Bab 10
Saat itu Laticia bahkan sudah membayangkan bagaimana nanti polisi datang dan apa yang harus dia katakan. Bahkan membayangkan dirinya diborgol dan dibawa pergi. Bagaimanapun juga, dia satu-satunya saksi mata!
"Dokter Enzo! Dokter Enzo!"
Jangan sampai benar-benar mati tenggelam!
Laticia dengan susah payah mengangkat tubuhnya dari bak mandi, sampai pakaiannya sendiri basah kuyup.
Enzo membuka mata yang masih mabuk dan tatapannya pada Laticia sama sekali tidak normal, seolah dia tidak memakai pakaian.
Laticia langsung sadar ada yang tidak beres. Baru saja mundur selangkah, pergelangan tangannya tiba-tiba ditarik, membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan ikut terjatuh ke dalam air.
"Ah, apa yang kamu lakukan!"
Laticia muncul dari dalam air, menyapu wajahnya dengan tangan. Rasa sesak belum hilang, tapi bibirnya sudah dibungkam bibir yang beraroma alkohol. Aroma alkohol samar masuk ke mulutnya. Tubuhnya dikurung erat membuatnya tidak bisa bergerak.
"Ugh ... lepas ... keluar dulu ... ugh ...."
Enzo mengeluarkan tenaga, membuatnya tidak bisa lagi mengeluarkan suara.
...
Keesokan paginya, gigi Laticia sakit, tubuhnya juga sakit. Kenapa nasibnya seburuk ini? Kemarin dia hampir mati di sini.
Pria berengsek ini seperti disuntik stimulan setelah minum anggur!
Saat bangun dan tidak melihat siapa pun di sisi ranjang, dia tidak terlalu peduli. Dia turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi untuk mencari baju, tapi baju yang dia kenakan semalam masih tergeletak di lantai dan basah, tidak bisa dipakai.
Dia tidak mungkin keluar tanpa pakaian, 'kan!
Laticia membuka lemari. Isinya hanya kemeja hitam, putih, dan abu-abu yang monoton atau celana bahan yang lebih monoton. Ada beberapa baju rumah, tapi terlalu besar, cukup untuk memuat dua dirinya.
Tiba-tiba dia melihat sebuah gaun biru muda tergantung di sudut. Ukurannya kurang lebih sama dengannya.
Pasti ini ditinggalkan mantan pacarnya, pikir Laticia. Lagi pula pasti bukan pacar sekarang. Kalau pria itu punya pacar, mana mungkin akan berurusan dengannya? Jadi pasti milik mantan pacar!
Ah, sudahlah, pakai saja dulu. Setelah dicuci baru dikembalikan.
Laticia selesai ganti baju, lalu mencari kantong untuk memasukkan barang-barangnya. Saat hendak pergi, Enzo malah kembali lagi dan membawa sesuatu yang mirip sarapan.
Saat melihatnya, tatapannya berubah dari terkejut, menjadi marah, dan akhirnya mencengkeram pergelangan tangannya dan menekan Laticia ke sofa.
"Siapa yang suruh kamu pakai baju itu? Mau mati ya?"
Tatapan marahnya membuat Laticia bergetar ketakutan, bicaranya pun tidak lancar.
"Ba ... bajuku basah, hanya ini yang bisa dipakai. Ja ... jangan begitu. Besok aku cuci bersih lalu kembalikan, nggak bisa ya?"
"Lepas! Lepas sekarang juga!"
Mata Enzo merah menyala seperti serigala lapar yang marah. Dia menekan tubuhnya ke sofa dan melepas gaun itu dengan kasar.
Begitu kasar sampai tulangnya serasa mau patah.
"Aku lepas! Aku lepas! Kamu menyakitiku! Lepaskan aku dulu!"
Laticia melepas gaun itu dan meletakkannya di sofa, lalu kembali memakai bajunya yang basah. Setelah itu dia diusir Enzo tanpa belas kasihan.
"Pergi!"
"..."
Galak sekali. Pantas saja pemilik gaun itu menjadi mantan. Dengan temperamen buruk seperti itu, siapa yang mau bersamanya!
Setelah kejadian itu, Laticia tidak menerima telepon dari Enzo lagi.
Bagus. Dia malah takut dicari olehnya!
Dalam sekejap, tiba waktunya kontrol gigi. Laticia berdiri di depan rumah sakit, tidak berani maju.
Dia sudah membuat Enzo marah hari itu, pria itu tidak mungkin balas dendam, 'kan?
Bagaimana kalau nanti dia memakai kesempatan untuk balas dendam?
Periksa ke dokter gigi saja sudah menakutkan. Dia bahkan sudah gemetar meski hanya memikirkan sakitnya.
Saat teringat ekspresi Enzo yang hendak menelannya hidup-hidup hari itu, Laticia memutuskan ganti dokter.
Jika tidak bisa dihadapi, dia akan menghindar!
Di depan poliklinik gigi, Laticia tidak berani mendekati ruang periksa nomor satu. Dia bersembunyi di pojokan dengan waspada sambil berdoa dalam hati semoga Enzo tidak melihatnya. Jangan sampai melihatnya!
Akhirnya namanya dipanggil lewat pengeras suara.
Dia segera masuk ruang periksa nomor tiga. Begitu masuk, dia langsung melihat sekeliling. Setelah memastikan sosok itu tidak ada, barulah dia bisa bernapas lega.
Dokter menanyakan kondisi lalu memintanya berbaring di tempat perawatan. "Buka mulut dulu, aku lihat hasil penanganan sebelumnya, baru tentukan tindakan selanjutnya."
"Uh ... hmm? Ugh ...."
Laticia baru membuka mulut, tiba-tiba sebuah tangan menutup rapat mulutnya.
Pupil matanya membesar, tubuhnya bergetar. Di saat bersamaan, pergelangan tangannya dicengkeram lalu dia ditarik turun dari kursi pemeriksaan.
"Maaf, ini pasienku." Enzo menatap dingin dokter yang tangannya masih terangkat di udara.
"..." Dokter yang ada di samping tercengang. "Dok ... Dokter Enzo, pasiennya daftar ke aku!"
"Dia salah daftar!"
Enzo menarik tangan Laticia keluar, meninggalkan dokter dan asistennya saling pandang.
Pemeriksaan pasien tidak ada komisi, kenapa malah rebutan pasien?
Laticia ditarik ke ruang pemeriksaan nomor satu yang kosong. Sekujur tubuh Enzo dipenuhi aura dingin seperti es batu, membuat Laticia merasa sedikit takut. Dia sudah berusaha menghindar, kenapa masih tetap tidak bisa!
Dia belum dapat pekerjaan, masih harus keluar uang buat periksa gigi, dan bertemu lagi dengan pria berengsek yang emosinya tidak menentu ini.
Kenapa masalah datang tanpa henti!
Laticia benar-benar pusing.
"Eh, hehe, Dokter Enzo, aku ... aku hari ini daftar dokter lain, jadi nggak perlu repot ...."
"Baring."
"..."
Perkataannya belum selesai, tapi sudah dipotong oleh kata dingin itu dan wajah kelam yang bahkan walaupun tertutup masker tetap terasa mencekam. Langkah Laticia yang hendak mundur langsung berhenti.
Dia melihat pria itu mengenakan sarung tangan, lalu menata alat-alat di atas nampan steril. Tubuh Laticia sontak bergetar. Di matanya, alat-alat kedokteran seperti probe, pinset, dan lainnya itu mirip seperti palu, pahat, dan tang.
Menakutkan sekali!
"Baring. Jangan membuatku mengatakannya dua kali."
Melihat Laticia berdiri kaku seperti tiang listrik, suara Enzo terdengar penuh tekanan yang tidak bisa dibantah.
Laticia menggenggam tali tas ranselnya kuat-kuat dan menatapnya dengan hati-hati. "Dokter Enzo, waktu itu aku benaran nggak sengaja memakai gaun pacarmu. Aku ... aku minta maaf. Bisa nggak jangan marah lagi?"
Dia menggigit bibir bawah dan jantungnya berdetak kencang.
Dengan sikap pria itu, tidak peduli dirinya daftar ke dokter mana, dia pasti bisa menyeretnya ke sini.
Lebih baik minta maaf dulu untuk meredakan amarahnya!
Kalau tidak, pria itu sengaja balas dendam saat memeriksa gigi, bukankah dia akan menjadi ikan di atas talenan?
Alis Enzo sedikit berkerut. Dia mengangkat tangannya menunjuk ke papan nama di dadanya. "Lihat baik-baik. Aku sedang kerja. Sekarang aku Dokter Enzo. Aku nggak punya hobi balas dendam di jam kerja. Untuk urusan itu, nanti malam akan aku hitung denganmu!"
Hitung di malam hari?
Mata indah Laticia langsung membesar. Dia baru mundur selangkah, pinggangnya mendadak disambar sebuah tangan kuat. Tubuhnya terangkat dari lantai dan digendong melintang membuatnya menjerit ketakutan.
"Pelankan suaramu!"
"..."
Laticia refleks melingkarkan tangannya di leher pria itu dan wajahnya langsung memerah.
Tiba-tiba terdengar bunyi gagang pintu diputar. Tanpa aba-aba, tanpa kesempatan bersiap.
"Guru, aku membawa ... hasil laporannya!"
Asisten magang menerobos masuk, lalu terbelalak melihat adegan Enzo yang menggendong Laticia!