Bab 497
Arya menatap bukti-bukti itu dengan tatapan nanar. Sesaat kemudian, tawanya meledak seperti orang gila. Tangannya perlahan-lahan terkulai lemah, sampai-sampai bukti-bukti yang dia pegang pun berhamburan ke lantai.
"Kamu gila, ya?" Yesa langsung memarahi Arya. Dia buru-buru berjongkok untuk mengumpulkan bukti-bukti yang berantakan di lantai.
"Mustahil!" Arya meneriaki Yesa dengan sikap tidak terima. "Mustahil! Dia pasti Shani, dia pasti Shani!"
Yesa mengira Arya telah kehilangan kewarasannya. Akhirnya, dia memilih untuk mengabaikan saja pria itu.
Arya ambruk ke lantai dalam keadaan syok. Kedua matanya merah padam karena kesedihan.
Dia enggan menerima fakta bahwa Shani telah meninggal. Terlebih lagi, dia tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa sikap egois dan angkuhnya-lah yang telah menjadi penyebab kematian Shani.
Ketika aku menyaksikan kondisi Arya yang terpuruk, aku pun merasa dia tampak menyedihkan.
Entah apakah Shani yang dulu benar-benar menyimpan rasa cinta terhadap pria ini.
Namun, keadaannya saat ini benar-benar terlihat memprihatinkan. Aku jadi kasihan.
Perasaan cintanya baru tumbuh ketika segalanya sudah terlambat. Fatalnya, dia baru menyadari ketulusan perasaannya saat sang kekasih telah pergi.
Sret!
Tiba-tiba, pintu Ruang IGD terbuka dan seorang dokter keluar dari dalam ruangan.
Davin langsung bangkit dengan raut wajah panik. Langkahnya tergesa-gesa saat menghampiri dokter. Dia bertanya dengan suara bergetar, "Dokter ... Dokter, bagaimana keadaannya?"
"Untuk sekarang dia telah berhasil melewati masa kritis. Namun, aku masih belum bisa memastikan kapan dia akan siuman." Dokter menghela napas dengan lega. Dia kembali menjelaskan. "Untungnya, dosisnya nggak mematikan. Aku memeriksa jarum suntik yang dibawa oleh Pak Ben. Itu adalah dosis yang biasa digunakan untuk mengakhiri hidup bayi yang terlahir cacat. Namun, ini dibagi ke dua orang dewasa. Meskipun nggak sampai menyebabkan kematian, penggunaan dosis ini tetap saja sangat membahayakan nyawa. Untuk sekarang, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah terus memantau perkembangan kondisinya."
Ah, sekarang aku paham. Ternyata, suntikan eutanasia di laboratorium tersebut dimaksudkan untuk bayi yang terlahir cacat.
Terkadang, subjek percobaan yang baru terlahir ada yang tidak sesuai dengan standar organisasi. Oleh karena itu, organisasi akan mengakhiri hidup mereka dengan eutanasia dan melakukan kremasi pada jenazahnya.
Seluruh laboratorium bawah tanah adalah sarang penderitaan.
Orang-orang yang terlahir di sana kemungkinan tidak pernah berkesempatan untuk menyaksikan cahaya matahari sepanjang hidupnya.
Tidak pernah menyaksikan langit berwarna biru.
Aku tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya itu.
"Setelah kejahatan Natasha terungkap ke publik, perbuatannya pasti akan mengejutkan dunia." Yesa berkata sambil memijat pelipisnya. Dia bertanya dengan heran, "Sebenarnya, seberapa kelam sisi gelap yang dimiliki manusia?"
"Aku pernah menangani satu kasus dengan mentorku beberapa tahun lalu. Ada seorang remaja berusia tiga belas tahun mengajak teman sebayanya untuk melakukan penculikan terhadap sepasang kekasih yang sedang mendaki. Waktu itu, kamera CCTV belum secanggih sekarang. Berhubung kejadiannya terjadi di pegunungan, kami jadi kesulitan untuk melacak jejak mereka. Dalam kurun waktu setahun, sudah ada tiga pasangan muda yang hilang. Kasus itu baru terpecahkan setelah penculikan yang terjadi pada pasangan keempat. Itu pun karena si kekasih pria berjuang mati-matian untuk menahan para penculik agar si kekasih wanita berhasil kabur. Pada akhirnya, si kekasih wanita berhasil melaporkan kejahatan tersebut."
"Saat polisi tiba di TKP, sayangnya si kekasih pria sudah terbunuh. Mereka melakukan pembunuhan yang sangat keji. Perut korban dirobek dan organ-organ dalamnya dikeluarkan."
"Waktu melakukan penangkapan, para pelaku masih sempat-sempatnya bersantai di pegunungan. Ketika ditanya tentang motif perbuatan mereka, mereka cuma bilang kalau membunuh seperti itu sangat seru. Mereka membunuh cuma karena penasaran dengan isi perut manusia ... "
"Siapa pun bisa berbuat jahat, nggak peduli tua atau muda. Ada beberapa hal yang memang sudah menjadi jalan hidup kita." Ben menggumam dengan pelan.
"Setelah itu, kami berhasil menemukan mayat tiga pasangan yang diculik sebelumnya di area pegunungan tersebut. Sebagian korban disiksa dengan keji sebelum meregang nyawa. Sementara itu, yang lainnya dikubur hidup-hidup, bahkan ketiga korban wanita itu nggak luput dari tindakan pelecehan."
Rasanya sangat sulit dipercaya bahwa anak-anak seumuran mereka tega melakukan tindakan keji semacam itu.
"Sebagai tindak lanjut dari insiden tersebut, polisi setempat memberi tahu sebuah petunjuk kepada kami. Saat mereka melakukan pencarian terhadap pasangan pertama yang hilang, polisi juga menjumpai anak-anak ini di pegunungan. Kala itu, mereka menanyai anak-anak itu, tetapi mereka dengan santainya bilang kalau mereka nggak pernah bertemu dengan korban."
Tampaknya, kebaikan dan kejahatan dalam sifat manusia dipengaruhi oleh faktor genetik.
"Artinya, sifat baik atau jahat merupakan bawaan sejak lahir. Beberapa orang memang terlahir dengan sifat jahat. Hal itu nggak terkait dengan bagaimana cara mereka dididik." Aku menggumam sembari menyandarkan tubuh di dinding.
Davin dan Arya tampak berdiri mematung di pintu Ruang IGD. Mereka terus memperhatikan dokter yang sedang mendorong ranjang rumah sakit yang membawa tubuh lemahku.
"Jangan sentuh dia! Gara-gara kamu, nyawanya jadi terancam ... " Arya langsung menodong kesalahan kepada Davin.
Dia menyalahkan Davin karena membiarkanku pergi bersama Natasha.
Davin terpaku di sana dengan ekspresi muram. Dia diam, seakan-akan tidak menyangkal perkataan Arya.
Arya berjalan di belakang dokter untuk mengantar tubuhku ke bangsal.
Aku tetap berada di sisi Davin, lalu berbisik untuk menenangkan hatinya yang sedang kalut. "Davin, nggak perlu sedih. Nggak usah dengarkan omongan orang gila itu ... "
Kalau Arya memang benar-benar sepeduli itu dengan Shani, Shani tidak mungkin kehilangan nyawa waktu itu.
Aku berpindah posisi ke hadapan Davin, lalu ikut menunduk untuk mengamati ekspresi wajahnya.
Kepala Davin tertunduk lesu dan matanya tampak memerah. Aku menebak bahwa saat ini dia sedang menahan kesedihan dan perasaan bersalah yang begitu memberatkan pundaknya.
Apa dia meneteskan air mata diam-diam?
Kenapa, ya, suamiku yang tampak menyedihkan ini justru terlihat sedikit menggemaskan di mataku?
"Davin ... " Karena merasa kasihan padanya, aku mencoba merengkuhnya ke dalam pelukanku. Namun, tanganku tiba-tiba terhenti di udara, lalu perlahan jatuh seiring keputusasaan menyelimuti hatiku.
Aku tidak bisa memeluknya, karena dengan semua bukti yang ada, aku tidak bisa menyangkal lagi. Aku benar-benar Sanny, bukan Shani.