Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Aku membawa tablet, meninggalkan kamar Sandi, dan langsung berjalan menuju ruang kerja Sigit. Hanya saja, aku tak bisa mengerti ... Kenapa orang itu harus Jenny? Pertama kali aku mendengar nama Jenny adalah di pernikahan aku dan Sigit. Dulu, Sigit sangat baik padaku. Saat suasana hatiku sedang buruk, dia akan berkata padaku, "Nggak apa-apa, nggak ada manusia yang sempurna." Lalu, dia dengan sabar menemaniku sampai perasaanku membaik. Saat aku sakit, dia akan meninggalkan segalanya demi merawatku. Karena itu, aku pun dengan teguh dan tanpa ragu memutuskan untuk menikah jauh dari kampung halaman demi cinta Tepat saat aku mengenakan gaun pengantin putih, menggenggam bunga yang suci di tangan, dan membayangkan cinta yang akan kujalani, aku mendengar teman-temannya membicarakan cinta pertamanya. "Dulu saat melihat betapa hebat dan bergeloranya cinta antara Sigit dan Jenny, aku selalu mengira bahwa mereka akan berakhir bersama." "Benar sekali, mereka terlihat benar-benar seperti pasangan yang ditakdirkan bersama." "Sangat disayangkan." Penyesalan yang mereka bicarakan itu terasa begitu tulus dan nyata. Pada saat itu, aku pun mulai ragu. Apakah Sigit benar-benar mencintaiku atau tidak. Tepat saat aku hendak menemui Sigit untuk menanyakannya dengan jelas, aku melihat dia berjalan menghampiri mereka dengan wajah kesal. Nadanya dipenuhi amarah yang belum pernah kudengar sebelumnya. "Sudah kukatakan berkali-kali, aku membenci Jenny!" "Dulu aku memang belum menjelaskannya dengan jelas, tapi kali ini, aku peringatkan, kalau kalian berani menyebut-nyebut namanya lagi di depanku, kita putus hubungan!" Saat itu, setelah mendengar kata-kata itu, hatiku yang sebelumnya terasa seperti tersangkut di tenggorokan akhirnya bisa tenang kembali. Ternyata, bukan hanya dia tidak mencintai Jenny. Dia bahkan sangat membencinya. Aku tidak mengerti, dalam situasi seperti ini ... Kalau memang dia membenci Jenny, kenapa saat perempuan itu kembali, dia justru membawa anak kami mendekat padanya? Untuk pertama kalinya, aku mulai meragukan pernikahan yang selama ini kupercayai sebagai sumber kebahagiaanku. Aku tidak lagi seperti biasanya menghormati Sigit dengan mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk, melainkan langsung mendorong pintu ruang kerjanya dan masuk begitu saja. Sigit sedang fokus dalam pekerjaannya. Begitu mendengar suara pintu dibuka, dia baru perlahan menoleh. Saat melihatku, dia segera meletakkan pekerjaannya dan bangkit menghampiriku. "Sayang, ada apa?" Nada suaranya lembut dan hangat. Seolah-olah kami masih berada di masa-masa jatuh cinta. Aku mendengar suaranya yang penuh perhatian, dan air mataku pun mengalir tanpa bisa dihentikan, tumpah dari sudut mataku. Bahkan di saat seperti ini, sikap yang dia tunjukkan di depanku masih seperti seseorang yang mencintaiku. Justru orang seperti dialah yang mengkhianatiku. Beberapa saat kemudian, langkah kakinya berhenti tepat di hadapanku. Dia memang tinggi, sekitar 188 cm. Tubuhnya tidak besar, tapi terjaga karena rajin berolahraga. Posturnya yang pas memberi rasa aman. Dengan lembut, dia mengangkat tangannya dan menyeka air mataku. Suaranya pelan, penuh bujukan. "Apa putra kecil kita bikin kamu kesal lagi?" Suara tangisku pecah, tak bisa kutahan. "Bukan." Sigit masih ingin bertanya lebih lanjut. Tapi aku tak ingin mendengarnya lagi. "Aku sudah lihat isi percakapan di grup itu." Tangannya yang tadi menyentuh pipiku perlahan terlepas. "Grup apa?" Dengan mata yang basah oleh air mata yang tak kunjung kering, aku menatapnya tajam. Sampai sejauh ini ... dia masih berpura-pura tidak tahu? Suaraku tanpa sadar meninggi, nyaris berteriak, "Grup 'Keluarga Bahagia' kalian dengan Jenny!" Sigit tampak tak tahan melihatku sedih. Dia melangkah maju dan memelukku, tangan besarnya menepuk-nepuk pelan punggungku. "Sayang, tenangkan dulu dirimu, ya." Tubuhku dan saraf-sarafku menegang saat itu juga, seperti tali busur yang siap putus kapan saja. Sigit mencoba menjelaskan, "Grup itu dibuat karena Sandi yang bersikeras ingin membuatnya." Lalu, bagaimana mungkin Sandi bisa mengenal Jenny? Lalu, pengalaman seperti apa yang sudah dia lalui bersama Jenny? Seberapa dalam hubungan mereka berkembang, sampai-sampai dia ingin memanggil Jenny sebagai ibunya? Sigit hanya memikirkan bagaimana melepaskan tanggung jawab. Sama sekali tidak terpikir olehnya ... Bahwa akar dari semua ini justru ada pada dirinya sendiri. Aku menutup mata, lalu berkata pelan, "Sigit ... " Memanggil namanya saja sudah menguras seluruh tenagaku. "Aku sudah lihat seluruh isi percakapannya, jadi ... tolong, jangan anggap aku bodoh, bisa?" Sigit terdiam. Aku menunggunya cukup lama, tapi tak ada jawaban darinya. Akhirnya, aku berbalik hendak kembali ke kamar. Namun dari belakang, Sigit memelukku erat dan berkata, "Maafkan aku." Langkahku terhenti. Sigit tampak hati-hati memilih kata-katanya. "Ini semua memang salahku. Aku yang nggak tahu batas. Aku cuma berpikir kamu pasti lelah setiap hari mengurus anak, jadi aku ingin membantumu meringankan beban." Hah! Apa yang dia maksud dengan "membantu" itu adalah ... Tidak bisa meluangkan waktu, bahkan hanya satu hari saja, untuk menemani aku dan anak kita ... Tapi selalu bisa menyempatkan diri untuk bersenang-senang ke mana-mana dengan perempuan lain, begitu? Aku berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari pelukannya. Tapi Sigit sama sekali tak mau melepaskanku. "Tapi aku benar-benar nggak menyangka kamu akan keberatan. Ini salahku!" "Aku janji, mulai sekarang aku nggak akan pernah menghubungi dia lagi!" "Aku dan Sandi akan keluar dari grup itu." "Aku akan benar-benar memutuskan semua hubungan dengan dia, bahkan Sandi pun tak akan ada kontak lagi dengannya." "Jadi, Annika ... bisakah kamu beri aku satu kesempatan terakhir?" "Aku janji, ke depannya aku akan menjalani hidup ini dengan baik bersamamu." "Dan aku juga akan menjaga jarak dengan perempuan lain." Suara Sigit mulai terdengar sedikit memelas. "Demi semua tahun yang sudah kita lalui bersama, dan juga demi anak kita ... " "Annika, kumohon ... jangan tinggalkan aku." Mendengar nada suaranya yang memelas, seperti seseorang yang takut ditinggalkan, aku tak bisa menahan pikiranku yang langsung tertuju pada Sandi. Dia masih begitu kecil ... Dia belum mengerti apa-apa, tapi hanya dengan waktu singkat bersama Jenny, dia sudah mulai menunjukkan tanda-tanda terpengaruh buruk. Ditambah lagi dengan sikap memanjakan Jenny yang jelas-jelas disengaja, Sandi jadi semakin sering keluar-masuk rumah sakit. Jika aku benar-benar bercerai, merelakan Sigit dan Jenny bersama ... Kemungkinan besar, hidup Sandi ke depannya juga tidak akan baik-baik saja. Maka dari itu, aku ... Aku hanya bisa memilih untuk mengalah. Satu kata yang terdengar sederhana, tapi begitu sulit untuk diucapkan keluar dari mulutku. "Baik." Begitu mendengar jawabanku, Sigit langsung merengkuh pinggangku erat, memaksaku untuk berbalik menghadapnya. Aku mendongak menatapnya. Sigit memegang wajahku dengan kedua tangannya dan mata penuh kegembiraan seolah telah mendapatkan kembali sesuatu yang nyaris hilang, lalu menciumku. Meskipun masalah ini seolah sudah diselesaikan, namun pengkhianatan Sigit dan Sandi masih terasa seperti duri yang menusuk di hatiku. Selama luka ini belum benar-benar pulih, aku tidak ingin ada kedekatan apa pun dengannya. Aku pun memalingkan wajah, menghindari ciumannya. Dalam sekejap, tubuhku tiba-tiba terangkat dari tanah. Rasa kehilangan pijakan yang mendadak membuatku merasa tak aman, dan secara refleks aku memeluk Sigit erat-erat. Sigit tertawa pelan dan bertanya, "Masih marah, ya?" Aku tidak menyangkalnya. "Aku butuh waktu." Dengan suara yang berat dan menggoda, dia berkata, "Kalau begitu, bagaimana kalau malam ini aku berusaha keras ... siapa tahu bisa dapat pengampunan yang lebih lunak?" Biasanya, aku selalu luluh setiap kali dia menunjukkan tanda-tanda ingin berdamai seperti ini. Tapi kali ini, aku benar-benar sudah kehilangan minat. Sigit seolah sudah bisa menebak jawabanku, dan sama sekali tak memberiku kesempatan untuk menolak. Dia langsung melemparku ke atas ranjang yang empuk. Begitu aku hendak bangkit ... Dia segera membungkuk dan menindihku. Aku mendorong dadanya kuat-kuat dengan kedua tangan, berusaha menahan gerakannya yang semakin agresif. Namun, dengan satu tangan saja, Sigit sudah bisa mencengkeram kedua pergelangan tanganku, lalu menekannya ke atas kepala dan menahannya di sana. Tenaganya sangat kuat. Aku sama sekali tak bisa melawan.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.