Bab 4
Jenita menarik tangan Edwin lalu meletakkannya ke perut. "Coba rasakan."
Segera setelah dia bicara begitu, bayi di dalam perutnya tiba-tiba bergerak.
Edwin langsung berdiri. "Bergerak? Bayinya berinteraksi denganku!"
Jenita lalu bersandar ke pelukan Edwin. "Kamu nggak tahu betapa aktifnya bayi kita. Dia menendang-nendang perutku seharian ini."
"Kamu harus sering-sering mengelus perutku dan bicara dengan bayi kita. Kata dokter, kalau ayahnya si bayi sering berinteraksi dengannya waktu dalam kandungan, nanti bayi bisa lebih dekat dengan ayahnya setelah lahir."
Edwin kemudian berjalan keluar dengannya. Nada bicaranya terdengar penuh harap, "Benarkah? Kalau begitu, mulai sekarang aku akan mengajaknya bicara setiap hari supaya dia mengenali suaraku."
Aku tidak tahan lagi dan memanggilnya, "Edwin."
Dia menoleh ke arahku seperti baru ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunku. Wajahnya terlihat merasa bersalah. "Winny, hari ini kamu naik yacht sama Bi Nina dan yang lainnya saja. Aku pasti akan menemanimu lain waktu."
Hatiku seperti terperosok dalam jurang, kemudian ditindih sesuatu yang berat, rasanya luar biasa sakit.
Aku melihat Jenita memalingkan wajah sambil tersenyum puas. Sementara aku hanya bisa bilang, "Baiklah."
Tidak ada lagi lain waktu, ini kesempatan terakhir.
Aku meminta sopir Edwin mengantarkanku ke tepi sungai. Orang-orang melihatku naik yacht yang berlayar perlahan mengikuti aliran sungai.
Aku berdiri di depan yacht dan menghubungi sebuah nomor.
"Pak Seno, tolong bantu aku mengirimkan akta cerai yang satu lagi ke rumah Keluarga Vianto. Aku akan mengirimkan alamatnya padamu."
"Penerimanya atas nama Edwin. Terima kasih."
"Edwin, semuanya sudah berakhir," batinku.
...
Ketika Keluarga Vianto mau makan malam, Jenita mengusap perutnya lembut. Dia pura-pura cemas saat berkata, "Sepertinya Winny marah ya hari ini?"
"Ini semua salahku karena sudah nggak tahu diri dan terus saja menempel padamu. Dia jadi marah begitu."
"Dia masih belum pulang padahal sekarang sudah malam."
Ibu mertuaku menggebrak meja dengan keras. "Winny ini makin lama nyalinya makin besar juga! Berani-beraninya dia membuat orang tua menunggunya saat makan!"
"Sudah nggak bisa hamil, nggak mengerti kewajiban seorang menantu lagi! Buat apa masih mempertahankan istri seperti itu!"
Dia menoleh ke arah Edwin dan berkata, "Untung saja aku menyuruhmu mengurus kakak iparmu juga, kalau nggak, keluarga kita bisa benar-benar punah."
"Jenita masih bisa hamil lagi nanti, nggak seperti wanita yang mandul itu. Dia bisanya menyia-nyiakan posisi sebagai Nyonya Edwin saja."
Jenita tersenyum dan berkata, "Ibu nggak usah cemas. Aku pasti akan memberimu cucu lagi nanti. Anakku dan Edwin jelas akan sehandal ayahnya kelak."
Kalimat Jenita barusan sudah cukup untuk membujuk ibu mertuanya sampai tersenyum lebar.
Tapi Edwin malah mengerutkan kening dan bertanya pada pelayan, "Apa Winny sudah pergi ke tepi sungai? Kenapa yacht-nya belum balik? Apa sama sekali nggak ada kabar darinya?"
Pelayan yang tadi pergi mencari tahu pun hanya menggelengkan kepala.
Mertuaku kembali mendengus, "Baguslah kalau nggak pulang. Kalau sudah malam masih belum pulang juga, sekalian suruh dia mengemasi barangnya dan pergi dari sini!"
Sementara Edwin sendiri malah panik tanpa sebab.
Sejak orang tuaku meninggal tiga tahun lalu, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi dan tidak pernah menginap di luar.
"Kirim lebih banyak orang untuk berjaga di tepi sungai. Langsung kabari aku begitu ada berita terbaru."
Jenita dengan ragu berkata, "Jangan-jangan ... Winny nggak mau pulang gara-gara bertengkar dengan Edwin soal kehamilanku?"
Edwin menatap perut Jenita yang sudah membesar. Dia lalu beralih menatap gelang giok di tangan wanita itu. Gelang itu seharusnya jadi milikku. Bahkan bando berlian yang Jenita pakai itu juga hadiah ulang tahun Edwin untukku dulu. Tapi semua itu malah dipakai Jenita sekarang.
Edwin menunjuk bando itu dan bertanya dengan serius, "Kenapa kamu pakai bando itu? Itu kan punya Winny."
Jenita menyentuh bando itu dan membalas dengan santai, "Ini salah satu perhiasan yang Winny tinggalkan di meja rias waktu pindahan. Dia masih meninggalkan beberapa kotak perhiasan lagi."
Kegelisahan Edwin malah makin menjadi.
Dia bertanya-tanya mengapa aku meninggalkan semua perhiasan itu dan tidak membawanya?
Kemudian, seorang pelayan yang bercucuran keringat terlihat bergegas maju. Dengan suara gemetar dia berkata, "Gawat Pak Edwin. Yacht yang dinaiki Bu Winny terbalik di tengah sungai. Orang-orang yang ada di dalam yacht itu ... "
"Nggak ada satu pun yang terlihat berenang ke permukaan. Mereka semua tenggelam."