Bab 4
Suara yang sangat familier itu membuat tubuh Laticia menegang. Tidak mungkin! Dia tidak ingat pernah menyimpan nomor pria itu!
Detik berikutnya, suara dari telepon membuatnya benar-benar runtuh.
"Komplek Hanina, Tower 1, lantai 18. Datang ke sini."
"..."
"Nggak mau bicara ya? Aku kasih kamu waktu tiga puluh menit. Kalau kamu nggak datang, besok aku menjemputmu di kampus."
"..."
"Aku akan berdiri di depan asramamu dan memanggilmu dengan pengeras suara!"
Benar-benar tidak tahu malu!
Awalnya dia ingin bertanya kenapa pria berengsek itu menyentuh ponselnya dan menyimpan nomor teleponnya sendiri. Namun begitu ingin diucapkan, yang keluar malah, "Bisa ganti ongkos taksinya nggak?"
"..."
Dia sepenuh tahu kalau dirinya tidak punya ruang untuk melawan. Itu salahnya sendiri karena masuk ke kamar yang salah dan salah orang. Itu bukan salah orang lain, juga salah dirinya yang terlalu gugup dan tidak menyelesaikan masalahnya dengan benar.
Kalau ada orang yang mengantarkan sendiri, siapa yang akan menolaknya?
Kalaupun orang itu tidak memberinya uang, dia juga tidak bisa menuntut keadilan!
Namun orang itu memberinya satu miliar sehingga bisa membayar utang ayahnya, bahkan memberinya keberanian untuk memutus hubungan dengan ayahnya.
Pergi saja, dia sudah berjanji, jadi harus menepatinya.
Dengan hati yang gelisah, Laticia tiba di kompleks Komplek Hanina, tapi dihentikan oleh satpam di gerbang.
Keamanan komplek itu terkenal sangat ketat. Untuk masuk saja, satpam seperti ingin menelusuri delapan belas generasi leluhurnya. Dia tidak punya pilihan lain, jadi menelepon Enzo.
"Aku ... nggak bisa masuk."
"..."
Setelah berhasil masuk komplek, Laticia mengikuti petunjuk Enzo memasukkan kode lift dan tiba di lantai tempat pria itu tinggal. Satu lantai satu unit, tingkat keamanannya terlalu tinggi!
Saat pintu terbuka, Laticia hanya merasa dirinya ditarik oleh kekuatan yang besar. Dia belum sempat melihat dengan jelas, tapi sudah ditekan ke pintu dan dicium dengan kasar.
Pria ini kesurupan apa!
Ciuman yang membabi-buta membuatnya sulit membedakan mana nyata dan mana tidak. Di bawah kekuatan mutlak seperti itu, perlawanannya hanya sia-sia, bahkan justru semakin memancing hasrat pria itu.
Kedua tangannya dikunci paksa di atas kepala dan dia hanya bisa menerima kekasarannya.
Tubuh pria itu masih menyisakan hawa dingin setelah mandi. Aroma mint di dalam mulut pria itu memenuhi semua indranya. Laticia ingin menyuruhnya berhenti sebentar, tapi tidak bisa berkata sepatah kata pun.
Tetesan air dari ujung rambut pria itu jatuh di tulang selangkanya yang terbuka akibat pakaian yang ditarik kasar. Rasa dingin itu membuatnya tidak nyaman, dia langsung pun menggigit bibir pria itu dengan kuat.
"Sehari nggak ketemu, sudah belajar menggigit ya!"
Enzo menekan bibir tipisnya, sorot matanya penuh hawa dingin.
Laticia menatap pria yang sangat tidak masuk akal itu sampai mengerutkan bahunya. Wajah setampan itu benar-benar sia-sia, tabiatnya seperti bandit saja. Matanya dipenuhi ketakutan dan terus menghindar. Dia bahkan tidak berani menatapnya langsung.
"Kamu, kamu menyuruhku datang ... paling nggak kasih aku waktu buat menyesuaikan diri dulu ." Dia mengusap pergelangan tangannya yang memerah, suaranya kecil dan bergetar seperti benang tipis tertiup angin.
Dia baru datang langsung begitu kasar, siapa yang tahan!
Enzo menjilat bibir bawahnya yang robek akibat gigitannya. Rasa manis darah langsung menyebar.
Dia mencengkeram pinggang lembutnya dan meremasnya dengan kuat. Lalu dia berkata sambil memelankan suaranya, "Kalau begitu menyesuaikan dirinya di kasur saja."
"Eh ... eh ... eh!"
Detik berikutnya, dia mengangkat tubuh Laticia secara vertikal.
Enzo begitu tinggi, membuat Laticia ketakutan dan refleks memeluk lehernya dengan erat!
Namun, sebelum ketakutan itu hilang, dia sudah dibanting ke kasur.
"Tuan, tuan, aku bahkan belum tahu namamu!"
"Bukan, kamu tunggu dulu, aku ...."
...
Entah kapan matahari terbit, Laticia terbangun.
Dari kamar mandi terdengar suara air. Dia menyeret tubuhnya dan satu per satu mengumpulkan pakaian yang berserakan di lantai.
Baju yang dia lepaskan sendiri berbeda dengan yang dilepas olehnya. Baju yang dilepas pria itu sudah sobek!
Dia buru-buru merapikan pakaiannya. Baru pada saat inilah dia melihat dekorasi rumah itu dengan jelas.
Warna hitam, putih, dan abu-abu. Minimalis tapi terlalu monoton. Hampir tidak ada barang-barang pribadi, bahkan tidak ada foto satu pun. Dingin seperti rumah contoh.
Laticia mendengar suara air semakin mengecil dari kamar mandi. Lalu dia memberanikan diri berkata, "Tuan, itu ... aku pergi dulu?"
Suara rendah segera terdengar dari sana. "Memangnya harus aku antar?"
"..."
Laticia merasa malu dan buru-buru keluar dari kamar.
Saat menghirup udara segar di luar, akhirnya dia menarik napas lega. Utang ini ... akhirnya lunas!
Dia sudah bebas!
Dia kembali ke asrama, mandi, dan makan sedikit. Lalu mulai mencari info sewa rumah di berbagai situs.
Meskipun pekerjaannya belum ketemu, tapi dia juga tidak bisa tinggal di asrama kampus terlalu lama. Jadi harus cari tempat tinggal dulu.
Anehnya, meski nilainya selalu tinggi, bahkan punya beberapa rancangan desain yang pernah menang penghargaan, tapi dia tetap tidak bisa menemukan pekerjaan.
Lamaran yang dia kirim semuanya tidak ada kabar. Perusahaan yang dikenalkan dosen pun tidak lolos dari masa magang. Banyak teman yang kemampuannya jauh di bawahnya sudah mendapat pekerjaan, hanya dia yang masih tidak punya kepastian.
Hal itu membuatnya bingung, tidak tahu di mana letak kesalahannya.
Dia berbaring di kasur hampir sepanjang pagi. Rumah belum ketemu, badannya malah semakin tidak nyaman.
Sampai keesokan hari pun, tubuhnya masih tidak enak.
Tidak ada orang di asramanya, jadi Laticia menyeret tubuhnya yang lemas turun untuk ke kantin. Namun belum sempat keluar pintu asrama, pandangannya tiba-tiba gelap dan dia pingsan di tangga.
Mahasiswa di sekitarnya kaget. Beberapa teman sekelas buru-buru mengangkat dan membawanya ke rumah sakit.
Tangga rumah sakit.
Enzo baru saja menyelesaikan operasi bibir sumbing. Dia sudah ganti baju dan bersandar di tangga sambil merokok. Albert duduk di tangga sambil makan roti.
"Tuan Muda Albert, kamu dokter bedah plastik, kenapa malah makan roti? Memangnya departemen kalian sesibuk itu sampai nggak sempat makan siang!"
Albert menghela napas pelan. "Ah, pagi ini datang seorang gadis yang disiram cairan asam sulfat sampai wajahnya hancur. Lukanya lumayan parah. Katanya dia utang dengan rentenir, nggak punya uang buat bayar, jadi disakiti! Setelah selesai memeriksanya, aku langsung datang melakukan operasi ini. Aku mana sempat makan!"
"Tapi operasi bibir sumbing hari ini, kita bekerja sama dengan baik. Ada kamu si dewa departemen gigi, ditambah aku sang master bedah plastik, anak itu pasti bisa pulih sampai nggak kelihatan bekasnya!"
Gerakan tangan Enzo yang sedang merokok berhenti. Alisnya sedikit berkerut. Dia spontan menangkap dua kata dari kalimat itu, bayar utang.
Dia sangat akrab dengan kedua kata itu!
Albert masih makan rotinya sambil berkata dengan sayang, "Ah, gadis yang datang pagi tadi sangat kasihan. Wajah yang rusak karena asam sulfat susah dipulihkan. Gadis muda zaman sekarang, nggak punya uang malah pinjam dengan rentenir, juga ada pinjaman kampus. Para rentenir itu sangat mudah mempermainkan mereka."
"Hei, hei, kamu mau ke mana?"
Enzo menginjak puntung rokok dan berkata dingin. "Makan rotimu saja."
Albert menarik lengannya. "Nanti setelah pulang kerja mau keluar minum? Katanya ada beberapa gadis cantik yang datang, kita pergi lihat?"
"Nggak ada waktu."
"Kamu jadi biksu saja!" Albert bergumam pada punggungnya yang menjauh.
Dokter gigi yang dingin dan sulit didekati itu, sudah lama dia coba rayu, tapi tetap saja tidak berhasil membuatnya kembali ke dunia fana!
Begitu keluar dari tangga, Enzo melihat sosok yang familier sedang dipapah beberapa orang. Alisnya berkerut. Dia memakai masker dan mengikuti mereka.
Belum sampai dua menit, dia kembali ke tangga lagi.
"Jangan makan lagi. Tolong telepon cari dokter wanita!"
"Eh, roti aku!"
Di sisi lain.
Laticia sudah siuman.
Dia berbohong bilang dirinya sakit haid dan mendaftar ke dokter kandungan.
"Bukankah waktu itu kamu juga pingsan karena sakit haid? Sekarang sudah ke sini, sekalian periksa saja!"
Ucapan penuh perhatian temannya terdengar di telinga dan Laticia mengangguk dengan canggung. Sebenarnya dia tidak mau ke rumah sakit, karena merasa kejadian itu sangat memalukan. Dia tidak ingin orang lain tahu.
Dia ingin menyimpan semuanya sendiri, tapi dia tidak menyangka akan pingsan, lalu dibawa ke rumah sakit.
Teman-temannya terus mendesaknya masuk, kalau tidak, mereka akan ikut masuk juga. Akhirnya, Laticia masuk ruang pemeriksaan.
"Dokter, aku ...."
"Berbaring di ranjang, aku periksa dulu."
"..."