Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Misteri KematiankuMisteri Kematianku
Oleh: Webfic

Bab 500

Sebelumnya, aku pernah beranggapan bahwa kematian bisa memberikan rasa sakit pada mereka yang menyakitiku. Tindakan ini merupakan bentuk penolakan dan perlawanan yang paling tegas kepada organisasi. Namun, kini aku menyadari betapa naifnya tindakanku itu. Alih-alih menyakiti orang-orang jahat, tindakanku hanya menimbulkan kesedihan bagi orang-orang yang menyayangiku. Orang yang aku sayang akan merasakan keputusasaan dan kehancuran yang tak berkesudahan. Oleh karena itu, mulai saat ini aku akan lebih menghargai nyawaku. Aku mengumpulkan segenap tenagaku untuk mengulurkan tangan ke pipinya. Sambil menyentuh wajah Davin, aku menyunggingkan senyum lemah. "Davin, lama nggak berjumpa." Lama sekali tidak berjumpa. Davin-ku. Tubuh Davin gemetar sesaat. Ketika memejamkan matanya, aku merasakan air matanya yang hangat mengenai bulu mataku. Mengapa dia mudah sekali meneteskan air mata ... Ketika sedang memukuli orang dengan membabi buta, sisi sensitifnya yang cenderung mudah menangis seperti ini sama sekali tidak kelihatan. "Aku terus berdoa, berdoa semoga kamu nggak kenapa-kenapa ... " Davin berbisik dengan suara yang gemetar. Pasti dia takut sekali. "Bahkan seorang genius sepertimu pun percaya pada Tuhan, ya?" Aku bercanda, terkekeh dengan lemah. Davin pun merespons dengan senyuman. "Sejujurnya, aku nggak terlalu percaya Tuhan, tetapi ketika hati merasa hampa, ternyata manusia memang membutuhkan sandaran, Shani." Aku menatapnya dengan tatapan heran. Namun, mendadak aku teringat sebuah insiden kecil dari masa lalu. Itu hanya sebuah insiden kecil. Namun, kenangan itu tetap terpatri jelas di ingatanku. Dalam ingatanku, aku memiliki seorang teman sekelas di SMA yang menderita kanker. Meski tidak terlalu memercayai keberadaan Tuhan di dunia ini, neneknya selalu berdoa setiap hari. Dia memohon berkat untuk kesehatan dan kesembuhan cucunya. Demi kesembuhan sang cucu, wanita tua berusia lebih dari enam puluh tahun itu mendaki gunung tanpa henti. Meskipun setiap tiga langkah harus berhenti atau membungkuk, dia tetap rajin untuk berdoa bagi cucunya. Teman-teman sekelas mencemooh gadis yang menderita kanker tersebut. Mereka beranggapan bahwa neneknya terlalu memercayai mitos dan melakukan tindakan-tindakan yang tidak masuk akal. Waktu itu, aku pun tidak benar-benar dapat mengerti dengan tindakan neneknya. Aku ingat betul bahwa gadis penderita kanker itu nyaris kehilangan nyawanya. Namun, setiap hari dia tetap selalu ceria. Akhirnya, aku pun menanyakan tentang rasa penasaranku padanya. "Apa kegiatan berdoa yang nenekmu lakukan setiap hari betul-betul membantu kesembuhanmu? Di dunia ini, nggak ada yang namanya Tuhan." Dia menjawab dengan senyum merekah. "Nenekku adalah cahaya Tuhanku." Aku tertegun mendengar jawabannya. Untuk sesaat, aku tidak bisa memproses arti kata-katanya. Namun, kini akhirnya aku paham dengan maksudnya. Apakah aku Shani atau bukan, hal itu tidak akan menjadi masalah. Semenjak mereka mulai melihat diriku sebagai Shani, aku sepertinya telah menjadi ‘cahaya’ bagi mereka. Seseorang yang menjadi sumber semangat dan harapan bagi mereka. Oleh karena itu, aku harus menjalani kehidupanku dengan baik. Aku akan hidup dengan baik hingga tiba saatnya Davin tidak bergantung padaku lagi. "Kamu nggak boleh dengannya. Kamu nggak boleh memperhatikan dia. Kamu cuma boleh memperhatikan aku seorang. Seperti apa pun penampilanku, maka seperti itulah tipemu, paham?" kataku dengan tegas menyuruh Davin agar tidak menatap Dara, dan aku tidak ingin dibantah. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan merasa cemburu pada wajah masa laluku sendiri. "Baiklah ... " Akan tetapi, inilah Davin-ku. Davin yang selalu menurut dan senang bermanja-manja denganku seorang. … Sesudah menumpahkan semua kecemburuanku, aku pun kembali tidak sadarkan diri. Namun, kali ini aku hanya tidur, bukan pingsan. Tanpa memikirkan apa-apa, tanpa mengkhawatirkan sesuatu atau merasa ketakutan, aku tertidur dengan damai. Perasaan ini sangat menyenangkan. "Dasar jalang!" Aku tidak sadar seberapa lama aku telah tertidur. Namun, saat aku hendak bangun, telingaku menangkap suara sumpah serapah dari seseorang. Itu Yesa yang mengumpat. Orang ini memang sering menggunakan kata-kata kotor. "Jangan sekali-sekali menggunakan kata-kata kotor saat ada aku di sini. Ingat, aku masih anak SMA." Yoga menasihati Yesa sambil memperingatkannya. "Kamu sebentar lagi harus ikut ujian masuk perguruan tinggi, 'kan? Kenapa masih di sini? Pulang saja dan minum susu, dasar bocah nakal." Yesa berkata dengan ekspresi yang terlihat murung. Tampaknya, ada seseorang yang telah menyulut amarahnya. Saat mataku terbuka, yang pertama kulihat adalah Yoga dengan tubuh menjulang setinggi 1,9 meter. Yoga memasang senyum masam ketika dia menghampiri Yesa. Dengan gerakan cepat, dia menangkap kerah belakang pakaian Yesa. Yoga pun memperingatkannya dengan nada rendah. "Jangan berbuat macam-macam di sini." Setelah itu, dia melemparkan Yesa keluar dari bangsal dan membanting pintunya dengan kencang. Yoga menepuk tangannya. Dia berbalik untuk melihat Davin yang tetap betah di samping ranjang dengan ekspresi muram. Yoga seolah-olah beralasan. "Dia sangat berisik." Mata Davin masih merah padam. Ekspresinya yang sulit ditebak dan tatapan matanya yang tajam membuat orang merasa takut. Dia melihat Yoga sekilas sebelum akhirnya memberi perintah dengan tegas. "Kamu juga pergi dari ruangan ini." "Oh." Yoga menjawab dengan patuh. Dia pun beranjak meninggalkan ruangan. Sebelum benar-benar pergi, Yoga memastikan untuk menutup pintu bangsal dengan hati-hati.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.