Bab 499
"Ayo, kita lihat kondisi Sanny." Ben menarik Clara untuk menjauh. Dia benar-benar khawatir emosi Clara jadi tidak stabil.
Clara membisikkan keluhannya dengan lembut. "Kamu bohong. Shani sudah bereinkarnasi, dia bangkit dari kematian ... "
Ben menghela napas pasrah. "Kamu, kan, dokter forensik. Seharusnya kamu lebih percaya pada sains."
Kelopak mata Clara merah padam. Pada akhirnya, tangisnya pun pecah. "Sains nggak bisa menjawab pertanyaanku. Bagaimana aku harus mengatasi rasa sedih akibat kepergian sahabatku ini? Aku percaya pada kehebatan sains, tetapi, jauh di lubuk hatiku, aku lebih ingin percaya kalau Shani masih ada ... "
Sains terlampau rasional dan kurang menyentuh aspek emosional manusia.
Meskipun dia percaya pada sains, sains tidak bisa mengobati luka batin akibat duka kehilangan orang tersayang.
Yesa menatap sekilas pada Davin. Kemudian, dia beranjak meninggalkan tempat itu.
Sementara semua orang menjauh, Dara tampak masih menantikan jawaban dari Davin.
Aku pun menantikan jawabannya.
"Mau nggak berwujud manusia atau mau jadi anjing sekalipun, aku nggak akan salah mengenali Shani." Setelah berkata demikian, Davin menghindari terlalu dekat dengan Dara. Suaranya terdengar penuh ketenangan, tetapi dingin dan terkesan memberi jarak.
Air di pelupuk mataku langsung terasa kering. Aku memperhatikannya dengan perasaan campur aduk. Rasanya sedih sekaligus gembira.
Kebodohannya itu benar-benar sudah tidak tertolong lagi. Saking keras kepalanya sampai tidak ada bedanya dengan orang bodoh. Aku mengatainya dengan miris. "Dasar, padahal kamu yang lebih mirip anjing setia ... "
Suaraku parau. Tanganku terulur dan hendak meraih pakaiannya. Namun, tanganku hanya menembus tubuhnya.
Tiba-tiba, suara tawa Dara terdengar mencemooh. "Aku penasaran sampai kapan kamu akan menipu dirimu sendiri."
"Laboratorium sudah terbongkar. Organisasi pasti akan menghilangkan semua jejak yang terkait dengan laboratorium, salah satunya adalah aku. Kalau aku mau tetap hidup, aku butuh perlindungan dari seseorang. Vincent ... " Dara atau Shani nomor dua kembali menghampiri Vincent. Dia kembali berkata, "Aku punya kesamaan genetik dengan Shani. Kalau kamu mencintai Shani, sudah seharusnya kamu menjaga semua yang berkaitan dengannya, termasuk aku, 'kan?"
Benar, inilah yang dinamakan cemburu. Setelah berpindah posisi ke hadapan Davin, aku berkata, "Minggir, jangan dekat-dekat!"
Namun, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku menunduk untuk mengamati tanganku sendiri. Perasaan semacam ini sungguh tidak biasa.
Saat terakhir kali rohku keluar dari tubuh, aku merasakan rasa sakit yang baru pernah aku alami. Itu seperti perasaan putus asa yang tak terkira.
Namun, saat ini aku merasakan kecemburuan dan keposesifan yang besar terhadap orang yang aku cintai.
Pada saat seperti ini, aku justru merasa tidak peduli lagi apakah aku ini memang Shani atau bukan. Asalkan Davin masih memedulikanku, aku tidak akan pernah membiarkannya bersama orang lain.
Toh, kita berdua sama-sama pengganti Shani. Kenapa aku yang harus mengalah dan melepaskan Davin?
Davin adalah milikku. Hanya milikku. Aku juga tidak pernah berniat untuk berbagi dengan siapa pun.
Kalau ada orang yang berani mengambil Davin dariku, siap-siap saja menemui ajalnya!
Aku tetap terpaku di sana, menatap Dara dengan tajam. Pikiranku melayang jauh.
Aku benar-benar memiliki keinginan yang kuat untuk menghabisi kloning Shani ini.
Saking kuatnya keinginan itu, aku sampai merasa niat membunuh ini sangat mengerikan ...
Bahkan aku sendiri sampai merasa menggigil.
"Shani sudah siuman!" Tiba-tiba, Clara berteriak sambil melangkah keluar dari kamar inap. Dia dengan rasa gembira mencoba memanggil dokter.
Aku merasa tertegun untuk sesaat, seakan-akan dunia berputar cepat di sekitarku.
Shani?
Aku kembali sadar.
Ternyata, aku benar-benar sudah sadar.
Namun, tubuhku masih terasa kaku dan kesulitan untuk bergerak.
Dokter memasuki bangsalku dengan tergesa-gesa untuk melakukan pemeriksaan terhadap kondisiku.
"Kondisi fisik pasien saat ini masih sangat lemah. Biarkan dia beristirahat untuk memulihkan diri."
Setelah menjelaskan secara singkat, dokter itu meninggalkan ruangan bersama seorang perawat.
Clara menghampiri ranjang tempatku berbaring dengan mata memerah. Tampaknya sahabatku yang cengeng ini banyak menangis. Sambil menggenggam tanganku, dia berkata dengan lega, "Shani, syukurlah. Kamu akhirnya siuman."
Walaupun bukti-buktinya sudah sangat jelas, Clara tetap berpegang teguh pada keyakinannya bahwa aku adalah Shani ...
"Shani ... " Davin memanggil namaku ketika dia memasuki ruangan. Dia meraba wajahku dengan ekspresi cemas. Kening kami saling bersentuhan hingga aku dapat merasakan suhu hangat dari air mata Davin yang menetes.
Tampaknya ketakutan akan kepergianku begitu menyesakkan hatinya.
Perasaan ini, entah kenapa, rasanya benar-benar hangat ...
Rasanya seolah-olah aku telah menemukan tujuan dan arti hidupku di dunia ini.
Bersamanya, aku kembali memiliki alasan untuk tetap hidup.
Sepertinya, mulai sekarang akhirnya aku memiliki harapan dan semangat untuk terus melanjutkan kehidupan.
Aku yang dulu tidak pernah tahu arah dan tujuan hidupku sendiri.
Aku telah berhasil selamat dari permainan maut di gedung reruntuhan. Aku juga telah melewati fase ketika terjebak dalam obsesi yang tak terkendali. Dengan semua pengalaman ini, aku bertekad untuk tidak bertindak bodoh lagi, untuk tidak bertindak kejam dan kekanak-kanakan seperti mengakhiri nyawaku atau melukai diri sendiri lagi.