Bab 12
Laticia langsung sadar ada yang tidak beres. Namun sudah terlambat untuk kabur. Pergelangan tangannya ditahan dan ditekan ke kursi.
Ardo menurunkan suara. "Banyak orang yang lihat. Tolong kasih aku muka sedikit."
Laticia melirik sekeliling. Tempat ini ramai. Dia berpikir, Ardo seharusnya tidak akan melakukan hal yang kelewat batas. Hatinya pun menjadi sedikit rileks.
"Aku nggak menyangka kamu akan kencan buta dengan Sharon. Aku langsung bilang saja, Sharon sudah punya pacar. Kalian nggak cocok. Aku nggak akan makan denganmu, selama tinggal."
Laticia tidak ingin bertemu dengannya lagi, tapi hal pertama yang dia lakukan adalah menjelaskan kalau Sharon sudah punya pacar.
Adegan saat dia diseret ke toilet bar kembali muncul dalam pikirannya. Ketakutannya pada Ardo sangat dalam.
Laticia berdiri dan hendak pergi, tapi dihalangi Ardo. "Cia, sebelumnya memang salahku. Aku mabuk waktu itu dan bicara kasar. Kamu sudah datang sekarang, kenapa nggak makan dulu? Anggap memberiku kesempatan untuk minta maaf."
"Pelayan, bawakan segelas jus!"
Ardo memanggil pelayan dengan suara keras, langsung menarik perhatian beberapa meja di sekitar.
Untuk menghindari salah paham, Laticia langsung menarik tangannya.
Sebenarnya dia ingin menolak.
Tapi Ardo tidak memberinya kesempatan. "Cia, bagaimanapun juga kita pernah pacaran sebulan. Meski sudah putus tetap teman, 'kan?"
"Aku tahu kamu pemalu. Dengarkan aku, duduk dulu. Banyak orang lihat. Aku janji nggak akan melakukan apa-apa."
Laticia melihat sikapnya tampak tulus, dia pun duduk kembali. Bagaimanapun pada saat ini ada banyak pelanggan, dia tidak ingin membuat keributan.
"Ardo, aku ke sini menggantikan temanku. Tapi kalau dari awal aku tahu itu kamu, aku nggak akan datang. Jadi menurutku, nggak ada yang bisa dibicarakan di antara kita."
"Kita pacaran sebulan dan nggak terjadi apa-apa. Ke depannya juga nggak akan terjadi apa-apa. Kita sudah putus, jadi jaga martabat masing-masing. Kejadian di bar itu aku anggap kamu kehilangan akal sehat. Makan ini nggak perlu diteruskan. Setelah ini, kita nggak perlu ketemu lagi."
Mata Ardo sedikit menyipit. Gaun yang dipakai Laticia malam ini benar-benar menonjolkan bentuk tubuhnya, manis sekaligus menggoda.
Ujung lidahnya menekan pipi bagian dalam, ada kilatan licik di matanya, namun ketika bicara, suaranya terdengar lembut.
"Maaf, Cia. Kalau kamu memang nggak mau makan bersamaku biar aku antar pulang. Kamu memakai gaun secantik ini, aku nggak tenang kalau kamu pulang sendirian."
"Nggak perlu, terima kasih!"
Laticia berdiri dan pergi, Ardo langsung mengikuti di belakang. "Aku antar kamu pulang, naik taksi boleh, 'kan? Ada sopir, jadi kamu bisa tenang."
"..."
Laticia benar-benar tidak bisa menyingkirkannya. Pria itu seperti ekor yang terus menempel di belakangnya. Begitu taksi tiba, dia langsung masuk ke kursi penumpang depan, agar tidak terlalu dekat dengannya.
Ardo ikut naik dan duduk diam di kursi belakang, benar-benar terlihat seperti hanya ingin mengantarnya pulang.
Dia sama sekali tidak terlihat seperti pria yang ditemuinya di bar malam itu. Laticia beberapa kali mengintip melalui kaca spion. Jangan-jangan waktu itu dia memang mabuk sampai melakukan hal seperti itu?
Dia tidak tahu, tapi rasa takut dalam hatinya tidak bohong. Dia tetap merasa Ardo menakutkan, sorot matanya seperti tidak bisa dia baca.
Tiba-tiba radio mobil berbunyi, "Sekarang waktu menunjukkan pukul 20.00."
"..."
Gawat, jam sembilan dia harus pergi ke Komplek Hanina!
Pria itu bukan tipe yang bisa seenaknya dibatalkan janjinya. Dia mungkin saja akan melakukan trik licik lainnya.
Tapi dia tidak mungkin menyuruh taksi langsung menuju Komplek Hanina di depan Ardo. Bagaimanapun juga, di sana bukan tempat tinggal yang mampu dia sewa. Kalau sampai pria ini tahu, pasti akan muncul gosip lagi.
Sambil berpikir begitu, taksi sudah sampai komplek rumah sewanya. Laticia melihat jam, pukul 20.20. Dia segera membuka pintu dan turun. Masih cukup waktu untuk naik ke atas, ganti baju, lalu pergi.
"Aku sudah sampai, sampai jumpa!"
Dia melemparkan kalimat itu dan bergegas masuk. Di dalam taksi, Ardo memandangi sosok merah yang berlari masuk ke komplek, sudut bibirnya perlahan terangkat membentuk senyum jahat.
Sampai jumpa? Sampai jumpa nanti.
Apartemen yang dia sewa berada di komplek tua, sewa murah tapi tidak ada lift. Dia buru-buru naik ke lantai empat dan begitu dia membuka pintu, tubuhnya langsung membeku.
Apakah rumahnya dimasuki pencuri?
Ruang tamu berantakan, vas bunga pecah, pecahannya tersebar ke mana-mana. Kelopak bunga hancur diinjak.
Pintu kamar Sharon terbuka. Laticia segera berlari ke sana. "Sharon, kamu nggak apa-apa ...."
Dia membeku di pintu. Di dalam hanya ada ranjang kayu, tidak ada yang lain. Sharon sudah pindah?
Kenapa bisa seperti itu? Bukankah dia bilang harus lembur dan minta dirinya menggantikannya pergi kencan buta? Laticia buru-buru menelepon Sharon dan seperti dugaan, teleponnya tidak aktif.
"Nggak perlu telepon lagi, dia sudah pindah. Malam ini, aku temani kamu."
Laticia terkejut dan menoleh. Ardo bersandar di ambang pintu. Barulah dia sadar, tadi saat masuk, karena terkejut melihat ruangan di dalam, dia lupa menutup pintu.
"Kalian bekerja sama ya? Sebenarnya nggak ada kencan buta? Ardo, kamu sengaja!"
Laticia baru sadar, tapi sudah tidak berguna. Ardo menutup pintu dan berjalan masuk dengan pelan.
"Hal yang belum selesai di bar waktu itu, malam ini kita selesaikan."
Kepala Laticia seperti meledak.
Dia panik mengambil gagang pel lantai sebagai alat pertahanan. Dia bertanya dengan suara gemetar. "Apakah kamu mengancam Sharon? Ardo jangan berbuat sembarangan. Aku sudah telepon polisi!"
Ternyata semua manis yang ditunjukkan tadi hanya sandiwara. Pria ini memang bukan orang baik. Tidak ada satu sisi pun yang nyata.
"Hehe."
Ardo tertawa ringan, sambil membuka kancing kemejanya dengan santai. Sorot mata yang menatap Laticia mengungkapkan semua kegilaan yang dia sembunyikan.
"Kamu masih sebodoh dulu. Nggak pernah waspada sama siapa pun. Aku mengancamnya apa? Dia hanya mengambil uangku dan melakukan sesuatu untukku. Dari hari pertama kamu pindah ke sini, aku sudah ada kamera di kamarmu."
"..."
Tubuh Laticia seketika dingin dari kepala sampai kaki, telinganya berdengung dan tidak percaya. Semua gerak-geriknya berada dalam pantauan pria ini.
Terlalu mengerikan!
Laticia melempar pel lantai ke arahnya. Dia tahu, selama bisa keluar pintu ini, dia masih bisa minta tolong. Tapi begitu tangannya menyentuh gagang pintu, rambutnya ditarik keras dari belakang.
"Aku sudah naksir denganmu sewaktu pidato ke kampus kalian. Aku pura-pura jadi senior yang lembut supaya bisa mendekatimu, si cantik dari fakultas desain. Tapi kamu bahkan nggak kasih aku memegang tanganmu. Kamu sebenarnya pura-pura apa, hah?"
Dia menekan tubuh Laticia ke dinding, sambil terus mencium belakang lehernya. "Aku tertarik denganmu karena ingin tidur denganmu, tapi kamu malah memainkan cinta suci. Sentuh sedikit langsung bilang putus. Tapi justru karena itu aku semakin ingin tidur denganmu. Di Kota Sanur ini, nggak ada wanita yang nggak bisa aku tiduri!"
"Lepaskan aku, Ardo. Aku mohon. Kamu bisa dapat wanita macam apa pun, kenapa tidak mau melepaskanku?"
Laticia menahan rasa panas dari tengkuknya. Dia merasa takut dan jijik. Kalau dia tidak keluar hari ini, mungkin tidak ada harapan lagi.
"Ah, ah ...."
Rasa sakit tajam terasa di bahunya. Ardo menggigitnya dengan keras. Laticia ditekan di dinding sehingga tidak bisa bergerak. Rasa sakit dan mati rasa di bahunya membuatnya sangat menderita.
"Ini akibat kamu nggak mau bekerja sama. Malam ini aku akan menidurimu. Nggak peduli siapa yang datang!"
"Ardo, lepaskan! Lepaskan aku!"
Ardo menarik rambut Laticia dan menyeretnya masuk ke kamar lalu melemparkannya ke ranjang. Laticia mencoba bangkit tapi yang datang malah satu tamparan keras.
Dia merasa pusing dan mendengar ponselnya berbunyi. Ardo mengambil ponsel itu dari saku gaunnya. Lalu mendengus. "Pemberi utang? Pemberi utangmu telepon kamu!"
Itu dari Enzo!
Laticia refleks hendak merebut ponselnya, tapi mulutnya ditutup oleh Ardo. Pria itu menjawab teleponnya sambil menjilat bibir dan berkata sombong.
"Jadi kamu pemberi utang Laticia, ya? Maaf, malam ini dia milikku. Nanti aku kembalikan kalau aku sudah puas. Kalau dia masih hidup."