Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 9

Laticia mencengkeram tali ranselnya dengan bingung dan alisnya berkerut sangat dalam. Setelah pergi dari bar hari itu, dia sempat mencari tahu dan apa yang dikatakan pria itu memang benar. Satu miliar, memang bisa memelihara orang setahun penuh. Dia sendiri tidak punya sesuatu yang begitu berharga, jelas tidak pantas dihargai setinggi itu. Selain itu, uang pria itu memang tidak bisa diambil semudah itu. Namun hatinya tetap tidak tenang. Dia selalu merasa pria itu bukan demi uang, tapi demi merendahkannya. "Ta ... tapi aku sakit gigi!" Dia masih mencoba menunda. Setelah luka sebelumnya, dia punya trauma pada hal yang satu itu. Dia kira sudah bebas, ternyata tetap tidak bisa lepas dari tagihan pria itu. Mata Enzo tampak mengandung senyum dan menatapnya dengan penuh minat. Dia seolah melihat seekor kelinci kecil yang lunglai dan menurunkan telinganya, membuat orang ingin mencubitnya. "Hei, le ... lepaskan!" Tiba-tiba pinggangnya ditarik dan Laticia jatuh ke dada pria yang beraroma mint. Dia menoleh ke sekitar dengan panik. Mereka ada di jalan raya! Enzo mendekatkan wajah ke telinganya. Laticia ingin menghindar, tapi kekuatan di pinggang mendadak mengencang, membuatnya tidak bisa bergerak. "Aku tahu gigimu sakit, aku nggak minta kamu cium." "..." Dia benar-benar tidak tahu bagaimana pria ini bisa mengatakan kalimat seambigu itu tanpa rasa bersalah. Wajah Laticia terasa panas, namun dia tidak bisa berbuat apa pun. Setelah berhasil memaksa pria itu pergi, Laticia segera mendapat permintaan pertemanan dengan tulisan "terima". Laticia mengetuk tanda terima dan tak lama kemudian, pemilik nama dengan tanda strip itu mengirim pesan. [Jam sembilan malam, Komplek Hanina. Telat satu detik, balas budi jadi dua kali lipat.] Alis Laticia langsung berkerut dan dipenuhi rasa cemas. Beberapa saat kemudian, ada pesan lain masuk. "Kamu berutang padaku, jangan coba kabur. Kalau kabur, aku nggak keberatan menemui dosen kampusmu dan menyampaikan pencapaian besarmu." "..." Pria itu hanya bisa mengancamnya! Walaupun sudah lulus, tapi dia tidak bisa membiarkan pria itu menjelekkan namanya di kampus. Foto dirinya masih terpajang sebagai mahasiswa berprestasi. Karyanya adalah yang paling banyak meraih penghargaan, meski entah kenapa sampai sekarang dia masih belum mendapatkan pekerjaan! Laticia mengetuk ponsel berkali-kali, seolah ingin menusuk pengirim pesan itu sampai mati. Dia takut saat berada di depan pria itu, tapi di belakang dia bisa menusuk layar sebagai bentuk protes, 'kan! Pada saat inilah telepon dari Leo masuk. Amarah Laticia langsung memuncak. Dia mengangkat telepon dan langsung membentak, "Kamu penyebab semua ini! Karena kamu aku punya utang yang nggak habis-habis! Kamu masih berani meneleponku! Bukannya sudah aku bilang anggap saja aku sudah mati! Jangan cari aku lagi!" Dia hanya memblokir Lika, lupa memblokir Leo juga. Setelah memblokir nomor Leo, barulah dia Laticia naik bus di pinggir jalan. Sore tadi dia dapat kerja paruh waktu di kafe, setidaknya bisa menyambung hidup sambil terus kirim lamaran kerja. Pekerjaan di kafe itu ada batas waktunya. Laticia hanya pekerja yang dibayar per jam. Jadi dia selesai kerja pada jam delapan tiga puluh. Dengan langkah berat, dia tiba di Komplek Hanina. Setelah memasukkan sandi dan masuk, ternyata tidak ada siapa pun di dalam. Disuruh datang, tapi pria itu tidak ada di rumah. Apa maksudnya? Walaupun Enzo belum pulang, Laticia tetap tidak berani pergi. Dia takut jika pergi, balas budinya benar-benar digandakan. Dia menelusuri ruangan yang membuatnya merasa takut itu. Setiap sudut punya memori yang tidak ingin diingat. Hatinya langsung seperti benang kusut. Tempat tidur itu dia tidak ingin tidur di sana. Sofa itu pun dia tidak ingin duduk. Setelah dipikir-pikir, dia hanya duduk di lantai dekat jendela. Di luar jendela luas itu terhampar pemandangan paling megah Kota Sanur, ketinggian yang seumur hidup tidak akan bisa dia capai. Dia berusaha keras keluar dari desa miskin. Lalu berhasil masuk universitas dan memilih jurusan yang paling dia sukai. Itu adalah garis akhir yang dia perjuangkan mati-matian, tapi tetap tidak dapat menyentuh titik awal orang lain. Rumah di tempat ini seumur hidupnya pun dia tidak mampu beli. Kalau bukan karena utang ayahnya dan tidak sengaja salah masuk kamar Enzo, mungkin dia tidak akan pernah menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Kamar mandi di sini bahkan lebih besar dari rumah sewanya. Saat orang lain mengejar kemewahan, yang bisa dia lakukan hanya bertahan agar tidak kelaparan. Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Laticia refleks berdiri. Dia sudah pulang? Dia melangkah ke depan dengan ragu, tapi ternyata ada dua orang yang masuk. Albert melihatnya dan matanya melotot. "Kamu ... kamu ... aduh, sini bantu dulu!" "Eh? Oh!" Laticia buru-buru maju membantunya memindahkan Enzo yang mabuk ke atas tempat tidur. "Oh, ternyata kamu." Enzo mencium aroma delima yang familier. Alis yang tegang langsung melonggar. Detik berikutnya, dia menarik lengan Laticia dan menjatuhkannya di ranjang. Laticia yang jatuh di dadanya sampai tercengang. Kakak, masih ada orang di sini! "Eh, eh! Aku masih belum pergi. Sabar dikit!" Albert benar-benar tidak tahan melihatnya, benar-benar menyakitkan mata. Dokter gigi yang dingin dan berjarak itu, ternyata diam-diam memelihara seseorang. Diceritakan pun orang tidak akan percaya. Albert melirik sekeliling ruangan dan memutuskan pergi menuang segelas air. Laticia berusaha turun dari ranjang, wajahnya sampai merah padam. Untuk mencegah Enzo berbuat sembarangan di depan orang, dia buru-buru mengambil handuk basah dan menyeka wajah pria itu agar sedikit sadar. Untuk pertama kalinya Albert melihat wajah Laticia dengan jelas. Matanya yang panjang menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Biksu tua itu ternyata diam-diam menikmati hidup! Pantas saja dia tidak melirik pelayan bar. Meski gadis ini berpakaian sederhana, tapi dari aura dan wajahnya, dia benar-benar berbeda dari wanita yang pernah dilihatnya. Tidak heran mereka bermesraan sampai masuk rumah sakit! "Kamu Nona Laticia, ya? Aku sudah membawanya pulang. Kalau begitu aku pulang dulu." Laticia sedikit canggung. Dia tahu dengan statusnya, orang lain sebenarnya tidak layak mengajaknya bicara soal ini. "Uh ... ba ... baik." Dia tersenyum kikuk, kedua tangannya mencengkeram ujung baju dengan gugup. Begitu mendengar itu, Enzo langsung melemparkan bantal. "Pergi! Rumahku nggak mengizinkan orang lain menginap, cepat pergi!" Albert sedikit memiringkan tubuh menghindar, lalu memungut bantal di lantai dan berkata mengejeknya, "Nggak mengizinkan orang lain menginap? Kalau begitu, Nona Laticia kamu mau ke mana? Biar aku antar!" Dia sengaja meninggikan suaranya, bahkan melempar kembali bantal itu dengan gaya menantang. Enzo berbaring telentang, satu tangan menutupi kening, matanya terpejam dan berkata dengan kesal, "Kamu pergi. Dia tinggal." "Dia kelinci kecil peliharaanku, Kamu cepat pergi." "..." Sudut bibir Albert menurun, tampak seperti merendahkannya. Waktu itu saat dia bertanya, Enzo sama sekali tidak mau cerita. Sekarang malah tidak menganggapnya sebagai orang luar. Dia bahkan menyebutnya kelinci kecil? Tampaknya dia benar-benar mabuk dan melantur! Setelah mengantar pergi Albert, Laticia akhirnya bisa bernapas lega. Melihat Enzo yang mabuk sedemikian rupa, sepertinya malam ini tidak akan terjadi apa-apa, 'kan? Tiba-tiba terdengar suara jatuh dari kamar mandi, membuat tubuh Laticia menegang. Oh ya, sewaktu Albert pergi tadi, Enzo masuk ke kamar mandi. Jangan sampai mati tenggelam! Lebih baik dia masuk melihatnya! Laticia membuka pintu kamar mandi dengan hati-hati dan benar saja, ada benda hitam yang mengapung di bak mandi.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.