Bab 484
Kali ini, seseorang telah membayar mahal untuk mengajukan pertanyaan kepada organisasi.
Jelas, orang yang mengajukan pertanyaan itu sedang mencemoohku ...
Di mata mereka, alat pendeteksi kebohongan itu masih kurang kejam. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk menggunakan metode yang lebih ekstrem.
Dokter itu menyeringai senang. Dia langsung meraih sebuah suntikan dari rak penyimpanan di dekatnya. "Kamu akan menjadi bukti keefektifan obat yang zatnya masih murni ini. Si pembuat pertanyaan sendiri yang menyediakan serum kebenaran ini. Semua prosesnya jelas dan sudah melalui pengecekan dari organisasi."
Dengan sekuat tenaga, aku berusaha membebaskan pergelangan tanganku dari borgol. Aku mendengus ketika aku mendengar tentang serum kebenaran. Ini adalah obat yang dibuat untuk melemahkan kemampuan seseorang dalam berpikir jernih dan membuat keputusan yang rasional. Sederhananya, obat ini sama seperti obat penenang, tetapi lebih kuat.
Tatapan mataku terpaku pada layar, sementara dadaku mengembang seiring dengan tarikan napasku yang dalam.
Ujung jariku mengetuk-ngetuk sandaran kursi secara refleks, tanda bahwa pikiran dan tubuhku sedang gelisah.
Entah apakah Davin dan Yoga akan menonton siaran langsung tes ini. Aku sendiri juga tidak yakin.
"Uh … " Aku meringis sakit ketika jarum suntik berisi obat itu ke menusuk tubuhku. Dokter itu melakukannya tanpa memberi peringatan.
Obat ini bekerja sangat cepat. Hanya dalam hitungan detik setelah obat itu mengalir ke dalam aliran darah, orang yang disuntikkan akan langsung pingsan.
Otak akan berhenti bekerja secara normal dan tidak mampu lagi memproses informasi dengan baik.
"Siapa yang menyuruhmu untuk menyamar sebagai Shani? Siapa pula yang memberikan ide kepadamu untuk mencontoh gaya Shani?" Pertanyaan dari seorang pemodal muncul di layar.
Dokter menjambak rambutku, memaksaku untuk memberikan jawaban.
Aku menyadari bahwa saat ini semua iblis di luar sedang menonton. Di antara semuanya, yang paling berharap bahwa aku memang Shani yang asli adalah para anggota organisasi.
Aku sendiri pun bertekad bahwa aku memang Shani ...
Kalau aku tidak menjadi Shani, aku tidak akan dianggap penting lagi oleh mereka. Kalau aku tidak memiliki nilai guna, konsekuensinya adalah organisasi akan langsung mendepakku atau malah langsung menghabisiku.
Oleh karena itu, aku tetap harus mempertahankan identitasku sebagai Shani.
Naluri untuk mempertahankan nyawa mendorongku untuk terus berjuang. Namun, pikiranku terasa buntu dan kacau. Jawaban demi jawaban lolos begitu saja dari bibirku tanpa kusadari.
Suara bip mekanis yang keras terdengar memekakkan telinga. Pada akhirnya, kesadaranku perlahan-lahan mulai menghilang.
Saat aku kembali membuka mata, aku mendapati diriku terperangkap di dalam sebuah ruang eksperimen lain yang menyerupai ruang kaca.
Ruangan ini terdapat deretan laboratorium dengan dinding kaca bening. Tiap-tiap ruangan itu diisi oleh berbagai subjek eksperimen untuk tujuan penelitian.
Kami bagaikan hewan percobaan yang dikurung di laboratorium untuk diamati.
Aku mencoba menghantamkan tanganku ke dinding kaca bening dengan sekuat tenaga. Dengan ekspresi penuh kemarahan, aku mengedarkan tatapanku ke segala arah.
Setelah disuntikkan serum kebenaran, aku sama sekali tidak ingat berapa banyak pertanyaan yang mereka ajukan. Aku juga tidak ingat jawaban apa saja yang aku berikan kepada mereka ...
Jika seandainya aku bukan Shani, apa saat ini penyamaranku telah ketahuan?
Ketakutan mulai menyelimuti hatiku, membuatku refleks menggigit ujung jariku sambil terduduk di atas ranjang.
Tidak lama kemudian, aku kembali tenang dan mampu berpikir jernih. Kalau aku memang sudah dianggap tidak penting, tidak mungkin mereka tetap mengurungku di ruangan ini.
Ting! Ting! Ting! Tiba-tiba, sebuah bel berbunyi di ruang eksperimen yang mirip ruang kaca ini.
Aku mengamati sekitarku dengan heran. Tiba-tiba, orang-orang dengan baju pasien berwarna putih di ruang kaca bening berdiri serempak. Mereka tampak sangat patuh, seolah-olah telah diprogram untuk mengikuti setiap perintah. Misalnya saat ini, ketika bel berbunyi, mereka tampak menanti untuk diberi makanan.
Aku langsung tak bisa menahan ekspresi geramku. Mereka melatih subjek percobaan seperti hewan peliharaan. Mereka benar-benar tidak memperlakukan subjek eksperimen layaknya manusia.
Aku menghitung ruang kaca bening di kabin ini. Selain aku, terdapat delapan subjek eksperimen. Mereka terdiri dari tiga pria dan lima wanita.
Dua dari subjek percobaan wanita memiliki perut yang buncit. Kemungkinan besar, kedua wanita itu sedang mengandung janin yang akan menjadi subjek eksperimen baru.
Tiba-tiba, aku mendengar ada yang membuka pintu. Dokter yang mengetesku tadi memasuki ruangan bersama seorang petugas. Petugas yang mengenakan pakaian pelindung itu tampak membawa kereta makanan.
Petugas itu meletakkan makanan di ruang kaca bening. Setelah selesai, dia beranjak ke tempat lain.
Saat tiba giliran ruanganku yang mendapat jatah, petugas itu hendak bersiap meletakkan makanan. Namun, dokter yang tadi menyuntikkan obat sudah lebih dulu menghentikan langkah petugas itu.
Tepat di hadapanku, dokter itu melempar seluruh jatah makanku ke tempat sampah.