Bab 5 Tato Yansen
Tato itu tampaknya sudah cukup lama, warnanya meresap ke kulit, bukan seperti baru saja dibuat.
Jika ucapan Janna benar, maka 0825 seharusnya adalah tanggal lahir orang yang dicintainya!
Bagaimanapun, Kirana tahu bahwa ulang tahun Yansen jatuh di bulan April, sedangkan ulang tahun Ketua Dewan Grup Feriawan dan istrinya, yaitu orang tua Yansen, ada di bulan Juli.
Tentu saja, itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya!
Ulang tahunnya sendiri adalah 14 November.
Sama sekali tidak sesuai dengan angka itu.
Bayangkan saja, seorang pria sedingin Yansen bisa sampai melakukan hal gila dan agak kekanak-kanakan seperti membuat tato, pasti karena dia benar-benar mencintai orang itu.
Kirana tiba-tiba menyesali tindakan gegabahnya semalam!
Kenapa dia tidak terpikir untuk lebih dulu menanyakan, apakah Pak Yansen masih lajang?
Meski Yansen tampan, bertubuh bagus, dan punya kemampuan yang hebat, dia tetap berpegang pada prinsip moral. Sekalipun pria itu hebat, kalau sudah menjadi milik orang lain, tidak boleh dia sentuh!
"Janna, kamu tahu nggak, apakah ada orang dekat Pak Yansen yang ulang tahunnya tanggal 25 Agustus?"
"Mana mungkin aku tahu! Perusahaan Mahagema, cuma anak perusahaan saja, tapi sudah menguasai 70% pasar investasi di dalam negeri. Yansen itu presiden direktur seluruh Grup Feriawan! Mana pantas aku tahu gosip tentang dia!"
Kirana termenung sejenak.
Tidak pantas tahu, tapi tetap saja tahu banyak.
Tiba-tiba, Janna teringat sesuatu. "Oh iya, sepertinya kepala pengacara Grup Feriawan, Wanda Siswanto, ulang tahunnya memang di bulan Agustus. Aku pernah lihat riwayatnya, dia wanita kaya dan cantik. Dulu pernah masuk trending saat menghadiri acara bersama Pak Yansen. Aku carikan fotonya untukmu!"
"Nggak usah." Kirana segera memotong.
Hanya dengan potongan informasi itu saja, dia sudah bisa membayangkan sebuah drama cinta keluarga konglomerat yang megah.
Pantas saja tadi Yansen bicara dengannya begitu dingin, benar-benar kaku dan hanya sebatas urusan pekerjaan, sama sekali tidak peduli padanya sedikit pun. Sepertinya dia khawatir Kirana akan menyebarkan sesuatu.
Maka pria itu sengaja memperlihatkan sikap seolah tidak akrab dengannya, menarik batas yang jelas. Dengan begitu, sekalipun dia benar-benar bicara sembarangan, tidak akan ada yang percaya.
Hmph.
Untuk bisa duduk di kursi presiden direktur, memang harus punya seribu macam akal.
Setelah menutup telepon, Kirana kembali ke kamarnya, sekadar membersihkan diri, mengganti pakaian longgar, lalu menyalakan laptop untuk menyusun ulang data proyek baru.
Saat ini, biaya pengobatan ibunya yang besar setiap bulan sudah cukup membuatnya tidak punya waktu memikirkan urusan cinta.
Dia mengetik di papan ketik dengan kecepatan tinggi, tanpa menyadari bahwa ponsel di sampingnya yang berada dalam mode senyap sudah berkali-kali menyala.
Ketika Kirana sudah benar-benar kelelahan dan memutuskan melanjutkan pekerjaannya besok, barulah dia melihat di layar ponselnya. Empat jam yang lalu, Yansen sempat menghubunginya tiga kali dengan panggilan suara, dan mengirim sebuah pesan.
[Kalau sudah bangun, balas aku.]
Untuk apa pria itu mencarinya?
Paling juga hanya untuk memperingatkan agar dia tidak bicara sembarangan, atau mungkin menawarkan sejumlah uang tutup mulut. Kalau uang itu diterimanya, bukankah sama saja dia menjual diri?
Jari Kirana sempat terhenti sejenak, lalu dia mengetik. [Anggap saja kejadian semalam nggak pernah terjadi. Aku nggak akan beri tahu siapa pun.]
Namun, tepat sebelum dia mengirim, dia berubah pikiran, langsung menghapus nomor kontak WhatsApp Yansen!
Dengan begitu, seharusnya dia bisa tenang.
Setelah meletakkan ponsel, Kirana pun tertidur.
Sampai akhirnya telepon dari Pak Rainer masuk dan membangunkannya.
"Kirana, serahkan kontrak proyek itu pada Anna."
"Pak Rainer, saya ... "
Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, panggilan sudah diputus dari seberang!
Sama sekali tidak memberinya kesempatan bicara sedikit pun.
Kirana terpaksa bangkit mencari kontrak proyek itu, namun meski sudah mengacak isi koper, dia tetap tidak menemukannya!
Padahal dia masih ingat dengan jelas, begitu daftar masuk di hotel, dia sudah mengeluarkan dan memeriksanya.
Seketika tubuh Kirana menegang kaku.
Aduh, sial ...
Pasti karena pagi itu dia terburu-buru kabur, kontrak itu tertinggal di kamar 1501, lalu ditemukan oleh Yansen!