Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Pria itu baru selesai mandi, hanya mengenakan handuk putih di pinggang. Otot perutnya terlihat jelas. Rambut sedangnya digosok dengan handuk sampai berantakan, ujungnya masih meneteskan air. Laticia membuka bibir sedikit, tatapannya kosong melihat pria dengan wajah tegas di depannya. Semalam tidak terlihat jelas dan sampai terpana melihatnya sekarang. Saat diciptakan, apakah dia memakai jalur belakangan dan memberikan sogokan, sehingga bisa setampan ini! Dia belum pernah melihat pria setampan ini, juga belum pernah merasa tubuhnya gemetar seperti sekarang. "Kamu bukan Pak Danny?" Dia bertanya lagi. "Aku pernah bilang aku Pak Danny?" "..." Baiklah, hatinya langsung hancur. Otaknya seperti meledak dan membuatnya kaku. Dia menarik selimut untuk menutupi jejak ciuman yang memenuhi tubuhnya. Tubuhnya mati rasa, tapi hatinya lebih hancur. "Lihat apa? Semalam belum puas?" Saat Enzo berbicara, otot perutnya bergerak, air menetes di bagian bawah perutnya. Ketika melihat Laticia terdiam, dia langsung menariknya berdiri. Mata Laticia yang ketakutan beradu dengan mata dalam pria itu. Dia belum bereaksi, tapi selimut di tubuhnya terlepas. Dia tidak memakai sehelai benang pun, hanya bekas ciuman semalam yang terlihat jelas. "Kamu ... apa yang kamu lakukan!" Suaranya bergetar mengikuti tubuhnya yang menggigil. Pria itu terlalu liar semalam, membuat Laticia tak punya tenaga mendorongnya sekarang. "Aku tanya kamu, hmm? Kalau belum puas, aku lakukan sekali lagi?" Enzo tertawa lepas, nadanya penuh ejekan. Saat bicara, air di rambutnya menetes di tulang selangka Laticia, membuatnya merinding. "Nggak ... nggak perlu!" Laticia menarik tangannya, buru–buru mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai. Itu semua pakaian yang dia lepaskan sendiri semalam dan kini harus dikenakan satu per satu lagi. Dia bergerak lambat dan di belakang terdengar tawa sinis pria itu, tapi dia tidak menanggapi dan terus memakai bajunya. Bagaimana ini, dia tidur dengan orang yang salah .... Kepala Laticia kosong, tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya. "Pak Danny? Siapa Pak Danny?" Enzo duduk di sofa, ujung lidahnya menempel di pipi. Dia mendongak, tatapannya dingin dan sekarang ini dia sangat penasaran dengan pertanyaan itu. "..." Setelah berpakaian, Laticia berbalik dan melihat wajah pria itu yang jauh lebih gelap. Sepertinya terjadi kesalahan, suaranya semakin bergetar dan bertanya dengan takut, " Ini ... ini bukan Hotel Seraton, kamar 1901?" Semalam dia sudah memeriksanya berkali–kali sebelum akhirnya mengetuk pintu. Dia takut salah kamar. Enzo tertawa sinis. "Benar, tapi kamu tahu nggak, Hotel Seraton ada area A dan area B?" "Dzzz ...." Kepala Laticia berdengung. Dia tidak tahu. Dia memang belum pernah ke tempat semewah ini. Kenapa hotel harus dibagi dua area? Apa yang harus dilakukan sekarang .... Dia hampir menangis, matanya seketika memerah. Enzo menatapnya dari atas ke bawah. Gadis ini benar-benar polos, juga sangat bodoh. "Kamu salah tempat, adik kecil. Orang yang kamu cari seharusnya di area B, masih lumayan jauh dari sini." Dengan tatapan menggoda dan sikap acuh tak acuh, dia mengangkat kelopak matanya sedikit dan menggoda gadis yang tampak polos itu. Kali ini Laticia benar-benar menangis, air matanya jatuh tanpa daya. Tapi detik berikutnya, dia mengucapkan kalimat yang langsung membuat wajah Enzo menggelap. "Kalau begitu, kamu juga harus bayar!" Dia tidak mungkin membiarkannya pria itu mendapatkan keuntungan begitu saja, 'kan? Alis Enzo sedikit berkerut. "Kamu yang salah masuk kamar, tapi menyalahkanku?" "Kenapa kamu nggak tanya dulu? Kamu ... kamu tidur begitu saja dengan orang yang masuk kamarmu? Kamu nggak tanya untuk apa aku masuk?" "Kamu sendiri bilang mau bayar utang. Kamu mengotori bajuku kemarin, kamu sudah lupa?" "..." Ternyata dia! Pria menyebalkan yang kemarin menegurnya dengan dingin karena dia menumpahkan kopinya! Laticia menatap baju putih di tempat sampah yang penuh noda kopi. Otaknya langsung kosong. Ada apa ini! "Kamu ... aku ... siapa yang bayar utang dengan cara begini hanya karena baju yang kotor? Kamu ... kamu nggak tanya dulu, tapi langsung ...." Kalimatnya berantakan seperti kelinci putih yang marah. Pipinya merah padam dan seakan ingin segera mencari lubang di tanah untuk bersembunyi. "Aku ... aku nggak peduli, pokoknya kamu harus kasih aku uang!" "Huh! Kamu yang datang sendiri, tapi sekarang mau memerasku?" "..." Air mata Laticia jatuh semakin deras. Ini pertama kalinya dia mengalami hal seperti ini. Pertahanan mental yang dia bangun semalaman hancur begitu saja. Kemarin dia dihadapkan ancaman kematian ayahnya, jadi hanya bisa menurut. Setelah masuk kamar, dia tidak berani bicara banyak karena terlalu takut. Namun tidak disangka dirinya salah kamar dan tidur dengan orang yang salah! Padahal dia sudah mengecek nomor kamar dengan teliti. Saat melihatnya berdiri dengan canggung dan wajahnya penuh air mata, seolah tertindas, Enzo mendengus dingin. "Aku bisa memberimu uang. Hmm ... tapi aku harus lihat, kamu pantas dibayar berapa!" Dia berdiri dan mengelilingi Laticia beberapa putaran sambil berkata dengan tidak puas. "Tubuhmu kurus kering, nggak terlalu berharga. Mungkin aku bisa kasih ...." "Satu miliar! Aku mau satu miliar!" Laticia mendongak, menatapnya dengan mata berlinang air mata. Semalam dia sudah dihargai satu miliar. Meskipun salah kamar, harganya tidak boleh turun. Mata Enzo menyipit. Umurnya masih muda, tapi rakus sekali. Sekali buka mulut langsung minta satu miliar. Apakah tubuhnya dibalut emas? Enzo menarik lengan Laticia dan menyeretnya ke dekat jendela. Dia mencengkeram dagunya, memaksanya menatap gedung tinggi di seberang. "Kamu lihat gedung itu? Bawa pisau dan merampok di sana saja. Itu bank, ada satu miliar!" "..." Laticia jelas tahu kalau dia sedang menghinanya. Tapi tanpa uang satu miliar, ayahnya bisa mati dan masa depannya hancur. Dia menahan air mata yang memalukan dan berkata dengan nada keras kepala, "Aku memang seharga satu miliar, berikan uangnya!" Enzo melepaskannya lalu kembali duduk di sofa. Gadis ini kulitnya putih, kaki jenjang, pinggang kecil, dan cantik. Dia jelas tidak berpengalaman, tapi entah kenapa bisa membuat pertahanannya goyah, bisa dibilang cukup berbakat. Satu miliar tidak seberapa baginya, bahkan kurang dari harga sebotol anggurnya. Namun dia tidak mau memberikannya. "Uangku nggak gampang diberikan. Aku bisa memberimu satu miliar, tapi bagaimana kamu membalasnya?" Laticia menelan ludah, menunduk dan berkata gugup, "Memangnya aku bisa balas dengan apa lagi?" Dia sudah terlanjur sejauh ini, tidak ada jalan mundur. Selama bisa melewati kesulitan ini, urusan lain bisa dipikir lagi nanti. Enzo menjilat bibirnya, mengaitkan jari dan berkata dengan nada meremehkan, "Sini!" Laticia melangkah mendekatinya dengan takut, tapi tetap menjaga jarak. Laticia takut saat melihatnya sekarang. Ketakutan semalam belum hilang. "Setiap kali aku panggil, kamu harus langsung datang. Kalau setuju, kartu ini untuknya, nggak ada kata sandi." Dia melemparkan kartu itu dengan dingin ke kakinya. Rasa hina menusuk hati Laticia seperti pisau tajam dan merobek jiwanya. Harga dirinya diinjak tanpa ampun, dia menahan air mata, mencoba terdengar tenang. "Setiap kali dipanggil harus langsung datang, itu terlalu berlebihan. Bisa kasih kelonggaran nggak?" Mata Enzo yang disipitkan dipenuhi bahaya liar seperti hutan purba. Jakunnya bergerak, suaranya tegas, tidak bisa ditolak. "Kamu pikir aku kasih satu miliar buat main-main denganmu? Kamu bahkan masih berani menawar. Kamu pikir kamu siapa?" Laticia yang dipermalukan sekali lagi, akhirnya tidak bisa menahan air matanya lagi sehingga menetes satu per satu. Kartu di lantai itu seperti pisau berduri. Kalau diambil, dirinya pasti terluka parah, namun dia harus mengambilnya. Sekarang ini dia sangat membutuhkan uang ini untuk menyelamatkan nyawa. "Baik, aku setuju." Laticia malu sekaligus marah. Dia membungkuk mengambil kartu itu, lalu berlari keluar tanpa menoleh. Enzo menatap langkahnya yang goyah dan sekilas cahaya melintas di matanya. Gadis ini terlihat sangat polos, seluruh dirinya memancarkan kebodohan yang lugu. Bahkan ponselnya tidak memakai kata sandi sehingga dia bisa mendapatkan nomor kontaknya tadi. Setelah keluar dari hotel, Laticia yang kelelahan langsung pergi mencari ayahnya yang gila judi.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.