Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 5

Sekarang Laticia merasa sedikit takut dengan kata "berbaring di ranjang". Dia menggenggam tali ranselnya dan ragu-ragu untuk maju. Wajahnya pun langsung memerah. Dokter sedang memakai sarung tangan. Saat melihat Laticia diam saja, dia menatapnya sebentar. Kaos putih longgar, jeans yang sudah pudar warnanya, ransel di punggung, bibir yang terkatup rapat, wajah canggung dan gelisah. Dokter pun langsung paham. "Masuk saja, aku juga wanita dan di sini hanya ada aku. Kamu sudah dewasa, hal seperti itu normal. Aku hanya periksa sebentar saja." Nada suara lembut dokter itu seperti sinar matahari hangat yang masuk ke hati Laticia. Dia menyingkirkan kegelisahannya, melepas pakaian dan bekerja sama dengan pemeriksaan dokter. Begitu tirai dibuka, wajah Laticia memerah seperti akan meneteskan darah. Dia buru-buru merapikan pakaiannya. Dokter menulis di rekam medis sambil terus menasihati. Laticia tidak berani membantah sepatah kata pun, hanya mendengarkan dengan canggung. "Lain kali harus lebih hati-hati. Aku kasih salep. Jangan makan pedas." "Beri tahu pacarmu, segala sesuatu nggak boleh kebanyakan. Dia benar-benar nggak menyayangimu." Laticia menggenggam tali ranselnya dengan erat dan mengangguk malu. Ucapan itu benar-benar tidak sanggup dia dengar. "Terima kasih, Dokter." Saat Laticia sampai di pintu, dokter di belakang tiba-tiba meninggikan suara. "Seminggu nggak boleh berhubungan. Ingat ya! Ambil obatnya!" "..." Laticia mengangguk cepat dan buru-buru kabur. Setelah dia pergi, dokter itu langsung menelepon. "Aku sudah memeriksanya sendiri, nggak parah. Siapa sebenarnya gadis itu?" Dirinya yang merupakan kepala ginekologi harus keluar dari ruangannya hanya untuk memeriksa gadis itu secara pribadi! "Oh ya, siapa sebenarnya gadis itu?" Setelah mendengarnya, Albert mengerutkan alis. Dia bersandar di pagar, menoleh dan melihat wajah kelam Enzo. "Cepat katakan! Siapa dia? Kamu bilang ada batasan antara pria dan wanita, aku sampai memanggil istri guruku untuk memeriksanya!" Mata dalam Enzo tertunduk, menatap sosok itu yang sedang mengambil obat di bawah dan ekspresinya agak rumit. Dia tadi secara tak sengaja melihatnya mendaftar dan baru tahu kalau dirinya sudah melukainya. "Bukan siapa-siapa. Simpan rasa penasaranmu. Tutup mulut." "..." Albert mendongak dan tampak paham. "Oh ... aku mengerti. Dokter Enzo yang sudah bertahun-tahun hidup selayaknya biksu akhirnya nggak tahan juga dan melukai gadis itu!" Enzo tidak menghiraukannya. Dia membuka kancing lengan bajunya, memperlihatkan bekas gigitan merah. Harus diakui, gigi gadis itu cukup rapi. Tapi gigitannya lumayan keras dan hampir robek kulitnya. Dia bahkan merasa lucu saat melihatnya. Kelinci kecil itu benar-benar akan menggigit kalau terdesak! "Wah ... apa itu! Dokter Enzo, permainannya ... hehe ... cukup variatif juga! Cepat keringkan jangan sampai infeksi!" Albert melihat bekas gigitan itu, sudut bibirnya penuh ejekan. "Pantas saja menolak keluar minum denganku malam ini. Ternyata ada gadis cantik di rumah!" Yang satu ambil obat karena terluka, sedangkan satunya digigit separah ini. Situasi apa ini! "Ini ... karya." Enzo mendengus dingin. Gadis itu tidak mau bertemu dengannya lagi. Dia ingin membayar semua utangnya dalam satu malam. Namun dirinya bahkan tidak mampu menolak gadis itu. Kelinci kecil tidak patih, dia tidak suka. Mata hitamnya menatap sosok di lantai bawah dan mengeluarkan aura suram. Walau tidak suka, tapi kalau mau kabur itu tidak mungkin. Dia sendiri yang mengantarkan diri dan dia belum puas! Dia menyentuh bekas gigitan itu, sudut bibirnya sedikit melengkung. Dia harus mengubah kebiasaan menggigit itu. "Karya?" Albert berdiri tegak, menunjuk sosok di lantai bawah yang hampir ditembus tatapan Enzo. Dia bertanya, "Jadi, itu siapa?" "Penulis!" Enzo berbalik dan pergi. Seluruh tubuhnya memancarkan sedikit hawa dingin, bahkan udara di sekitarnya ikut menjadi lebih dingin. "Penulis?" Albert bergumam pelan. Gila, gadis ini berani juga. Dia ingin tahu lebih lanjut! Dia masih penasaran, jadi mengejarnya sambil bertanya, "Aku rasa karyamu bagus, kenapa kalian membuatnya? Coba ceritakan!" "Bagaimana dengan prosesnya? Ah, cepat katakan!" "Cepat kembali ke departemenmu!" "..." Membosankan! "Hachii!" Laticia tiba–tiba bersin, lalu menoleh melihat ke lantai atas. Sejak tadi dia merasa punggungnya dingin, seperti ada orang yang memerhatikannya. Tapi lantai atas kosong, tidak ada siapa pun. Dia melanjutkan antre untuk mengambil obat. Karena dirinya tidak apa–apa, dia menyuruh teman–temannya pulang duluan. Apalagi hari ini harus foto kelulusan, tidak baik mengganggu waktu orang lain. Selesai mengambil obat dan hendak pergi, pergelangan tangan Laticia tiba-tiba ditarik kekuatan besar dan diseret ke tangga. "Kenapa kamu ada di sini?" Dia menatap Enzo yang memakai pakaian santai dengan mata membelalak. Astaga, dia bahkan bertemu dengannya di rumah sakit! "Bukan urusanmu." Enzo tetap dingin dan tidak ramah. "Harusnya aku yang tanya kenapa kamu di sini? Terluka? Rapuh sekali? Rawat inap saja, jangan menyalahkan aku kalau kamu mati! Ayo, aku antar kamu urus rawat inap!" "Ra ... rawat inap?" Laticia terkejut sampai matanya melebar. Dia tidak mau rawat inap, itu memalukan sekali. Namun Enzo menariknya dengan sikap dominan dan dalam waktu singkat proses administrasi rawat inap sudah selesai. Laticia tidak tahu kenapa pria itu bisa muncul di rumah sakit. Dia hanya tahu dirinya harus segera kembali ke kampus untuk foto kelulusan. Dia tidak mau rawat inap dan tidak ingin kondisi tubuhnya diketahui banyak orang. Dia lebih rela menyimpan semua ini sendiri, seolah tidak pernah terjadi apa pun. Jadi saat perawat lengah, dia berdalih keluar membeli sesuatu dan kabur kembali ke kampus. Saat pulang kerja di malam hari, Enzo menemukan banyak panggilan tidak terjawab, semuanya dari telepon rumah sakit. Hatinya muncul firasat buruk. Benar saja, setelah dikonfirmasi, perawat bilang Laticia pergi dan tidak kembali lagi. Dia kabur! Tatapannya membeku, dia mengambil ponsel dan menelepon nomor yang dia simpan diam-diam saat Laticia tertidur, tapi yang terdengar malah suara dingin mesin otomatis. "..." Dia diblokir. Sial! Rasa frustrasi semakin menumpuk, seperti memecah kepalanya. Enzo mengangguk pelan dan mendengus. "Bagus, kamu tunggu saja!" Kewarasan di siang hari sering karam saat malam tiba. Sebuah mobil Mercedes Benz G-Class hitam menerobos sunyi malam. Jendela mobil diturunkan, menampakkan sisi wajah tampan pria itu yang dingin, namun dipenuhi amarah. Klub malam. Laticia membawa nampan keluar dari ruang VIP. Dia memutar lehernya yang pegal sambil berkata pada seniornya. "Kak, gaji paruh waktu bisa dibayarkan dulu nggak? Aku belum dapat kerja dan akhir–akhir ini aku nggak punya uang." "Bisa, kamu tunggu sebentar di sini. Aku pergi urus pembayarannya!" "Terima kasih, Kak!" Laticia berdiri di depan kasir sambil menunggu, suasana hatinya suram. Satu wawancara lagi gagal. Dia tidak mengerti kenapa dirinya yang berprestasi tetap tidak mendapat pekerjaan sampai sekarang. "Laticia? Ck, ck ... ternyata kamu kerja di sini setelah putus denganku?" Sebuah suara yang tidak ramah terdengar. Laticia menoleh dan melihat mantan pacarnya yang hanya dia pacari selama sebulan, Ardo Ludam! "Kenapa kamu ada di sini? Eh, kenapa kamu menarikku! Lepaskan!" Ardo menyeretnya ke toilet dan menekan tubuhnya dengan kuat ke dinding.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.