Bab 485
"Subjek eksperimen Nomor 77, dari ekspresimu sepertinya kamu sangat nggak suka dengan sistem di tempat ini." Dokter ini memang orang yang pendendam.
Aku hanya menatap dokter itu dengan acuh tak acuh dan sama sekali tidak berniat menanggapinya. Di tempat ini, bahkan eksistensiku tidak dianggap cukup berharga untuk dipanggil dengan sebuah nama.
"Kamu harus lihat sendiri hasil kerja kerasku dalam menciptakan sistem ini." Tangan dokter itu terangkat saat dia mengarahkan jari telunjuknya ke ruang kaca di sampingku. Petugas mengeluarkan subjek percobaan dari salah satu ruang kaca.
Subjek percobaan yang ini merupakan seorang wanita yang sangat cantik.
Wanita itu menghampiri dokter tadi dengan langkah lunglai. Dia tak ubahnya seperti makhluk kosong tanpa jiwa.
"Cepat berlutut." Dokter itu memerintahkan dengan suara tegas, seolah-olah dia sedang mencoba mendapatkan pengakuan di tempat ini.
Tanpa keraguan sedikit pun, subjek eksperimen itu langsung berlutut di kaki dokter itu.
Dokter itu pun menyeringai dengan bangga, seakan-akan dia sedang pamer sekaligus memberiku peringatan. Niatnya jelas. Dia ingin mengancamku supaya aku mau tunduk dan mengikuti perintahnya layaknya hewan peliharaan ...
"Heh, menjijikkan sekali." Aku berkata sambil tertawa meremehkan. "Di luaran sana, orang macam kamu ini pasti menempati strata sosial yang paling rendah, ya? Kamu nggak mampu untuk dapat pengakuan dari masyarakat luar. Itu sebabnya kamu haus akan pengakuan di dalam laboratorium ini. Tahu sebutan yang cocok untuk orang-orang sepertimu? Kami menyebut orang semacam itu sebagai sampah!"
Cibiranku langsung memicu amarah dokter itu. Sambil menyeringai licik, dia memencet tombol di luar ruang kaca. "Biar kutunjukkan langsung. Di tempat ini, aku adalah orang yang paling berkuasa."
Setelah dia berkata demikian, air dingin tiba-tiba tumpah dari atas dan membasahi tubuhku.
Tidak berhenti sampai di situ, dokter itu juga menghidupkan AC di dalam ruang kaca.
Tubuhku seketika menggigil tak terkendali. Dengan amarah yang memuncak, aku pun meninju dinding kaca sekuat tenaga. Namun, tindakan ini sia-sia.
Ketika melihat hal ini, petugas tampak gugup. "Dokter Ezra, dia ... dia adalah subjek eksperimen yang telah dipesan secara khusus agar mendapatkan perawatan yang terbaik. Kalau ada apa-apa, akan sulit bagi kita untuk memberi penjelasan pada pemesan ... "
Aku merasakan suhu tubuhku turun secara drastis. Saking kebasnya, aku terjatuh ke lantai. Bahkan, aku mulai merasakan sensasi panas yang menyengat di kulitku.
Aku merasa rasa dingin di tubuhku sudah menghilang. Namun, sensasi dingin sebelumnya sekarang berubah menjadi rasa panas yang tidak terkira.
Dokter iblis itu dengan tenang menonton dari luar. Pasti dia sedang tersenyum puas dan mungkin sengaja menungguku untuk memohon belas kasihan.
"Terus pantau respons termal-nya. Selama dia masih bernyawa, biarkan dia membeku di dalam sana. Kita akan mematikan AC ketika dia sudah nggak keras kepala dan mau memohon ampun." Dokter memberikan instruksi dengan suara tegas.
"Davin ... " Ketika aku berada di ambang kematian, pikiran bawah sadarku memutar kembali adegan kenangan yang paling ingin kulihat.
Davin ...
Aku tidak boleh mati.
Aku tidak bisa membiarkan dia kehilanganku lagi. Aku tidak boleh mati!
Bip! Bip! Bip! Tiba-tiba, suara alarm berdering kencang. Aku merasa denyut jantungku menjadi tidak beraturan.
Monitor denyut jantung perlahan-lahan memperlihatkan sebuah garis datar.
Petugas yang berada di luar seketika langsung panik. Dengan kalut, dia buru-buru memencet tombol panel kontrol hingga pintu ruang kaca pun terbuka.
Dokter Ezra juga terbelalak lebar. Tampaknya, dia tidak menyangka aku memiliki tubuh selemah itu. "Cepat buka pintunya! Lakukan CPR supaya denyut jantungnya kembali. Beri dia natrium bikarbonat! Cepat!"
Mesin EKG terus berbunyi keras ketika dokter itu berlari memasuki ruang kaca. Dia mendorong petugas untuk menyingkir dari sana dan mulai melakukan CPR sendiri.
Reaksi panik dokter itu memberikan efek menenangkan untukku. Tampaknya, serum kebenaran itu tidak sampai membuatku menjadi tidak berharga lagi.
Oleh karena itu, dokter ini pasti tidak akan membiarkan aku meregang nyawa di sini.
"Ah!" Tiba-tiba, teriakan keras terdengar di dalam ruang kaca. Dalam sekejap, aku sudah membalikkan tubuh dan menindih dokter tersebut. Aku menusuk matanya dengan kedua jariku dan terus menekan ke dalam rongga matanya dengan kencang.
Dokter itu terus meronta sambil berteriak menahan sakit yang menerpa matanya. Darah segar perlahan-lahan mengalir keluar dari matanya.
Aku lantas melirik petugas yang baru saja menyusul ke ruang kaca dengan tatapan tajam dan mengancam.
"Beri tahu kepala laboratorium, aku mau menemuinya!" Aku berkata dengan nada mengintimidasi. Kalau tebakanku benar, Natasha adalah kepala laboratorium ini dan aku ingin bertemu dengannya.
Dokter yang sedang kutindih masih meronta-ronta. Namun, dia tidak memiliki keberanian lagi untuk memprovokasiku.
"Diam! Terus meronta atau aku nggak akan segan-segan untuk mencungkil matamu! Aku adalah subjek eksperimen yang paling penting dan bernilai tinggi. Kamu pasti tahu betul kalau organisasi nggak mungkin menghabisi nyawaku cuma demi seorang dokter." Aku mengancam dengan nada mengintimidasi. Setelah itu, tatapanku beralih kepada subjek eksperimen yang masih berlutut di luar, lalu berkata, "Kamu, cepat berdiri!"
Namun, dia sama sekali tidak bereaksi seolah mengabaikan kata-kataku.
Pada saat itu, tawa dokter iblis itu langsung pecah. Sambil terbahak layaknya seorang maniak, dia berkata dengan nada meremehkan, "Sudah kubilang, mereka cuma patuh pada perintahku."