Bab 496
Aku tahu betul bahwa suaraku tidak akan dapat terdengar oleh suamiku.
"Tunggu sampai semuanya selesai ... " Davin menyela sebelum aku dapat mengakhiri kalimatku.
Dia menyela dengan kata-kata yang sama persis denganku.
Aku menatapnya dengan ekspresi tercengang. Sorot mataku makin liar.
"Kalau sudah selesai, ayo kita cari sebuah pulau kecil ... " lanjutnya dengan suara lirih.
"Kita hidup berdua saja di pulau terpencil. Jauh dari siapa pun." Kepala Davin tertunduk lesu. Suaranya makin parau ketika dia mengucapkan kalimat tersebut.
Tatapanku terpaku pada Davin untuk beberapa saat. Pada akhirnya, aku membalas dengan suara lirih. "Baiklah, aku akan ikut denganmu."
…
Pada saat ini, kami tidak bisa saling menyentuh.
Padahal, jarak kami berdua sangat dekat.
Meskipun begitu, ikatan perasaan kami berdua terasa begitu nyata.
Mungkin, secara ilmiah dan medis, hal ini dapat dianggap sebagai gangguan psikologis. Namun, aku punya keyakinan bahwa roh orang yang telah tiada masih akan tetap bersama kita. Hanya saja, mereka hadir dalam wujud yang tak kasat mata.
Sekalipun hanya sebuah khayalan semu, angan-angan ini mampu menjadi sumber penghiburan di kala kesendirian.
"Shani, kamu berada di sisiku, 'kan?" Davin berbisik dengan lembut.
"Ya, aku ada di sisimu."
Aku membalasnya dengan senyuman.
Aku tahu aku tidak bisa menyentuhnya. Aku juga tahu dia tidak yakin di mana posisiku sekarang ini. Aku pun tahu dia tidak akan dapat mendengar perkataanku.
Namun, aku tetap ingin menjawab panggilan suamiku.
…
"Laboratorium itu berdiri kokoh di tengah hutan yang masih asri di Kota Yate. Lokasi ini dekat dengan perbatasan Zalatha. Tempat itu adalah area tersembunyi yang sangat terbatas aksesnya bagi masyarakat awam. Secara resmi, itu adalah resor dan kawasan wisata bagi para peneliti yang telah pensiun. Mereka menghuni bagian lantai atas, sementara tiga lantai bawah tanah untuk laboratorium."
"Natasha adalah kepala yang bertanggung jawab atas laboratorium ini. Dia mengawasi segalanya, entah urusan besar maupun kecil. Organisasi genetika punya banyak laboratorium yang tersebar di berbagai negara. Namun, kami baru bisa menemukan laboratorium yang ini. Kami pikir kami mampu melacak petunjuk untuk membongkar kebenaran di balik semua ini, tetapi sepertinya kami terlalu menganggap enteng kekuatan organisasi."
Sementara itu, Ben yang berada di luar ruang gawat darurat tampak mengeluhkan rasa sakit di kepalanya.
"Masing-masing laboratorium organisasi genetika beroperasi secara independen. Oleh karena itu, setiap laboratorium nggak saling berhubungan. Subjek percobaan mereka, peneliti, dan tenaga medis semuanya dipilih dan dilatih oleh mereka sendiri. Organisasi menculik orang-orang berbakat dengan tujuan untuk mencuci otak mereka. Kemudian, organisasi mengirim mereka ke berbagai laboratorium. Singkatnya, saat ini ada dua metode agar seluruh laboratorium dapat saling terhubung sekaligus."
Yesa menatap Ben, kemudian melanjutkan, "Metode pertama, dengan memanfaatkan Natasha. Metode kedua, dengan memanfaatkan para penyelundup manusia. Caranya, bongkar lapis demi lapis dari jaringan perdagangan manusia dan organ."
Tampaknya, demi bisa menyelamatkanku, mereka memilih untuk memperingatkan musuh. Cara ini akan menghalangi kelancaran bisnis mereka.
"Bagaimana kondisi Natasha sekarang?" tanya Ben untuk memastikan.
"Untuk sekarang ini, dia belum melewati masa kritis. Tanda-tanda vitalnya sangat lemah. Kondisi fisiknya nggak sama dengan Sanny yang punya ketahanan terhadap obat." Yesa mengedikkan bahu dengan pasrah. "Untung saja, asupan dosis obatnya nggak sampai membuat dia mati. Dokter bilang satu-satunya yang bisa kita lakukan sekarang cuma berdoa dia nggak berakhir koma."
Aku merapat ke sisi Davin duduk terkulai di lantai dengan wajah yang terlihat begitu muram. Aku pun ikut terduduk di sebelahnya, kemudian menyandarkan kepalaku di bahunya yang kokoh.
Jadi begini, ya, rasanya mencintai seseorang. Rasanya seperti ingin selalu berada di dekatnya dan tak mau berpisah meski hanya sebentar.
Hanya saat bersama Davin, aku merasa tenang dan bebas dari segala kekhawatiran.
Berbeda sekali dengan perasaanku terhadap Arya yang lebih seperti penyesuaian diri ...
Ketika pikiran ini terlintas di benakku, tatapanku seketika berubah muram lagi. Apa mungkin aku ... aku memang Shani?
Atau seluruh ingatan yang berkaitan dengan Shani di pikiranku hanyalah hasil penanaman ingatan?
Apa benar aku ini memang betul-betul Sanny? Bukan Shani?
"Ada benda ini di laboratorium ... " Titan beranjak menghampiri mereka untuk memberi tahu penemuannya. Lalu, melirik Davin dengan tatapan gugup. "Apa aku boleh bicara di sini?"
Ben mengizinkan dengan anggukan.
"Gadis kecil bernama Liora itu sudah siuman dan berhasil melewati kondisi kritis. Tubuhnya baik-baik saja. Setelah diberikan serum kebenaran, dia akhirnya menceritakan seluruh rencana Yeno dan Sanny. Bukti-bukti yang ada di sini sangat jelas. Identitas Sanny memang benar Sanny Wibowo dan Yeno-lah membuatnya berubah menjadi Shani, menyuruh dia mempelajari segala sesuatu tentang Shani. Terakhir, dia menghipnotisnya ... "
"Bisa disimpulkan, Sanny bukanlah Shani."
Titan membisikkan hasil penemuannya.
Davin hanya terdiam membisu di tempatnya. Bahkan, kepalanya tampak terus tertunduk.
Namun, kepanikan langsung menyerangku. Spontan, aku menunduk ke bawah. Rasanya terlalu takut untuk menatap mata Davin.
Sementara itu, Arya langsung menghadap ke arah mereka. Dengan langkah tegas, dia buru-buru menghampiri mereka dan langsung mengambil alih bukti yang dipegang oleh mereka. Dia memegang bukti itu dengan jari yang menegang. "Apa maksudnya ini? Penanaman ingatan, hipnosis ... "
"Itu berarti Shani yang asli sudah meninggal. Arya, kematian Shani terjadi karena keegoisan dan keangkuhanmu. Orang yang sudah meninggal mustahil untuk hidup kembali. Ternyata, cerita tentang reinkarnasi hanyalah hasil manipulasi dari Yeno. Tujuan Yeno sebenarnya adalah untuk membongkar rahasia laboratorium organisasi itu, nggak lebih." Ben menggumam dengan lirih. Setiap informasi yang terlontar dari bibirnya seolah-olah menusuk jantung Arya.