Bab 12 Tidur Seranjang
Setelah Yansen selesai menelepon di luar, barulah Kirana turun dari mobil dan berjalan menghampirinya.
"Ini masakan khas Kota Jintara."
Suaranya dingin, dalam, seperti gesekan cello.
"Oh." Kirana agak terkejut. Ini membuktikan bahwa Yansen ingat dirinya adalah teman sebangku saat SMP dulu, bukan?
Atau mungkin ... sejak awal dia memang sudah tahu.
Berdiri di samping Yansen, Kirana merasa dirinya begitu tidak sepadan dengannya!
Pria itu mengenakan setelan jas yang rapi, terlihat bagai putra mahkota yang terlahir beruntung., sedangkan dirinya ... seolah-olah kata 'asisten' tertulis jelas di wajahnya.
Setelah mengikutinya masuk ke restoran dan duduk, Kirana langsung merasa serbasalah.
Apa yang seharusnya dia lakukan saat ini?
Masa harus memaksa pria itu bernostalgia tentang masa SMP?
Berbeda dengan dirinya yang kaku, Yansen justru terlihat seperti sedang berhadapan dengan seorang teman yang ditemuinya setiap hari. Jemari panjangnya melonggarkan kancing lengan kemeja, lalu memanggil pelayan untuk memesan beberapa hidangan.
"Proyek Auraya itu, kamu yang tangani?"
Tiba-tiba ditanya soal pekerjaan, Kirana buru-buru mengangguk, "Iya, aku."
"Sudah kamu teliti dengan cermat kondisi keuangan perusahaannya?" Yansen menyandarkan tubuhnya sedikit ke kursi, menunggu jawabannya.
"Sudah, data keuangan mereka semuanya asli, aku sudah cek satu per satu, nggak ada rekayasa."
Dia tersenyum tipis, mengambil gelas air di meja dan meneguk sedikit. "Kirana, data nggak direkayasa bukan berarti keuangannya nggak bermasalah."
Kirana tertegun, hanya melihat Yansen mengeluarkan sebuah berkas dan mendorongnya ke hadapannya.
"Kas Perusahaan Auraya yang bisa langsung dicairkan hanya 100 miliar, tetapi di surat komitmen dana mereka menulis 160 miliar. Menurutmu, siapa yang akhirnya akan menutupi selisih itu?"
Kirana tak bisa menjawab.
"Mengerjakan proyek nggak bisa terburu-buru." Nada Yansen kali ini jauh berbeda dari saat dia memarahi Pak Rainer, bahkan terdengar seperti nasihat tulus.
Kirana menggigit bibirnya, merasa menyesal karena terlalu ceroboh, sekaligus kagum akan kemampuan Yansen.
Proposal proyek baru saja diserahkan, tapi dia sudah bisa secepat itu menemukan masalah.
Setelah mendengar itu, Kirana makin tidak punya selera makan, hanya ingin cepat-cepat kembali ke kantor untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh yang lebih detail pada Proyek Auraya.
Seakan menyadari isi pikiran Kirana, Yansen mengambil hidangan yang baru saja dihidangkan dan meletakkannya di mangkuknya. "Makanlah dulu. Setelah ini, kita punya satu malam penuh untuk kita berdua."
Sa ... satu malam penuh?
Kirana menatapnya dengan terkejut. "Malam ini aku harus tinggal bersamamu?"
Yansen mengangkat alis tebalnya sedikit dan menjawab, "Supaya besok pagi lebih mudah langsung ke kantor catatan sipil."
"Bukan begitu maksudku." Tangan Kirana mengepal di bawah meja, lalu memberanikan diri bertanya langsung, "Maksudku, setelah kita mendaftar nanti ... Apa kita juga harus tinggal bersama?"
Apakah dia benar-benar harus tidur satu ranjang dengan pria itu?
"Kalau nggak begitu, terus bagaimana?"
Nada bicara Yansen membalas pertanyaannya membuat seolah-olah pertanyaan Kirana itu sangat bodoh.
Ya, setelah dipikir-pikir lagi, Kirana juga merasa begitu.
Demi menyelamatkan ibunya, Yansen bukan hanya harus memanfaatkan koneksi untuk mencari dokter ahli, tapi juga harus menanggung biaya operasi dan perawatan yang tinggi. Bagaimana mungkin itu hanya sekadar membuat surat nikah saja?
Janna pernah bilang, pria pada dasarnya memang hanya memikirkan hal itu!
Hanya saja dirinya yang terlalu naif.
"Ada masalah?"
"Nggak ada."
"Baik, makanlah lebih banyak."
Tutur kata hangat dan sikap Yansen yang mengambilkan makanan untuknya, seakan mereka benar-benar sepasang calon pengantin yang akan segera menikah.
Sepanjang makan, Kirana sama sekali tidak punya selera, hatinya terasa berat.
Apalagi saat mobil menuju kediaman Yansen, makin dekat ke tujuan, dia makin merasa panik.
Di sampingnya, Yansen tidak menoleh padanya, hanya memberi beberapa instruksi kerja dengan suara pelan kepada asistennya, lalu tiba-tiba dia menambahkan satu kalimat.
"Oh iya, nanti belikan beberapa kotak kondom dan kirimkan kemari."