Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 12

Yasmin memandangi punggungnya, tangan di sisi tubuhnya bergetar pelan. Perceraian itu diusulkan oleh Cakra, tapi sekarang, hanya dengan satu kalimat, pria itu menyuruhnya kembali ke rumah keluarga. Bahkan dia pergi tanpa menunggu jawaban Yasmin. Apa Cakra benar-benar berpikir Yasmin tidak akan menolak? Bagi Cakra, dirinya hanyalah sosok yang bisa dipanggil kapan saja dan diabaikan sesuka hati. Yasmin menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan emosi dalam hatinya. Namun yang paling membuatnya bimbang adalah ... haruskah dia kembali ke rumah keluarga atau tidak? Surya ada di sana. Jika dia tidak datang, Surya pasti akan berpikiran macam-macam. Namun, karena surat perjanjian cerai sudah ditandatangani, Yasmin sebenarnya tidak ingin kembali ke sana. Saat masih bingung mengambil keputusan, Yani menelepon, [Yasmin, kamu duduk dulu di ruang VIP. Nanti kalau sudah waktunya, aku akan kasih kabar. Aku akan ajak kamu ketemu dengan seorang tokoh penting.] Untuk sementara, Yasmin tidak lagi memikirkan soal kembali ke rumah lama Keluarga Jiwanto, lalu bertanya, "Siapa tokoh penting itu?" Pertemuan ini tidak termasuk dalam rencana awal. Suara Yani terdengar sangat antusias. [Putra salah satu tokoh elite Kota Basena. Dia baru saja pulang dari negara Montera!] Sebagai pengusaha yang sudah bertahun-tahun membangun perusahaan teknologi, Yani sudah sering bertemu dengan banyak orang penting. Jika kali ini dia sampai begitu bersemangat, berarti orang itu benar-benar luar biasa. Yasmin agak ragu. "Memangnya aku boleh ikut?" Yani meyakinkan, [Tentu saja. Mereka juga dari dunia teknologi, dan reputasinya luar biasa. Dalam hitungan tahun saja, mereka sudah merambah pasar di berbagai benua dan memperluas bisnis ke lebih dari dua puluh negara. Bidang mereka juga sangat relevan dengan kita. Kamu wajib ikut.] Dengan latar belakang seperti itu, bisa masuk ke dalam daftar orang terkaya versi Forbes, memang bukan orang sembarangan. Namun Yasmin belum pernah mendengar Yani menyebut bahwa dia mengenal orang-orang dari kalangan elite ibu kota. Yani menjelaskan, [Singkatnya saja, aku punya teman sekelas waktu SD yang sekarang ikut dengan orang penting dari Kota Basena itu. Jadi aku bisa masuk karena menumpang nama teman SD-ku itu. Kalau nggak, mana mungkin aku bisa masuk.] "Teman SD? Kalian masih sering kontak?" tanya Yasmin. Yani menjawab, [Dia posting status di WhatsApp-nya. Saat aku melihatnya, aku dengan muka tebal menanyakan kabarnya. Ternyata dia cukup baik hati mau bertukar informasi sedikit denganku.] [Baru mengobrol sebentar, aku langsung tahu kalau dia ini orang yang harus aku dekati sebagai relasi. Dan yang lebih kebetulan lagi, si pangeran Montera itu ada di sirkuit balap ini. Semua faktor mendukung. Waktu, tempat, dan orangnya pas. Kalau aku nggak datang, itu namanya menyia-nyiakan kesempatan. Jadi meski cuma jadi pajangan, aku tetap harus tampil dan dikenal!] Yasmin terdiam. Yani tahu apa yang dipikirkan Yasmin. [Kamu anak Ilmu Komputer mana ngerti. Dalam dunia bisnis, kalau nggak punya muka tebal ya nggak akan berhasil. Pokoknya tunggu kabar dariku. Kalau waktunya pas, aku akan panggil kamu ke sini.] Setelah berkata begitu, dia langsung menutup telepon. Kali ini, Yasmin sudah tak bisa menghindar lagi. Setelah menunggu sekitar lima belas menit di ruang VIP, Yasmin menerima kabar. Yani sudah tiba, dan saat ini sedang berada di toilet. Agar tak membuang waktu, Yasmin langsung menyusul ke sana lebih dulu. Dia juga ingin sekalian cuci tangan. Tak disangka, dia justru bertemu dengan Nancy. Lagi pula, Cakra juga ada di sini, jadi wajar saja kalau Nancy ikut. Selain itu, Nancy bukan tipe anak orang kaya yang manja. Dia suka tantangan dan mengejar sensasi. Dunia balap sudah menarik perhatiannya sejak lama. Tapi karena terlalu berbahaya, keluarganya melarangnya ikut. Sebagai gantinya, dia mulai mengoleksi berbagai mobil super kelas atas dari seluruh dunia. Nancy bahkan pernah mengadakan pameran mobil pribadi, dan semua putra-putri dari kalangan atas Kota Lohari datang untuk meramaikan acaranya. Tapi semua itu tak ada hubungannya dengan Yasmin. Dia tak menghiraukan Nancy dan lanjut mencuci tangan. Nancy tidak menyangka akan bertemu Yasmin, apalagi diabaikan seolah tak ada. Dia memang terkejut, tapi tidak marah. Nancy berjalan ke wastafel di sebelah Yasmin, membuka keran, dan mulai mencuci tangan. Kemudian, dia bertanya dengan nada seolah-olah biasa saja, "Nanti Shayna balapan, bagaimana perasaanmu?" Nada suaranya terdengar netral, tapi jelas maksudnya menusuk. Memang begitu cara Nancy membuat orang lain merasa tak nyaman. Nancy memang senang melakukan hal-hal seperti ini. Tapi Yasmin tak menanggapi permainan kata-katanya, malah balik bertanya, "Kamu suka Shayna, ya?" Nancy memasang ekspresi seolah sedang menghadapi pertanyaan paling bodoh di dunia. "Kalau bukan suka dia, masa aku suka kamu?" Yasmin tak membalas. Nancy tersenyum tipis. "Yasmin, coba kasih tahu aku, bagian mana dari dirimu yang pantas aku suka? Kalau kamu bisa sebut satu saja yang masuk akal, aku akan langsung ganti sikap dan puji kamu di depan umum." Perkataannya menyakitkan, tapi selalu dilontarkan dengan nada ringan seolah tak bermaksud apa-apa. Nancy memang tidak sedingin Cakra, tapi setiap kalimat yang keluar dari mulutnya seperti jebakan yang kejam. Tidak heran kalau mereka saudara sekandung. Yasmin menyadari bahwa mencoba berbicara dengan Nancy hanya sia-sia saja, jadi dia memilih untuk diam. Namun sikap Yasmin yang tenang membuat Nancy merasa kurang puas. Tidak ada reaksi seru untuk dinikmati. Maka dia kembali membuka suara, "Kamu pasti penasaran kenapa Shayna bisa tertarik sama balapan, 'kan?" Yasmin baru mau menjawab bahwa dia sama sekali tidak penasaran. Namun, Nancy sudah lebih dahulu menjawab pertanyaannya sendiri. "Shayna pernah menonton pertandingan Sully, dan sejak saat itu dia jatuh cinta pada balap mobil. Sekarang dia sudah dapat dianggap sebagai pembalap profesional, meskipun masih jauh jika dibandingkan dengan Sully. Nggak ada satu pun orang di dunia ini yang mampu menyaingi Sully-ku." Yasmin sempat tercengang. Ada ekspresi aneh yang melintas di matanya. "Karena Sully?" tanyanya. Tapi Nancy tak menyadari perubahan ekspresi itu. Dia malah larut dalam kenangannya, matanya dipenuhi semangat dan rasa kecewa. "Sudah lama aku nggak melihat Sully. Aku penggemar beratnya. Dulu, aku hampir memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dan mendapatkan tanda tangannya. Tapi sudahlah, kamu pun pasti nggak mengerti." Mengakhiri ucapannya, Nancy melirik Yasmin dengan tatapan malas, lalu mendengus. "Inilah alasan mengapa aku nggak menyukaimu. Membicarakan minatku padamu sama saja seperti berbicara dengan tembok. Kamu nggak memahami apa pun." Yasmin tertegun. Padahal, dia bahkan belum mengatakan apa-apa. "Tapi Shayna berbeda denganmu. Dia bisa tertarik pada sosok Sully yang bersinar terang. Aku dan dia punya minat yang sama. Jadi kami selalu nyambung dan seru saat bersama." "Shayna adalah orang paling punya tekad yang pernah aku temui. Aku juga suka balapan, tapi aku cukup jadi penonton. Sedangkan dia, karena kecintaannya, dia rela menjalani latihan setiap hari hingga akhirnya bisa menjadi pembalap profesional. Coba pikir, ada berapa banyak orang yang bisa seperti dia?" Sejak kecil, Nancy hidup dalam kemewahan dan terbiasa dengan dunia elite. Standarnya sangat tinggi. Dia tidak pernah menghiraukan orang biasa. Dan dari kata-katanya, jelas terlihat bahwa Nancy memang menyukai dan bahkan mengagumi Shayna. Semakin dia membandingkan, semakin rendah pandangannya terhadap Yasmin. Dia berkata dengan nada menghina, "Yasmin, nggak heran kalau kakakku nggak terlalu memperhatikanmu. Lihat dirimu sendiri. Selain wajah cantik, kamu nggak punya daya tarik apa-apa." Nancy mengeringkan tangannya, lalu sebelum pergi, dia masih sempat menyisipkan sindiran terakhir. "Nanti saat dia balapan, jangan sampai kamu kehilangan kendali emosimu, ya." Yasmin hanya diam. Setelah Nancy pergi, seseorang menepuk pelan bahu Yasmin dari belakang. Begitu menoleh, dia melihat Yani berdiri di belakangnya. Yani berkata, "Nona Yasmin, aku cuma mau tanya. Bagaimana caranya kamu bisa tahan nggak menamparnya barusan?" Yasmin dalam hati berpikir, kalau saja dia benar-benar menampar Nancy, maka dirinya tak akan punya tempat lagi di Kota Lohari. Bukan hanya dia yang akan kena imbasnya, Kelvin pun pasti terseret. Dia hanya tersenyum menanggapi candaan Yani. "Karena aku nggak berani." "Penakut." Yani berdecak, lalu cepat-cepat menambahkan, "Tapi ya, aku juga paham juga sih. Kalau aku di posisimu, aku juga nggak mau cari masalah sama Keluarga Jiwanto." Keluarga Jiwanto adalah salah satu keluarga paling berpengaruh di Kota Lohari. Siapa pun yang masih ingin bertahan di kalangan sosial elite tidak bisa sembarangan menyinggung mereka. Namun itu tak menghalangi sisi licik Yani untuk bersuara lagi, kali ini dengan senyum setengah mengejek, "Tapi buat menghadapi Nancy, tamparan saja nggak cukup. Kalau dia tahu kamu itu sebenarnya Sully, itu baru puas!"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.