Bab 696
Pria di seberang telepon berbicara. "Sudah malam, tidur sana."
"Iya," jawab Nindi.
Usai memberikan jawaban singkat, Nindi mengakhiri panggilan telepon.
Dia melirik sekilas percakapan mereka, seolah-olah kembali ke masa ketika masih berada di kota Antaram.
Seolah-olah semua situasi yang telah berlalu hanyalah ilusi.
Barangkali, ini cara terbaik untuk menjaga hubungan mereka saat ini.
Nindi meletakkan dokumen yang telah ditandatangani di bawah bantal. Malam itu, dia akhirnya dapat tidur dengan nyenyak.
Dia sungguh tertidur pulas malam ini.
Namun, seseorang di luar sana mungkin tidak seberuntung itu dan justru merasa kesal hingga sulit untuk tidur.
Keesokan harinya, Nindi bangun dengan perasaan segar dan penuh semangat, kemudian menuju lantai bawah untuk menyantap sarapan.
Saat melewati lorong dekat kamar, dia mendengar suara isak tangis Sania, tampaknya wanita itu masih merasa kesal.
"Nindi, berhenti!" ucap Witan.
Witan yang bermata jeli segera menyadari kedatangan Nindi. Dia bergegas mendorong kursi rodanya keluar, lalu menatap Nindi dan berkata, "Aku mau ngomong sesuatu sama kamu."
"Nggak mau tuh," jawab Nindi.
Nindi segera menolak dan turun ke lantai bawah untuk sarapan.
Tak lama kemudian, Witan turun ke lantai bawah bersama Sania yang masih terisak. Dia menatap Nindi dan berkata, "Jual saja vila itu padaku."
"Kamu berani bayar berapa?" tanya Nindi.
Dengan penuh keyakinan, Witan berkata, "Aku tahu dulu vila ini harganya sepuluh miliar. Sekarang, aku bakalan bayar dua kali lipatnya, gimana?"
Nindi pun tertawa terbahak-bahak. "Vila ini sekarang harganya dua puluh miliar, malah bisa jadi harganya makin mahal."
Terlebih lagi, tempat ini dikenal sebagai kawasan elite, banyak tokoh ternama yang tinggal di sini.
Vila ini sangat populer dan jumlahnya pun terbatas.
Amarah Witan memuncak, membuat wajahnya memerah dan lehernya menegang. "Nindi, jangan keterlaluan! Kita ini keluarga, lho. Masih baik aku kasih kamu untung sepuluh miliar."
"Kalau nggak punya uang jangan sok kaya deh!" ucap Nindi.
Nindi menatap Witan dengan tatapan penuh penghinaan.
Membeli rumah seharga dua puluh miliar hanya dengan sepuluh miliar? Jangan mimpi!
Setelah Nindi menolak, Sania seketika merasa kesal. "Kak Witan, ini 'kan rumah pengantin kita!"
Semalam dia merasa sangat kesal hingga kesulitan tidur. Dia sengaja menenangkan Witan, lalu meminta pria itu untuk merebut kembali vila untuknya.
Witan menatap Nindi dan berkata, "Begini saja, aku bakal kasih saham Lesmana Grup atas namaku buat kamu sebagai jaminan. Gimana?"
Sania segera menimpali ucapan pria itu. "Sahamnya Kak Witan nilainya lebih dari seratus miliar, lho!"
Nanti setelah Lesmana Grup mengalami kebangkrutan, saham itu tidak akan bernilai lagi.
Menukarnya dengan vila saat itu masih cukup menguntungkan.
Nindi melirik sekilas ke arah Sania. Jangan mengira dirinya tidak mengetahui apa yang tengah direncanakan perempuan licik itu!
Dia memutar matanya malas. "Aku nggak setuju, terus kenapa? Mau gigit aku, hah?"
"Nindi, kamu sekarang 'kan punya pacar tuan muda dari komunitas konglomerat. Buat apa sih pulang lagi dan malah berebut sama kami di sini?" ucap Sania.
Sania merasa sangat iri hati. "Toh, nanti kamu juga bisa bantu keluarga sendiri, 'kan?"
"Keluarga sendiri? Matamu saja tadi nggak lepas lihat Cakra kok. Orang macam kamu yang penuh niat busuk gini, siapa juga yang mau sih?" ucap Nindi.
Sania menghentakkan kakinya dengan kesal. "Aku nggak gitu! Kamu tuh salah paham! Aku bentar lagi nikah sama Kak Witan, lho, mana mungkin aku suka sama cowok lain?"
Andai bukan karena Nindi membongkar hubungannya dengan Yanuar di pesta waktu itu, dia tidak akan dicampakkan oleh pria itu.
Seandainya hal ini tidak terjadi, dia juga bisa menikah dengan keluarga kaya seperti keluarga Gunawan, dan tidak akan kalah jauh dari Nindi!
Witan berkata dengan penuh keyakinan. "Nindi, dengarkan ya! Hari ini juga, mau nggak mau, kamu harus jual vila ini!"
"Kenapa?" tanya Nindi.
"Ya karena aku Kakakmu dan dia Kakak Iparmu!" jawab Witan.
Nindi seketika mendelik. "Cih! Dasar nggak tahu malu!"
Nindi menatap Witan dengan senyum mengejek. "Gini saja deh, kalian berdua berlutut, sujud tiga kali, dan panggil aku 'Nyonya Besar'. Baru deh aku pertimbangkan buat jual vila itu ke kalian."
Ekspresi Witan berubah sangat kesal.