Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Namun dia tetap bersikeras. "Maaf, Pak. Kalau nggak ada janji temu, kamu tetap harus menunggu di sini. Silakan titipkan barangnya di sini, nanti akan aku sampaikan ke Bu Yunita." Aku menatapnya sambil berpikir. Bagaimana kalau dia diam-diam mengambil makanan itu? Akhirnya aku menghela napas. Sudahlah, lebih baik aku telepon Yunita saja. Aku pun menelepon. Butuh waktu cukup lama sebelum akhirnya tersambung. [Hai ... Sayang, ada apa?] Suara Yunita terdengar agak terburu-buru, bahkan disertai napas yang terengah pelan. Yang lebih mengejutkan, samar-samar terdengar juga suara desahan pelan seorang pria di dekatnya. "Yunita, aku bawakan makan malam untukmu. Kamu di mana? Biar aku ke atas menemuimu," kataku dengan cemas dan nada tergesa. "Nggak usah, Sayang. Aku sedang agak sibuk sekarang. Kamu titipkan saja makanannya ke satpam, nanti aku turun untuk ambil," Yunita menjawab dengan cepat lalu buru-buru menutup teleponnya. Biasanya, aku selalu menuruti keinginannya. Tapi kali ini, ada firasat buruk yang membuatku bersikeras ingin bertemu dengannya langsung. Aku menunggu cukup lama, hingga akhirnya kulihat Yunita keluar dengan langkah yang goyah. Wajahnya sedikit memerah, rambutnya berantakan, dan sorot matanya tampak kosong seolah baru saja dimanjakan oleh seorang pria dengan begitu intens. Saat dia menerima kotak makan dari tanganku, aku ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Namun Yunita langsung membalikkan badan dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dari tubuh Yunita, aku mencium aroma yang aneh. Bukan hanya bau keringat, tapi juga aroma yang sangat dikenal oleh setiap pria. Aroma yang membuat hatiku langsung terasa berat. Berbagai bayangan buruk yang sebelumnya sempat terlintas di benakku seolah kini mendapat pembenaran. Namun tempat ini terlalu ramai, bukan tempat yang tepat untuk membicarakan hal semacam itu. Akhirnya aku hanya duduk di depan pintu, menunggu Yunita selesai bekerja. Satu per satu pria keluar dari dalam gedung. Wajah mereka tampak sangat puas. Mereka semua ternyata adalah pelanggan kamar nomor 7. Dan saat keluar, mereka masih sempat bercanda satu sama lain. "Nggak disangka pelayanannya sebagus itu, bahkan bisa dilakukan sambil berlutut. Benar-benar memuaskan!" "Aku pasti akan datang lagi. Tempat ini luar biasa!" "Betul sekali. Kalau bisa, aku ingin tinggal di sini!" Perkataan mereka semakin lama semakin tidak senonoh. Kecurigaan dalam benakku pun kian menguat. Aku tak bisa menahan diri untuk mendekat dan bertanya langsung kepada mereka. Namun saat aku bertanya, mereka tiba-tiba berubah menjadi sangat berhati-hati. Sikap mereka seperti menyembunyikan sesuatu, dan tak satu pun dari mereka bersedia menjelaskan lebih lanjut. Setelah jam sepuluh malam, Yunita akhirnya selesai bekerja. Langkah kakinya terlihat goyah, dan dia hanya membawa tas selempang kecil di pundaknya. Melihat aku masih menunggunya di sana, dia tampak agak terkejut. "Angga, kamu belum pulang? Ini sudah larut, cepat pulanglah." Suaranya terdengar lelah. Dalam cahaya bulan dan lampu jalan, aku melihat pipinya memerah, dan kulitnya tampak lebih lembut dari biasanya. Aku menyentuh dahinya, dan dahinya sedikit hangat. "Kenapa kamu baru selesai kerja? Ada apa? Terjadi sesuatu?" Sebenarnya aku ingin menanyakan semuanya. Namun, melihat raut wajahnya yang lelah, kata-kata yang keluar justru dipenuhi kekhawatiran. "Nggak apa-apa, Sayang. Hari ini relawan yang datang agak banyak, jadi aku agak lelah." Suara Yunita terdengar lembut, bahkan sedikit manja. "Kamu … kamu hari ini ngapain aja? Kamu kelihatan agak berbeda," tanyaku dengan hati-hati. "Nggak kok, cuma … " Dia terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Sayang, hari ini aku seharian berlutut, lututku sakit sekali. Bisa nggak kamu gendong aku pulang?" Mendengar permintaannya yang lembut dan manja, hatiku langsung luluh. Tanpa berpikir panjang, aku pun menggendongnya menuju tempat parkir. Pergelangan tangan yang mungil melingkar di leherku, sementara telapak tanganku menopang bokongnya yang menggairahkan dengan lembut. Sentuhan panas itu membuat jantungku berdegup kencang, dan tanpa sadar, aku mendekat dan mencium bibirnya yang lembut. "Sayang, tadi kamu makan apa? Kok wajahmu terlihat sehat dan segar sekali." Aku bertanya dengan penasaran, karena ada aroma khas yang tercium dari dirinya. Dia tersenyum lembut dan berkata, "Aku cuma minum susu di kantor. Ada sedikit bau amis, tapi rasanya cukup enak. Hari ini aku nggak terlalu lapar, jadi nggak makan banyak." Aku pun bertanya lagi, "Cuma itu saja? Apa pekerjaanmu akhir-akhir ini? Sepertinya agak rahasia ya." Aku ingin tahu lebih banyak soal pekerjaan istriku dan apa saja yang dia lakukan setiap hari. Dia dengan genit mengedipkan mata, lalu berbisik, "Aku bertugas mengantar para relawan masuk ke ruang peralatan, kemudian memutar beberapa video untuk mereka. Nggak ada yang istimewa, cuma pekerjaan biasa saja." Namun, dia terlihat agak menghindar dan tidak menjelaskan secara detail. Hal itu membuatku curiga dia menyimpan sebuah rahasia. Aku memeluknya dengan lembut dan mendekatkan wajahku ke telinganya. "Yunita, jangan pernah berbohong padaku. Aku benar-benar sangat mencintaimu." Suaraku menjadi sedikit terburu-buru dan tanpa sadar meninggi. Dengan sedikit bersemangat, dia berkata, "Aku melakukan pekerjaan yang mulia dan sakral, kalau kamu nggak percaya ya sudah! Aku mau mandi dulu." Setelah itu, dia berbalik dan masuk ke kamar mandi, meninggalkanku terdiam sendirian. Kata-kataku barusan membuatnya tidak senang. Dia bersikeras agar aku tidur di sofa ruang tamu dan tidak mengizinkanku tidur bersamanya. Aku berbaring di sofa, menatap langit-langit, pikiranku melayang ke mana-mana. Rasanya Yunita agak aneh belakangan ini, seolah menyimpan suatu rahasia. Menjelang dini hari, aku diam-diam kembali ke kamar tidur, berniat memeriksa ponsel istriku secara diam-diam. Siapa tahu aku bisa menemukan petunjuk. Namun, aku terkejut. Ternyata dia sudah mengganti kata sandi ponselnya.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.