Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 6

Anton mendengus dingin. "Keluarga Lesmana masih di bawah kendalku, kamu nggak perlu menghindar dari siapa pun!" "Tiga hari kemudian, di pemakaman ayahmu, aku akan menegakkan keadilan buat kamu dan ayahmu." "Dengan aku di sini, mereka nggak akan berani memberikan pendapat tentang keberadaanmu." Setelah melihat jenazah ayahnya, Wulan meninggalkan rumah sakit. Kata-kata Anton memang benar, dia sekarang adalah penguasa Keluarga Lesmana, jadi dia sangat sibuk hingga tidak tahu apa yang dilakukan oleh istri dan putranya. Dia percaya Anton akan membelanya sesuai janji, tetapi bagaimana saat Anton tidak ada di rumah? Bukankah dia akan kembali ditindas oleh Steven dan ibunya? Apalagi Steven, ibunya, dan Cindy bertanggung jawab atas kematian ayahnya Wulan, jadi memang seharusnya Wulan yang menyelesaikan masalah ini sendiri. Tatapan Wulan makin tegas. Setelah berbalik, dia memanggil taksi dan tiba di depan sebuah gedung perkantoran yang megah. Ini adalah perusahaan milik keluarga Cindy. Berkat Steven, Wulan banyak tahu tentang konflik yang ada di dalam Keluarga Latif. Cindy adalah putri bungsu Keluarga Latif yang paling dimanja, sehingga dia tumbuh menjadi gadis yang semaunya sendiri. Selain hidup bersenang-senang, dia tidak bisa apa-apa. Akibatnya, tidak ada yang mengurus bisnis besar keluarga itu. Oleh karena itu, kesempatan itu pun jatuh ke tangan anak tidak sah Keluarga Latif, Rafa Latif. Rafa tampak lembut, sopan, dan rendah hati, dia bersikap baik kepada semua anggota Keluarga Latif, tanpa pernah menunjukkan amarah sedikit pun. Ke mana pun Rafa pergi, selalu disambut dengan pujian. Namun, Wulan mengetahui sisi lain Rafa yang tidak diketahui orang. Setelah resepsionis menelepon kantor CEO, Wulan dipersilakan masuk ke lift khusus presiden. Tidak lama kemudian, lift berhenti di lantai 32. Wulan masuk ke dalam ruang kantor CEO dan melihat Rafa sedang duduk di sofa. Dengan kerah baju terbuka, Rafa menikmati segelas anggur merah dengan santai. Ketika melihat Wulan datang, sudut bibirnya terangkat menunjukkan senyuman mengejek. "Sudah dipikirkan dengan matang?" Wulan tiba-tiba teringat kembali kejadian dua tahun lalu. Hari itu adalah ulang tahun Steven yang ke-26, banyak orang yang datang. Malam harinya, Wulan pergi ke halaman untuk mencari udara segar. Di kejauhan, dia melihat Rafa berdiri di tepi danau, pria itu sedang menelepon. Saat itu, Rafa juga merupakan orang yang malang. Meskipun dia melakukan banyak pekerjaan di Grup Latif, dia tidak mendapatkan bayaran sepeser pun. Dia tidak hanya harus bekerja gratis untuk perusahaan, tetapi juga sering dihina oleh Keluarga Latif. Demi menjaga sopan santun, saat itu Wulan berniat menghampiri Rafa dan mengantarnya ke ruang tamu depan. Namun, ketika hampir dekat, dia mendengar Rafa mengatakan sesuatu yang tidak berperasaan, "Kalau begitu, bunuh saja langsung. Jangan meninggalkan jejak apa pun, nanti aku kasih bayaran dua kali lipat untukmu." Wulan terkejut mendengarnya. Setelah Rafa menutup telepon, pria itu menoleh dan menatap Wulan dengan tatapan mengancam. Sambil menahan ketakutannya, Wulan berkata, "Sebentar lagi waktunya makan kue, cepatlah ... cepatlah ke sana." Sampai hari ini, setiap kali teringat kejadian itu, Wulan masih merasa bahwa saat itu mata Rafa tampak memancarkan cahaya hijau samar yang aneh. Saat ini, Rafa sedang menatap Wulan sambil tersenyum samar. "Kamu memang baik hati. Meskipun dipukul hingga tubuhmu penuh luka, hanya bisa mengenakan lengan panjang dan celana panjang untuk menutupi bekas luka, kamu masih mau datang mengkhawatirkanku di sini?" "Apa yang harus kita lakukan? Mau kubantu membunuh Steven?" Wulan tersadar dan berkata, "Benar, tapi aku nggak mau terima bantuanmu cuma-cuma. Aku akan memberikan bukti pembunuhan yang dilakukan Cindy, untuk membantumu segera menghancurkan Keluarga Latif. Rafa memberi isyarat agar Wulan duduk. Setelah Wulan duduk, Rafa menumpukan satu tangannya di sandaran sofa di sisi Wulan, seolah hendak mengurung Wulan dalam pelukannya. "Kamu mau nggak merasakan kepuasan membalas dendam dengan tangan sendiri?" Wulan terbelalak. Ketika melihat sorot mata penolakan dan pergulatan batin Wulan, Rafa tertawa. "Apa yang kamu pikirkan? Negara kita ini negara hukum. Aku juga nggak setuju kalau kamu ingin membunuh orang." Wulan tersenyum dan menatapnya seolah berkata, "Kamu bisa berkata seperti itu." Rafa kembali duduk di kursinya dan berkata, "Aku akan mengirimmu belajar ke luar negeri. Setelah tiga tahun di sana, kamu kembali ke sini dan menjadi asistenku. Aku akan membantumu balas dendam kepada Steven dan ibunya." Wulan mengepalkan tangan, Tanpa ragu sedikit pun, dia langsung mengangguk setuju. "Baiklah, aku akan pergi setelah mengambil kotak abu ayahku."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.