Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 13

Telepon diputus, satu-satunya harapan Laticia hancur. Meski Enzo bukan orang baik, tapi setidaknya pria itu satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Tadi mulutnya dibungkam Ardo, dia tidak sempat menyebutkan lokasinya. Sekarang ponselnya sudah dilempar jauh. Dia tidak tahu cara apa lagi untuk menyelamatkan diri. "Aku sudah menghabiskan banyak uang untuk menemukanmu. Laticia, malam ini nggak akan ada yang datang menyelamatkanmu." Tubuh Laticia bergetar. "Ardo, kamu nggak takut kakak sepupumu datang mencarimu?" Pandangannya berkunang-kunang dan bertanya dengan suara gemetar. Dalam kondisi seperti itu, Enzo adalah satu-satunya nama yang bisa dia jadikan ancaman. Mendengar itu, gerakan Ardo sempat berhenti. Tapi hanya sebentar, ekspresinya kembali santai tanpa takut seperti sebelumnya. "Nggak perlu menakutiku dengan namanya. Waktu itu kamu hanya beruntung. Kali ini dia nggak bisa menolongmu. Lagi pula dia itu kakak sepupuku. Kalau aku benaran menidurimu, apa yang bisa dia lakukan padaku? Satu kata ibuku, masalah pun langsung selesai." "..." Hati Laticia terasa hancur, tapi dia tetap tidak menyerah untuk menyelamatkan diri. Saat Ardo sedang melepas pakaian, dia memanfaatkan celah itu untuk melarikan diri dari bawah tubuhnya. Sayangnya, rok yang dia kenakan ditarik oleh Ardo. Laticia kembali diseret ke ranjang dan menerima sebuah tamparan keras. Kepalanya berkunang-kunang, tubuhnya tidak lagi punya tenaga untuk lari. Dia terkulai lemah di kasur. Tangan Ardo menyentuh wajahnya yang halus, tatapan penuh nafsu semakin jelas. "Kamu gadis tercantik di kampus yang sangat terkenal. Aku sudah lama ingin tidur denganmu. Aku dengar kamu masih perawan. Hari ini aku mau mencobanya!" "Tenang saja, asal kamu nggak lari, aku akan bersikap lembut, seperti aku berpura-pura selama sebulan itu. Kalau dari awal kamu mau menurutiku, dua tamparan tadi nggak akan kamu dapatkan. Kamu benar-benar nggak tahu diri!" Saat melihat sikapnya yang seperti orang gila, Laticia menggigil ketakutan. Dia mendorongnya kuat-kuat agar bibirnya tidak mendekat. "Jangan, Ardo lepaskan. Aku nggak mau ...." Dia menangis sambil memohon, tapi tidak ada gunanya. Logika hanya berguna untuk orang yang punya moral. Sedangkan untuk bajingan seperti ini tidak akan berhenti sebelum mencapai tujuan. Ketika tali gaunnya dilepas, Laticia merasa hidupnya hancur. Jika hari ini Ardo berhasil melakukan aksi bejatnya, masa depannya akan jauh lebih suram. Dengan sifat Ardo, dia jelas tidak akan hanya melakukannya sekali ini saja. Bukankah itu berarti dia nanti harus terjebak antara dia dan Enzo? Memikirkan itu saja, dia sudah ingin mati. Laticia panik. Dia meraih lampu meja dan menghantamkan ke arah kepala Ardo. Pada saat bersamaan, pintu kamar tiba-tiba ditendang dari luar. Ardo yang terkena lampu menjerit kesakitan dan bangkit, tapi langsung mendapat tendangan keras di dada hingga terpental. Belum sempat berdiri, sebuah selimut musim panas menutupi kepalanya rapat-rapat dari atas. Laticia merangkak turun dari ranjang dengan panik. Melihat pria yang tiba-tiba muncul itu, matanya memerah dan air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Dia selamat! "Kemasi barangmu." Enzo hanya meninggalkan satu kalimat dingin, lalu berbalik dan duduk di atas tubuh Ardo. Ardo terbungkus dari kepala sampai kaki, tapi mulutnya masih berkata dengan sombong. "Siapa kamu, berani ganggu urusanku!" "Kamu tahu aku siapa? Aku tuan muda Keluarga Ludam! Ibuku adalah adik nyonya Keluarga Austin! Kamu tahu Keluarga Austin? Kalau menyinggungku, aku akan menghilangkan seluruh keluargamu!" Tatapan Enzo sangat dingin. Dengan santai dia meraih handuk, membungkus tangannya. Lalu tiba-tiba tatapannya menegang dan satu pukulan mendarat di hidung orang yang ada di bawah tubuhnya. Seketika kesombongannya lenyap. Lalu pukulannya semakin keras. Ardo yang berada di bawah tidak bisa melawan sedikit pun. Dia hanya bisa menjerit kesakitan. "Kakak, aku salah. Jangan ... jangan pukul aku lagi!" "Aku akan memberikan apa pun yang kamu mau. Uang, aku kasih uang. Jangan pukul lagi!" Tatapan Enzo setajam panah dalam gelap. Pukulannya semakin kuat. Dia sudah lama muak dengan adik sepupu angkatnya ini yang suka memakai nama Keluarga Austin untuk berbuat semena-mena. Sementara itu, Laticia buru-buru mengemasi barang. Dia memang tidak punya banyak barang, hanya beberapa pakaian dan barang kebutuhan sehari-hari. Ketika suara Ardo semakin melemah, Laticia takut terjadi sesuatu. Jadi buru-buru mendekat untuk menghentikannya. "Jangan ... jangan pukul lagi!" Kalau sampai mati, dia tidak mampu menanggung akibatnya. Enzo sudah terbakar amarah. Saat mendongak dan melihat gaun Laticia yang sobek di bagian dada, emosinya justru semakin membara. Dia bangkit dan menginjak tangan Ardo. Suara tulang patah terdengar jelas. Ardo menjerit lalu pingsan. "Kamu benar-benar bodoh. Kenapa nggak telepon aku?" Tubuh Laticia gemetar karena ketakutan. Kepalanya tertunduk dan air matanya terus mengalir. Dia bukan tidak ingin menelepon, tapi sama sekali tidak punya kesempatan. "Bodoh." Enzo menarik lengan Laticia dan membawanya ke ruang tamu. Namun tatapannya tertuju pada bahu gadis itu. Dia langsung merobek pakaian di bahunya. Laticia berteriak kaget. Wajahnya memucat karena sakit. Bekas gigitan yang berdarah terlihat jelas. Tatapan Enzo semakin gelap. Dia berbalik dan menghantam wajah Ardo sekali lagi. "..." Saat polisi tiba, Ardo sudah dipapah keluar oleh petugas medis, wajahnya rusak tidak berbentuk. Pemilik rumah juga dipanggil ke sini. Rumah kontrakan yang sempit penuh dengan orang. Ketika polisi bertanya, Enzo hanya menjawab dua kata, "Nggak tahu." Dia bilang saat tiba, Ardo sudah dipukul orang dan dia tidak tahu apa-apa mengenai detail kejadiannya. Pada saat ini, seorang polisi berbisik, "Ini putra bungsu Keluarga Austin. Ayahnya pengusaha besar di Kota Sanur. Kakaknya di lembaga rahasia. Korban itu adik sepupunya." "..." Dengan hubungan seperti ini dan masih keluarga, akhirnya polisi mengambil keterangan lalu pergi. Karena pemukulan terjadi dengan selimut, bukti di tempat juga sudah rusak. Jadi tidak ada petunjuk apa pun. Laticia menarik koper dan masuk ke mobil Enzo. Dia masih ketakutan, suaranya bergetar. "Bagaimana kamu bisa menemukanku?" Enzo menyalakan mobil dan menoleh sebentar. Tatapannya penuh ejekan dan satu kata langsung muncul dalam hatinya. Bodoh! "Alamat yang kamu tulis di rumah sakit. Orang lain hanya tulis nama komplek. Tapi hanya kamu yang menulis nomor rumah dengan detail. Memangnya masih nggak bisa menemukanmu?" Ternyata begitu. Laticia menarik napas dalam-dalam dan berkata pelan. "Terima kasih, Dokter Enzo. Kamu sudah membantuku meminta kembali uang sewanya." Enzo mendengus dan menatapnya seperti melihat orang bodoh. "Pemilik rumah sembarangan membocorkan data penyewa. Dengan kejadian seperti ini, dia harus mengembalikan uang sewa dan membayar kerugianmu. Kamu sangat bodoh sampai nggak tahu mempertahankan hakmu sendiri." "Ardo menyuap pemilik rumah buat pasang kamera. Lalu menyuap teman serumahmu untuk menjebakmu. Kamu sama sekali nggak waspada sama sekali, benar-benar bodoh." "Kamu bisa hidup sampai sebesar ini juga keajaiban." Laticia menunduk. Setelah rasa takut mereda, rasa sakit mulai terasa di seluruh tubuh. Dia menahan sakit dan berkata pelan, "Aku mengerti semua yang kamu katakan, tapi aku nggak berani menyinggung pemilik rumah, apalagi Ardo. Kalau bukan karena ada kamu hari ini, uang sewa pun nggak akan kembali." Dia tidak punya kemampuan untuk membereskan kekacauan itu. Dia mana berani meluapkan emosinya? Orang sepertinya yang bisa diinjak dengan mudah oleh siapa pun, mana berani bicara soal hak? Bisa tetap hidup saja sudah bagus. Enzo menatapnya dengan jijik dan mengeluarkan beberapa kata dari tenggorokannya. "Bodoh dan tolol." Namun mobilnya tetap diarahkan ke rumah sakit. Laticia sedikit menolak. Apa yang orang pikirkan tentang dirinya kalau dia keluar dengan kondisi seperti ini? "Aku ... aku nggak perlu ke rumah sakit." "Kamu harus disuntik. Jangan membuatku mengulangnya lagi." Enzo melepas jaket dan membungkus tubuhnya, nada suaranya tidak bisa dibantah. "..." Laticia tidak berani membantah. Dia hanya bisa mengikutinya pergi untuk menangani luka, suntik tetanus, dan memeriksa tubuh. Mereka baru tiba di Komplek Hanina pada jam sebelas malam. Begitu masuk rumah, Enzo langsung mengeluarkan kalkulator. Dia memberi isyarat agar Laticia duduk di depannya dan dia berkata dengan suara berat, "Ke sini. Kita hitung biayanya." Laticia. "..." Dia benar-benar tidak dikasih waktu buat bernapas.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.