Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Hotel Seraton. Kamar suite bernuansa merah tua. "Lampunya bisa dinyalakan nggak? Aku agak takut." "Takut? Tahan saja!" Laticia Karmen berdiri canggung di depan pria itu. Di kamar hanya ada satu lampu redup. Dia panik dan mengepalkan tangannya sambil terus menelan ludah. Barusan, ayahnya menjual dirinya karena utang judi, bahkan dijual dengan harga yang lumayan! Satu miliar. Seumur hidupnya, Laticia tidak pernah melihat uang sebanyak itu bahkan dalam mimpi. Pria itu bersandar santai di sofa empuk, separuh tubuhnya tenggelam dalam bayangan. Matanya yang sedikit mabuk menatap kartu mahasiswa yang sedang dia mainkan di tangan. Ternyata mahasiswi fakultas desain, jurusan desain busana. Dia seorang mahasiswa, pantas saja terlihat begitu polos dan bodoh! Belajar desain busana? Dengan tatapan sebodoh itu, memangnya dia bisa memasukkan benang ke jarum dan menjahit? Dia mendengus sambil mengernyit, lalu mengangkat sedikit kelopak mata menatap wajah belianya. "Kamu datang untuk bayar utang, mau bayar pakai apa?" Dari sudut mata, pria itu melirik ke tempat sampah. Di dalamnya teronggok kemeja buatan tangan yang terkena percikan kopi gadis itu di lobi tadi. Mata hitamnya menjadi semakin gelap. Laticia menelan ludah lagi karena panik. Matanya menatap ujung sepatu dan berkata dengan gugup, "Mungkin dengan ... tubuh." Laticia sendiri tidak mau. Tapi ayahnya bilang kalau malam ini utangnya tidak dibayar, besok dia akan datang ke kampus untuk membuat keributan. Karena surat utang atas nama Laticia dan dia akan segera lulus maka tidak boleh ada masalah di saat ini. Enzo Austin sudah menyadari sejak awal kalau gadis ini adalah si ceroboh yang menumpahkan kopinya di lobi. Tapi dia belum pernah melihat orang yang begitu tidak tahu malu seperti ini. Bayar utang dengan tubuh? Bagus! Saat melihat wajah polos dan sikapnya yang lugu, Enzo tersenyum nakal. Dia mendekat dan bertanya, "Kamu ... bodoh ya?" Kemejanya memang mahal, tapi tidak perlu dibayar dengan tubuh. Bodoh sekali! "..." Laticia memejamkan mata, dia merasakan napas pria itu yang menekan. Telinganya berdengung, mengerutkan leher dan berpikir lama. Lalu dia memaksakan dirinya berkata, "Aku masih perawan, ini pertama kali." Seharusnya seperti yang Laticia pikirkan dan dia menjawab dengan bingung. Enzo berdiri tegak, ujung lidahnya menyentuh bibir bawah. Sepertinya mereka membicarakan dua hal yang berbeda. Tapi entah kenapa dia ingin mengerjai si bodoh ini. "Kalau begitu harus diperiksa. Kalau perawan, boleh tinggal. Kalau nggak, aku lempar kamu keluar dari jendela!" Laticia mengerutkan bibir. Dia sudah tahu, datang ke sini tidak akan mendapatkan hasil baik. Namun dia tidak punya jalan lain sekarang. Kalau sampai besok ada yang membuat keributan di kampus, dia tidak berani membayangkan akibatnya .... Dia bersusah payah keluar dari kota kecil terpencil yang harus naik bus dua jam lalu naik taksi baru sampai ke stasiun kereta. Dia tidak mau dipaksa pulang lagi. "Buka baju." Suara dingin Enzo terdengar, dengan aroma alkohol samar. Malam ini, dia baru pulang dari seminar luar negeri dan minum sedikit alkohol. "Ah?" Laticia langsung membeku. Pria itu berdiri tegap di depannya. Dari balik pakaian pun tampak otot dadanya yang padat. Seluruh tubuhnya memancarkan energi yang dahsyat. Dia mengulurkan tangan dan meraih rambut di bahu Laticia. Lalu menggulungnya di ujung jari. Laticia pun bergetar ketakutan. Enzo menatapnya dengan mata yang dalam dan sulit ditebak. "Kamu bilang mau bayar utang pakai tubuhmu, 'kan? Buka baju dan berbaring di ranjang!" Laticia menggigit bibir. Kesal, tapi menurut dan melepas bajunya. Dia berbaring di pinggir ranjang hotel yang besar dengan memakai pakaian dalam. Tangannya mencengkeram seprai di bawahnya dengan kuat, bingung harus bagaimana. "Punya pacar?" Di sisi lain ranjang, jubah mandi Enzo sedikit terbuka memperlihatkan dada kekarnya. Dia membungkuk dan satu tangan menopang pelipis. Lalu bertanya dengan nada suara mengejek. Laticia menoleh ke sisi lain dan berkata pelan, "Baru putus." Mata Enzo menyipit, tatapannya seketika menjadi dingin. Dia baru bertanya setelah beberapa saat, "Sudah pernah melakukannya?" "Melakukan apa?" Tatapan polos Laticia menatapnya sekilas lalu buru-buru menghindar, seperti kelinci yang ketakutan. "Kamu pernah tidur dengan pacarmu?" Enzo tidak tahu dia benar-benar tidak paham atau pura-pura bodoh. Saat ini, dalam hatinya sudah muncul dorongan untuk melemparnya dari jendela. "Nggak." Wajah Laticia terasa sangat panas, tangannya semakin kuat mencengkeram seprai. Kening Enzo mengendur. Bagus. Untuk sementara, tidak dilempar keluar dulu. Dia mendengus. "Ingat kata-katamu. Kalau ternyata kamu nggak bersih, kamu akan tahu akibatnya. Aku punya obsesi kebersihan. Kalau ada yang mengotori barangku, aku bisa ambil nyawanya!" Laticia memejamkan mata dan berkata, "Pacarku putus denganku karena aku nggak mau bermesraan. Aku benaran belum pernah melakukan hal itu. Jangan tanya lagi, cepat lakukan saja." "..." Cepat? Enzo melihat pakaian dalam katun bermotif bunga yang polos dan norak di tubuhnya. Dia berbaring kaku seperti mayat, sehingga tatapan matanya sedikit melembut. Dia sepertinya benar-benar masih perawan. Bertemu dengan dirinya, bukan hal baik. Tapi dengan kebodohan gadis itu, bertemu dengannya mungkin lebih baik daripada bertemu orang lain! Enzo mengulurkan tangan dan menyentuh bahu halus Laticia, lalu mengejeknya. "Kamu yang melayaniku atau aku yang melayanimu? Kamu kaku sekali!" Orang lain bisa saja mengira justru dia yang datang buat bayar utang! Begitu disentuh, bahu Laticia refleks mengerut. Barulah dia berani melirik ke arahnya, tapi tetap tidak berani menatap wajahnya. "A ... aku nggak bisa." "Nggak bisa? Belajar sebentar sudah bisa, sini!" Enzo melambaikan tangannya, kini giliran dia yang berbaring. Laticia menggigit bibir bawah dengan kuat. Tubuhnya tetap kaku, kedua tangan tidak tahu harus diletakkan di mana. Untung rambut panjangnya bisa menutupi sedikit wajahnya yang memerah. "Selanjutnya, kamu yang harus memuaskan aku. Namanya membayar utang, paling nggak harus menunjukkan ketulusan!" Sudut bibir Enzo sedikit terangkat. Ujung jarinya menyentuh punggung tangan Laticia yang putih dan halus. Laticia menelan ludah dan memberanikan diri! Memang dia belum pernah mengalaminya, tapi teman sekamarnya dulu sering pamer kemesraan di depannya, setidaknya dia mengerti sedikit. Laticia perlahan menunduk, tangannya tidak berani menyentuh tubuh pria itu. Dia hanya menopang tubuhnya di ranjang dan mendaratkan ciuman yang kaku di bibirnya. Dia tidak tahu caranya, jadi hanya menempelkan bibirnya di bibir pria itu. Hidup ya harus bertarung habis-habisan! Untuk orang seperti dirinya, hanya dengan tetap hidup, baru bisa punya kesempatan untuk bangkit kembali. Dia harus mempertahankan pendidikannya dulu, baru bisa benar–benar lepas dari kendali keluarganya. Ayahnya kecanduan judi, ibunya mengutamakan anak laki-laki, dan adik laki-laki yang hanya tahu menggerogoti dirinya. Semua itu ingin dia lepaskan. Tiba–tiba sepasang tangan memegang pinggangnya, membuat tubuhnya bergetar. Enzo bertanya dengan suara rendah, "Kamu dan pacarmu, belum pernah berciuman?" "Belum." "Kalau begitu, kalian bersama untuk menjadi teman baik?" tanya Enzo dengan sinis. Saat ini, Laticia ingin lari, tapi tidak bisa lagi. Tubuhnya yang dikurung seolah terkunci. Enzo tiba–tiba kehilangan minat untuk menggodanya lagi. Dia melihat alis Laticia yang mengernyit, lalu berkata dengan tidak senang, "Cium aku. Kalau masih nggak bisa, cepat keluar dari sini." Laticia memberanikan diri dan kembali menempelkan bibirnya. Bibir itu terasa sejuk, ada aroma mint yang tipis, sangat lembut. Enzo seakan merasakan sesuatu dalam otaknya terputus. Semua akal sehatnya runtuh. Dia bukan orang yang mudah tergoda dan belum pernah kehilangan kontrol seperti ini. Namun aroma manis segar itu menghancurkan semua pertahanan dirinya selama ini. Dalam sekejap dia membalikkan tubuh dan menekan tubuh kecil gadis itu ke kasur empuk, sehingga tidak bisa melawan. Laticia pasrah menanggung semuanya. Dia menerima ciuman yang ganas dan tanpa belas kasihan, sampai napasnya kacau. "Aku takut." Tubuh Enzo menegang, menatap bibir Laticia yang memerah dan bengkak. Lalu berkata dengan suara serak, "Kamu bahkan berani masuk ke kamar pria asing. Masih takut apa lagi?" "..." Laticia tidak bicara lagi. Dia menarik selimut dan menutupi wajahnya. Keesokan harinya, alarm berbunyi. Hal pertama yang dilakukan Laticia saat bangun adalah bertanya dengan suara serak, "Sesuai kesepakatan, satu malam untuk melunasi utang. Pak Danny, jadi bisa kembalikan surat utang ayahku sekarang?" Enzo yang baru selesai mandi terkejut. "Pak Danny? Siapa itu?" Laticia terkejut, matanya melebar. Jangan bilang dia salah orang?
Bab Sebelumnya
1/100Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.