Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Misteri KematiankuMisteri Kematianku
Oleh: Webfic

Bab 476

Aku menatap Davin, menanti jawabannya. Dia pun menoleh, lalu balas mengunci tatapanku. Tidak ada satu pun dari kami yang berniat memecah keheningan ini lebih dahulu. Beberapa saat kemudian, Davin akhirnya menunjuk wanita berbaju putih di lantai atas. "Aku akan membawa Shani." Jari Davin menunjuk wanita di lantai atas, tetapi pandangannya tidak lepas dariku. Mataku mulai berkaca-kaca, kakiku terpaku di tempat. Lidahku kelu, kehilangan kata-kata. Natasha melirikku, melayangkan tatapan puas dan percaya diri seakan-akan dia sudah memperkirakan hasil ini. "Sebagai ibu biologismu, aku punya hak untuk membawa dan memastikan kamu dapat pemeriksaan kesehatan mental." Aku saling bertatapan dengan Natasha lama sebelum akhirnya aku membuka mulut. "Heh ... " Sementara itu, Yesa dan Ben saling melirik dengan ekspresi bertanya-tanya, sama sekali tidak bisa mencerna situasi yang sedang terjadi sekarang ini. "Ada apa sebenarnya? Sanny, kenapa kamu setuju-setuju saja?" Mulutku terkunci rapat dan memilih untuk tidak menjelaskan apa-apa. Yang kutahu, Natasha sudah bilang kalau aku mau berkorban, organisasi akan melepaskan Davin dan membiarkannya terus hidup ... Kalau harus memilih, maka aku berharap Davin, suamiku, bisa menjalani sisa hidupnya dengan tenang dan bahagia. Pilihannya untuk bersama wanita di lantai atas itu sama sekali tidak salah. Organisasi ingin mengambil kembali subjek eksperimen yang cacat dan akulah subjek eksperimen yang paling berharga di antara produk-produk mereka, jadi ... mereka akan membawaku kembali. Faktanya, pergi bersama Natasha memang merupakan cara tercepat untuk bertemu dengan orang-orang penting organisasi ini. "Satu untuk satu. Pertukaran setara. Dia sudah memilih Shani," kataku dengan suara lirih. Tenggorokanku tercekat berusaha menahan tangis. Yoga menatap Davin dengan intens, lama sekali. Beberapa saat kemudian, barulah dia bertanya memastikan, "Kamu yakin?" Tanpa berpikir dua kali, Davin melepaskan tangan Yoga. "Dia benar-benar Shani ... " Yoga menunjuk ke arahku, masih mencoba memahami isi kepala Davin. "Lalu bagaimana dengan dia?" "Dia cuma Sanny yang punya sebagian ingatan Shani," jawab Davin dengan suara serak. Pandangannya beralih ke tempat lain, seolah sengaja menghindari tatapanku. Aku pun memalingkan wajah darinya, lalu tertawa sinis. "Jadi, yang kamu cintai sampai detik ini adalah Shani yang dingin dan tanpa perasaan?" Dengan kepala tertunduk, hanya satu kata yang mampu lolos dari mulut Davin. "Maaf ... " "Nggak perlu." Aku mengedikkan bahu dengan acuh tak acuh. "Kalau tadi kamu nggak bisa memilih, aku yang akan memilih begini. Aku cuma berharap kamu bisa hidup bahagia." Hidup bahagia ... Itu adalah harapan tulus Davin untuk Shani. Sekarang, aku mengerti perasaannya. Aku juga berharap dengan tulus Davin bisa menjalani sisa hidupnya dengan bahagia ... Hidup dengan tenang dan damai. Shani yang sedari tadi berdiri di lantai atas akhirnya melangkah turun sambil menatapku dengan dingin. Dia menyeringai sinis ke arahku, seolah bisa merasakan bahwa kami berasal dari gen yang sama. "Cuma produk cacat begini … " Saat melewatiku, wanita itu membisikkan sesuatu yang hanya bisa didengar kami berdua. Produk cacat, katanya. Di antara semua kata yang ada di dunia ini, dia memilih dua kata itu setelah melihatku dari dekat. "Produk yang punya perasaan adalah produk yang penuh kelemahan dan cacat. Organisasi terus melakukan eksperimen pada kita. Kita baru bisa menipu semua orang kalau kita bisa menipu diri sendiri. Jadi, Sanny ... apa kamu benar-benar punya perasaan atau semua drama ini cuma tipu muslihat?" Wanita itu mendekat, berbisik di telingaku. Aku diam seribu bahasa, hanya menoleh untuk menatapnya lekat-lekat. Melihat responsku, dia menyeringai sinis, lalu berjalan ke hadapan Davin dan bertanya, "Nggak apa-apa melepaskan dia?" Davin menggenggam tangannya dengan penuh kasih sayang. "Maaf. Seharusnya aku bisa menemukanmu lebih cepat." "Nggak masalah. Asalkan aku bisa bersembunyi, nggak ada bedanya ikut denganmu atau orang lain," tanggap 'Shani' dengan dingin. Jari-jari Davin berkedut kaku mendengar tanggapannya. Namun, dia tetap pada keputusannya untuk membawa wanita itu bersamanya. Yoga mengernyit seolah memikirkan sesuatu. Mulutnya hampir terbuka, tetapi tidak jadi seolah menelan kembali kata-kata yang hampir terlontar dari mulutnya. Di sisi lain, Ben sama sekali tidak mengerti apa-apa. Namun, dia tetap berbalik ke arahku dan menawarkan solusi sementara. "Sanny, kamu ikut aku pulang dulu." Ketika aku baru saja maju satu langkah, Natasha tiba-tiba mengulurkan tangan, menahan langkahku. Dia tersenyum anggun, lalu segera menurunkan tangannya ketika melihat aku berhenti. "Aku akan tetap di sini. Kutunggu kabar baiknya." Dinilai dari nada bicaranya, sepertinya dia sangat yakin aku akan segera kembali ke sini untuk mencarinya. Berhubung Davin sudah memutuskan untuk membawa Shani, tidak mungkin Natasha akan membiarkanku tetap di sisi Davin.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.