Bab 3
Leo Karmen sedang duduk di taman pinggir jalan sambil sarapan. Aroma bakpao daging di tangannya sangat wangi.
Laticia menatapnya, mengusap perutnya yang keroncongan, lalu melempar kartu itu dengan kesal.
Dia menjual anak untuk bayar utang dan masih bisa makan bakpao daging.
Ayah berengsek!
"Di kartu itu ada satu miliar. Ambil saja. Mulai sekarang kita sudah nggak ada hubungan lagi. Jangan datang ke kampusku untuk membuat keributan, juga jangan cari aku lagi. Anggap uang itu sebagai balasan karena kamu memberiku hidup dan aku sudah membayarnya."
"Satu miliar!"
Leo sepertinya tidak mendengar kalimat lain. Dia hanya terpaku pada angka satu miliar. Mata berbinar seperti menemukan harta karun.
"Wah, putriku memang hebat! Sekali malam bisa mendapatkan satu miliar. Ayah memang nggak salah menilaimu!"
Laticia menahan tangan ayahnya yang berminyak dan melihatnya dengan jijik. ""Menjual anak untuk bayar utang pun bisa kamu lakukan. Aku malu punya ayah sepertimu. Cepat bayar utangnya dan ambil kembali surat utangnya."
Leo mengambil kartu itu dan dimasukkan ke saku dada. Dia menepuk dada dengan bangga tanpa sedikit pun rasa bersalah. "Apa yang disebut menjual anak buat bayar utang? Bukankah aku sudah mendiskusikannya denganmu kemarin? Kamu sendiri yang mau pergi!"
"Memangnya itu disebut diskusi? Kamu mengancamku dan bilang mereka mau mengambil nyawamu, memangnya aku bisa nggak pergi? Kamu bilang mau ke kampus untuk membuat keributan supaya aku dikeluarkan. Kamu bilang surat utangnya atas namaku, aku berani nggak pergi?"
Laticia benar-benar ingin menangis karena punya ayah seperti itu.
"Kamu anakku. Aku sudah membesarkanmu sekian tahun. Apa salahnya menyuruhmu bantu sedikit? Bukankah kamu cukup hebat? Satu malam saja bisa dapat satu miliar!"
Ketika melihat penampilan Leo yang kotor dan berminyak, Laticia benar-benar merasa putus asa. "Memangnya selama ini kamu pernah membesarkanku? Bahkan uang kuliahku pun dibantu orang lain. Tapi bagaimana denganmu? Kamu langsung meminta satu miliar. Kamu pikir aku bisa menjadi mesin ATM begitu kuliah?"
"Sudahlah, biarkan aku lewati masalah ini dulu."
Leo terlihat jengkel, berbalik dan hendak pergi, tapi Laticia memanggilnya.
"Tunggu. Aku sudah bilang kemarin, aku hanya melakukannya sekali, hanya sekali ini. Aku sudah bantu bayar utangmu. Mulai sekarang, kita putus hubungan, anggap saja aku sudah mati. Jangan pernah datang mencariku lagi."
Leo mengulurkan jari kelingking untuk mengorek gigi, tatapannya meremehkan dan berkata, "Kita putus hubungan atau nggak sama saja. Kamu hanya sok suci. Coba dari dulu kamu menuruni harga dirimu, keluarga kita sudah kaya raya!"
Sambil bicara, mata Leo bahkan melihat tubuhnya dari atas dan ke bawah dengan tatapan paling kotor.
"..."
Apakah itu kata-kata yang pantas keluar dari mulut seorang ayah?
Melihat Leo membawa uangnya pergi tanpa peduli sedikit pun padanya, Laticia menarik napas dalam-dalam. Dia menahan air mata yang nyaris meluap, lalu berbalik menuju halte bus.
Mulai saat ini, Laticia yang kemarin sudah mati. Dia bukan lagi Laticia yang bersih seperti dulu. Dia sudah menjual dirinya dengan cara paling hina.
Jika bukan karena takut Leo datang ke kampus dan membuat keributan sehingga dia gagal lulus, meski mati pun dia tidak akan melakukan hal itu.
Air mata jatuh menyusuri pipinya. Rasa tidak berdaya dan kecewa memenuhi hatinya. Dia tidak mengerti, padahal dirinya sudah sangat berusaha, tapi nasib tetap tidak mau melepaskannya.
Sesampainya di asrama, dia buru‑buru mandi dan mengenakan gaun tidur yang longgar. Sekarang di asrama hanya ada dirinya seorang, jadi tidak perlu khawatir kalau bekas ciuman yang tidak pantas itu dilihat orang.
Asrama itu ditempati empat orang. Satu orang belum lulus tapi sudah masuk perusahaan keluarganya, satunya dikirim keluarga untuk belajar ke luar negeri, satunya lagi tinggal bersama pacarnya di luar kampus, jadilah dia hanya sendirian.
Memang, hanya orang tanpa latar belakang, tanpa keluarga berpengaruh, dan tanpa dukungan seperti dirinya yang masih tinggal di asrama seperti ini.
Dia berbaring di ranjang, kepalanya terasa berat dan pikirannya dipenuhi sosok pria yang kekuatannya seakan tidak ada habisnya semalam. Rasa terhina kembali memenuhi hatinya.
Air mata kembali memenuhi matanya.
Dia salah masuk kamar, tidur dengan orang yang salah, lalu dihina habis-habisan. Siapa pun pasti merasa tersakiti.
Untung pria itu kaya dan mau memberinya uang. Kalau tidak semua yang dia lakukan hanya sia-sia.
Ketika mengingat ayah yang menjual anaknya demi melunasi utang dan pria berengsek yang tutur katanya setajam seperti pisau, rasa tidak berdaya menyelimuti dirinya sampai sesak.
Kamu harus datang begitu dipanggil.
Kalimat dingin pria itu terus berdengung di kepalanya.
Air matanya mengalir semakin deras.
Dia tidak ingin bertemu dengan pria itu lagi.
Laticia menenggelamkan diri ke dalam selimut. Dia kurang tidur semalam dan berencana tidur sebentar. Namun belum lama terlelap, dering telepon membangunkannya. "Halo, Ibu ...."
Sebelum dia selesai bicara, suara makian ibunya langsung terdengar dari ponsel yang dingin itu. "Dasar anak nggak tahu diri! Kamu nggak tahu di rumah sedang panen? Cepat pulang bantu!"
"Jangan pikir hanya karena kamu kuliah beberapa tahun, kamu bisa lepas tangan dari urusan rumah. Ayah sialanmu itu juga entah ke mana. Memangnya mudah aku banting tulang dan mengurus kalian sendirian? Cepat pulang bantu panen!"
Laticia memandangi jam dengan linglung dan berkata tanpa daya, "Bukankah ada mesin panen? Selain itu, bukankah adik ada di rumah? Kenapa harus aku yang pulang?"
Setiap tahun dia tenaga utama di keluarganya saat panen. Demi menghemat uang, Lika Liada, ibunya bahkan tidak mau sewa mesin panen. Jadi hanya mereka berdua yang memotong gandum dengan sabit dari sebelum matahari terbit sampai langit gelap.
Hamparan ladang gandum yang tak berujung adalah mimpi buruk seumur hidupnya.
Sementara adiknya, hanya makan es krim sambil menonton TV, dan menghilang tanpa bayangan seperti ayahnya.
Sekarang Leo sudah menjualnya, dia tidak mau pulang lagi!
"Aku nggak ada waktu, nggak bisa pulang. Kalian cari cara sendiri saja." Setelah memberi Leo uang, sekarang dia punya keberanian untuk membantah.
Begitu mendengarnya, Lika langsung meledak. "Dasar anak sialan! Adikmu mana bisa melakukan pekerjaan kasar seperti itu? Kamu mau aku mati kelelahan? Astaga, nasibku benar-benar buruk!"
Laticia muak mendengar ibunya meratapi nasib seolah semua penderitaannya adalah salah dirinya.
"Ibu, nasibmu buruk bukan karena aku, tapi nasibku buruk itu karena kalian. Apakah selama ini apa aku pernah memakai uang kalian? Bahkan uang pembalut saja aku cari sendiri dengan memungut sampah. Tolong jangan taruh semua penderitaanmu di pundakku. Kamu berkorban demi putramu, bukan aku."
Sejak kecil, dia dibesarkan neneknya. Baginya, ibunya seperti juragan lahan yang muncul saat panen. Dia hanya menyuruhnya kerja tanpa memberinya makan. Nenek selalu menyuruhnya belajar giat agar bisa meninggalkan tempat terkutuk itu.
Sebentar lagi dia lulus dan hidup baru menunggunya. Dia tidak mau kembali.
Lika masih mengomel di ujung telepon dengan kata-kata paling buru. "Dasar wanita murahan! Sekolah membuatmu bodoh ya! Kamu menjadi kakak, mengalah sama adik itu wajar! Kamu jadi kakak tapi nggak sayang dengan adik sendiri. Kamu akan ditertawakan kalau sampai didengar orang."
"Ya, aku kakak. Aku harus mengalah. Aku kakak jadi pantas mati! Aku nggak akan pulang. Terserah kamu mau melakukan apa!"
"..."
Laticia menutup telepon tanpa ragu dan memblokir nomor Lika. Bagaimanapun, ibunya yang tidak pernah keluar kota tidak tahu lokasi kampusnya. Dia tidak akan datang membuat keributan, tidak menakutkan seperti Leo yang bisa menemukan keberadaannya.
Untuk pertama kalinya dia berani berbicara sekeras itu. Setelah mengatakannya, tangannya bahkan gemetar.
Setelah insiden kecil itu, Laticia akhirnya tertidur tanpa sadar.
Dia tidak tahu sudah tidur berapa lama, sampai akhirnya kembali terbangun oleh suara dering telepon. Dia mengira Lika mengganti nomor untuk meneleponnya, jadi dia menolak panggilan itu beberapa kali.
Namun telepon itu tidak berhenti, terus berdering sampai kantuknya hilang sama sekali.
Laticia mengucek matanya yang masih buram dan baru terlihat jelas kalau itu nomor yang disimpan dengan nama penagih utang.
Dia tidak ingat kapan dirinya pernah menyimpan nama seperti itu. Hatinya langsung tercekat dan yang lebih membuatnya terkejut adalah tanggal di layar ponselnya. Ternyata dia tidur selama itu, ini sudah sore hari keesokan harinya!
"Halo!" Dia menggigit kuku dan mengangkat telepon dengan suara gemetar.
Telepon di seberang sempat terdiam beberapa detik, lalu terdengar suara pria yang berat. "Aku nggak baik."
"..."