Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 8

Setelah keluar dari rumah sakit, Cindy menerima telepon dari staf yang memberitahukan bahwa visanya sudah selesai diurus. Dia mengambil kembali semua dokumen dan mulai berkemas. Kalender di atas meja tiap hari disobek satu lembar, hingga akhirnya nyaris habis. Tahun ini akan segera berakhir. Dan dia pun akan segera meninggalkan kota tempatnya tinggal selama lebih dari dua puluh tahun ini. Selama seminggu ini, Samuel sama sekali tidak pulang. Sebaliknya, Cynthia setiap hari mengirimkan banyak pesan bernada provokatif. Tujuh hari menjelang keberangkatan, gadis itu mengirimkan sebuah video. Di dalamnya, tampak Samuel berlutut setengah badan memijat betisnya dengan gerakan yang sangat lembut. Sambil menonton, Cindy membuang semua barang yang selama ini dia belikan untuk Samuel ke tempat sampah. Lima hari menjelang keberangkatan, Cynthia mengirimkan beberapa foto, Samuel mengantarkan sekotak perhiasan dan menyematkan sebuah cincin di jari Cynthia. Cindy langsung memecahkan foto pernikahan mereka, lalu melemparkannya ke dalam api. Tiga hari menjelang keberangkatan, Cynthia mengirimkan sebuah rekaman suara, Samuel dalam tidurnya masih menyebut nama Cynthia dengan nada penuh kasih. Cindy mengemas semua hadiah yang diterimanya setelah menikah, dan mengirimkannya ke lembaga amal. Vila yang dulu dia anggap sebagai "rumah" itu, perlahan menjadi kosong. Sementara barang-barang bawaannya yang tidak seberapa sudah hampir selesai dikemas. Para pelayan di rumah yang melihat semua ini merasa khawatir dan beberapa kali bertanya apa yang terjadi. Dia hanya tersenyum, nada bicaranya ringan. "Cuma bercerai saja." "Bapak setuju?" Setuju? Cindy tidak tahu. Namun, menurutnya, kalau Samuel melihat surat cerai itu sekarang, mungkin dia akan sangat senang. Bagaimanapun, hati dan mata pria itu kini hanya tertuju pada Cynthia. Dua hari menjelang keberangkatan, Cynthia kembali mengirimkan pesan. Kali ini, yang difoto bukan Samuel, melainkan orang tua pria itu. Melihat tiga orang itu tertawa bersama di sisi ranjang rumah sakit, hati Cindy tetap tenang. Dia tidak membalas pesan itu, malah membuka daftar kontak, lalu menghapus Cynthia, Samuel, dan semua orang yang terkait dengan mereka. Pada hari kepergiannya, hujan pun turun. Cindy membawa keluar semua buku harian dan surat cinta yang tidak sempat dikirim, lalu menaruhnya di taman. Cahaya api berwarna oranye menerangi wajahnya, membakar semua kenangan masa remaja yang penuh perasaan itu hingga menjadi abu. Dia menengadah, menatap butiran air yang berjatuhan, sambil menghitung, butuh berapa lama hujan turun agar bisa membilas semua abu ini. Saat dia tengah melamun, gerbang rumah yang tertutup rapat tiba-tiba terbuka. Samuel, yang sudah lama tidak terlihat, pulang dengan langkah tergesa. Dia hanya melirik sekilas ke arah sosok yang berjongkok, lalu masuk ke ruang tamu. Beberapa saat kemudian, dia kembali keluar dan berhenti di samping Cindy. Menatap amplop-amplop merah muda itu, dia mau tak mau teringat pada surat yang dibacakan saat reuni. Hatinya yang lama mengeras, perlahan mulai melunak. "Aku belakangan ini sibuk. Nanti kalau urusanku selesai, kita bicara baik-baik ya." Bicara soal apa? Perceraian? Cindy tersenyum dan mendongak, suaranya sangat tenang. "Nggak perlu bicara lagi. Hal yang paling kamu inginkan, sebenarnya sudah kuberikan sejak sebulan lalu." Apa? Apa itu? Samuel baru ingin bertanya saat ponselnya berbunyi. Begitu dia membuka dan membaca pesan-pesan itu, wajahnya langsung berbinar. Melihat ekspresinya, Cindy melemparkan beberapa surat terakhir ke dalam api, lalu berdiri. Rok panjangnya menjuntai, menutupi api yang membakar tumpukan surat di belakang. Setelah membalas pesan, Samuel pun lupa apa yang tadi ingin dia tanyakan. Cindy sendiri yang mengantarnya sampai ke pintu, lalu membukakan pintu mobil untuknya. Angin dingin menerpa, melihat dia berpakaian tipis, Samuel dengan lembut menyuruhnya kembali masuk agar tidak kedinginan. Namun, Cindy bersikeras ingin berdiri di depan pintu sampai mobilnya pergi. Melalui kaca jendela, Samuel melihat Cindy mengangkat tangan, seolah-olah melambai, dan berkata sesuatu dengan suara lirih. Dia tidak mendengarnya jelas, tetapi dia mengira hanya ucapan semacam "hati-hati di jalan." Selama tiga tahun terakhir, ucapan seperti itu sudah sering didengar Samuel. Jadi, dia tidak terlalu memikirkannya. Mobil melaju dan perlahan menghilang dari pandangan. Cindy berdiri lama seorang diri di bawah hujan rintik, kemudian kembali ke kamar untuk mengenakan mantel, membawa koper, dan turun ke lantai bawah. Hujan turun makin deras, butiran air menempel di rambutnya, membuat rambutnya basah. Taksi berhenti di depan vila. Sebelum naik, Cindy menoleh sekali lagi, lalu mengulang pelan kalimat yang tadi tak terdengar. "Selamat tinggal, Kota Sentara." "Selamat tinggal, Samuel."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.