita. Sebelah tangannya membelai perut wanita itu, sementara tangan yang satunya menyuapkan buah plum.
Aku balik badan dan kembali ke rumah utama. Kemudian berkata pada Bi Nina yang mengikutiku, "Rapikan barang-barang yang kubawa dari rumah. Selain itu, jangan sentuh apa pun yang ada di sini."
Wajah Bi Nina memerah saking marahnya. "Nyonya kan sudah tinggal lama di sini, kenapa malah harus Nyonya yang pindah? Ini keterlaluan!"
Tenggorokanku terasa kering. Aku menatapnya dan berkata pelan, "Ini nggak akan berlangsung lama."
Sebentar lagi semuanya akan segera berakhir.
Edwin datang malam itu. Dia hanya berdiri di ambang pintu dan tidak masuk. Nada bicaranya terdengar menyesal, "Winny, maafkan aku. Aku benar-benar sudah menyusahkanmu kali ini."
Aku mendongak dan langsung menyela, "Nggak masalah. Ini bukan kali pertama aku diperlakukan begini."
"Oh iya, setelah ini kamu bisa hidup bahagia dengan kakak iparmu itu."
Edwin mengerutkan kening, dia malah tiba-tiba marah, "Apa kamu harus sinis begini cuma karena disuruh pindah? Winny, bisakah kamu lebih dewasa dan jangan egois?"
"Aku kan sudah bilang, bersabarlah sampai Jenita melahirkan. Aku cuma akan memberinya satu anak, dan setelah itu kita bisa hidup bersama seperti dulu."
Kembali seperti dulu?
Itu sudah tidak mungkin.
Jenita sendiri makin menjadi-jadi setelah pindah ke rumah utama. Dia bersikap seolah dia adalah nyonya rumah yang sebenarnya. Dia terus menempel pada Edwin setiap hari, dan tidak pernah membiarkan pria itu menemuiku sendirian.
Satu-satunya waktu kami bisa bertemu adalah saat makan malam.
Jenita selalu memanfaatkan bayi dalam kandungannya untuk mencari perhatian Edwin dan ibu mertua.
Seminggu kemudian, aku berulang tahun.
Hari itu, Edwin tidak ditempeli Jenita seperti biasa. Pria itu datang menemuiku di taman.
Edwin terlihat merasa bersalah. "Winny, maafkan aku yang sudah banyak menyusahkanmu. Kamu kan ulang tahun, jadi biarkan aku menemanimu hari ini."
"Aku sudah pesan yacht, nanti malam kita bisa berlayar sambil melihat pertunjukan lampu di sepanjang sungai, pasti seru."
Sebelum Edwin selesai bicara, Jenita terlihat mendekat. Dia tersenyum manis dan tampak malu-malu saat berkata, "Edwin, aku punya kejutan untukmu."