Bab 11
Akhirnya Laticia benar-benar merasakan apa itu mati gaya di depan umum. Itu adalah rasa malu yang membuatnya ingin menghilang ke dalam tanah. Dia merasa seolah ini hukuman dari dosa masa lalunya.
Dia ingin turun dari gendongan Enzo. Begitu dia bergerak sedikit, pelukan pria itu justru mengencang.
Enzo melirik anak magang yang membeku di pintu. Suaranya sangat datar. "Pasien sangat nggak kooperatif. Ambil perban, ikat saja."
"..."
Setelah mengucapkan itu, Enzo melempar Laticia ke kursi periksa tanpa perasaan.
Apa, tunggu dulu!
Laticia langsung duduk tegak. Dia melihat asisten magang yang mengambil perban dan buru-buru melambaikan tangan. "Nggak, nggak perlu!!"
Orang itu bahkan benaran mengambilnya!
Dia mau diikat?
Kalau nanti Enzo membuatnya sakit, bukankah dia tidak bisa melawan?
Dia tersenyum kaku pada Enzo, memelintir jari, bicara lirih penuh rayuan, "Itu, Dokter Enzo, hehe! Aku janji nggak akan bergerak sembarangan. Jangan ... jangan ikat aku."
Karena baru saja menggendongnya, Enzo sedang mengganti sarung tangan baru. Dia melirik Laticia sambil mengangkat alis. "Berbaring."
"..."
Laticia berbaring cemas, siap menghadapi ketakutan yang tidak diketahui.
Enzo melihatnya menggenggam kedua tangan di dada, bahkan menutup mata, seperti orang yang mau mati. Dia menunduk dan berbisik, "Kenapa kamu begitu tegang? Nggak percaya padaku?"
"Setelah aku merawat gigimu waktu itu, bukankah nggak sakit lagi? Bagian mana yang belum membuatmu puas?"
"Buka mata. Lihat aku."
Laticia terpaksa membuka mata dan baru menyadari kalau di dalam ruangan sekarang hanya ada mereka berdua. Asisten magang entah sejak kapan sudah pergi.
Dia menatap pria itu dengan takut dan berbicara pelan, "Kamu bisa lebih pelan nggak? Aku takut."
Dia benar-benar tidak mau lagi mengalami rasa sakit gigi sampai kepala serasa mau pecah itu. Alat-alat di tangannya yang meniupkan angin dan menyemburkan air, membuatnya takut.
Enzo selesai memakai sarung tangan, mata hitamnya menatap ke arahnya dengan sedikit godaan. "Tenang. Aku dokter. Aku nggak akan membuatmu sakit. Kamu berbaring saja."
Entah kenapa kalimat itu terdengar sangat aneh.
Wajah Laticia terasa memanas. Dalam hati dia bersumpah tidak akan banyak bicara lagi. Otak pria ini penuh hal mesum.
Mungkin kondisi gigi Laticia terlalu parah, walaupun Enzo sudah sangat hati-hati, tapi tetap membuat Laticia kesakitan.
"Sakit!!"
Laticia refleks mendorong tangannya. Enzo terpaksa menghentikan perawatan. "Sakit juga nggak boleh mendorong tanganku. Tahan."
Air mata Laticia sampai keluar karena sakit. Dia memegangi wajah sambil memandangnya dengan penuh keluhan. Katanya tidak balas dendam, padahal perawatan pertama tidak sesakit ini.
Enzo menekan bahunya kembali. "Baring yang benar. Kalau masih bergerak sembarangan, aku langsung cabut pakai tang."
"..."
Orang apa ini!
Tidak tahu setelah berapa lama, di ruang yang sunyi itu terdengar suara Enzo yang dalam. "Bangun. Kumur."
Punggung Laticia sampai basah oleh keringat. Saat mendengarnya, dia segera bangun dan mengambil gelas untuk berkumur dengan kuat.
Enzo melepas sarung tangan, mencuci tangan, lalu mulai menulis catatan medis. "Tujuh hari lagi datang. Aku tunggu di sini."
Gerakan Laticia mengelap mulutnya berhenti. Dia bengong dan bertanya, "Kalau kamu nggak ada, aku bisa daftar ke dokter lain, 'kan?"
Enzo mengangkat kepala, mata gelapnya menegang, seolah menatap hewan peliharaan yang tidak patuh. "Nggak bisa. Kalau aku suruh kamu datang, aku akan menunggumu di sini. Coba daftar dokter lain saja kalau berani."
"..."
Baiklah. Nasibnya memang sial. Dia punya keluarga lintah darat, juga bertemu pria yang tidak bisa dilepaskan.
Laticia cemberut, mengambil tas ransel dari kursi dan hendak keluar. Namun, suara Enzo kembali terdengar seperti kutukan. "Sampai ketemu malam nanti. Jam sembilan. Jangan telat."
"Kalau begitu, kali ini harusnya dihitung, 'kan?" tanya Laticia sambil balik badan.
Laticia menghitung dalam hati. Kalau mengikuti jadwal perawatan, kira-kira butuh satu bulan. Kalau begitu, utangnya pun seharusnya lunas dan dia akhirnya bisa lepas dari orang ini.
Enzo bersandar santai di kursi, jari-jarinya yang panjang memutar pulpen hitam. Ekspresi penuh godaan di sudut matanya, benar-benar tidak seperti dokter yang berwibawa.
Lebih mirip preman!
Jelas tampak ada senyum di matanya, tapi seluruh dirinya justru memancarkan rasa dingin yang membuat orang tidak bisa menebaknya.
Jakunnya bergerak pelan, lalu melontarkan kata dengan suara yang memikat. "Dihitung."
"Baik, janji ya!"
Laticia mengerucutkan bibir lalu cepat-cepat berlari keluar.
Enzo mendengus pelan dan cahaya berkilat di matanya, "Sepertinya terlalu sedikit ...."
Di luar rumah sakit panasnya seperti neraka. Kulit terasa hampir terkelupas. Laticia mengangkat tangan menutupi cahaya matahari dan berdiri di halte menunggu bus.
"Cia, akhirnya aku menemukanmu!" Suara yang familier terdengar, Laticia menoleh dengan panik.
Cuaca yang panas sudah membuat orang susah bernapas, tapi saat melihat jelas sosok yang memanggilnya, dia hampir pingsan.
Di tengah kepanikan, Leo sudah sampai di depannya. Entah dia jatuh atau dipukuli, wajahnya lebam dan bengkak.
"Cia, teleponmu nggak bisa dihubungi. Aku akhirnya bisa menemukanmu."
Laticia mengangkat tangan, mencegahnya mendekat. "Jauh-jauh dariku. Kita sudah nggak ada hubungan. Kenapa datang mencariku lagi?"
Leo menggaruk kepala, lalu mulai bertingkah. "Aku ayahmu, mana bisa hubungan itu diputus begitu saja? Hehe, bantu aku cari uang lagi."
Alis Laticia mengerut, dia minta uang lagi? Apakah dia sudah gila?
"Aku mana ada uang lagi? Aku bahkan belum melunasi uang satu miliar yang aku kasih padamu waktu itu. Aku belum dapat kerja. Bisakah kamu normal sedikit? Aku bukan mesin ATM!"
Tapi Leo tidak mau menyerah. Dia terus menariknya di jalanan. Orang-orang yang sedang menunggu bus mendengar percakapan mereka dan memandang dengan tatapan jijik dan meremehkan.
Saat Laticia sudah tidak tahu bagaimana harus melepaskan diri, sebuah mobil putih mendekat. "Cia, cepat naik!"
Itu teman satu rumahnya!
Setelah berhasil lepas dari Leo, Laticia melihat sosok yang berlari mengejar semakin jauh di kaca spion. Dia diam-diam menghela napas lega. Untung bisa kabur, kalau tidak, entah akan jadi keributan apa lagi.
"Cia, tadi itu ayahmu?" Sharon, teman serumahnya bertanya dengan penasaran sambil menyetir.
Laticia menghela napas. "Iya. Tapi aku sudah putus hubungan dengannya. Nggak nyangka dia masih datang mencariku. Sharon, terima kasih ya. Untung kamu kebetulan lewat."
Dia menceritakan urusan dirinya dengan Leo pada teman serumahnya itu tanpa waspada.
Sharon tersenyum canggung, sorot matanya sedikit berubah. "Cia, sebenarnya aku bukan kebetulan lewat. Aku tahu kamu ke dokter gigi hari ini, jadi aku sengaja menjemputmu. Itu ... kamu bisa bantu aku satu hal nggak?"
Bantu?
Laticia langsung setuju tanpa ragu. "Aku masih berutang satu juta padamu. Hari ini kamu membantuku lagi. Bilang saja, aku pasti bantu!"
"Ah, haha! Cia kamu baik sekali!" Sharon tertawa senang.
Ekspresinya berubah dan berkata sambil tersenyum. "Ibuku mengenalkan kencan buta padaku, tapi aku sudah punya pacar. Malam ini aku juga lembur, bagaimana kalau kamu menggantikanku kencan buta?"
"Aduh, kamu hanya pergi makan, terus kamu bilang nggak cocok. Masalahnya pun beres dan bisa dianggap aku menyelesaikan tugas dari ibuku. Ah, kalau kamu keberatan, aku bisa cari orang lain!"
Saat mendengar nada suaranya yang agak kecewa, Laticia langsung menggeleng. "Nggak apa-apa, aku akan pergi. Waktu itu kamu meminjamkan uang untukku periksa gigi. Aku masih utang budi padamu!"
"..."
Senyum puas melintas di mata Sharon. Dia menoleh dan menatap Laticia lebih lama. Wajahnya memang cantik, pantas saja ada yang naksir.
Malam hari.
Laticia mengenakan gaun merah yang dipinjamkan Sharon. Sesampainya di tempat yang ditentukan, dia melihat seorang pria yang membuatnya ketakutan.
"Kamu pasangan kencan buta yang dikatakan Sharon?"