Bab 1
Kakak perempuanku kabur dari pernikahannya dengan seenak hati. Sebagai gantinya, aku dikirim untuk melayani putra sulung keluarga kaya dari Kota Baruna, Stefan Baskoro.
Namun begitu kakakku kembali, aku langsung dibuang begitu saja.
Selama tiga tahun ini, akulah yang menemani dan merawat pria itu. Selain itu, aku jugalah yang selalu dipermalukannya, dan dijadikan objek pelampiasannya.
Semua orang mengira aku sangat mencintainya, bahkan Stefan sendiri pun berpikir begitu.
Namun, tepat di hari ketika dia melamarku dengan mewah, aku mengambil cincin itu dan melemparkannya ke wajahnya, sambil tersenyum dingin dan tanpa perasaan. "Kak Stefan, ini cuma main-main, kenapa jadi dianggap serius?"
...
"Sheila, aku kalah taruhan, temani dia semalam."
Di tahun keempat hubunganku dengan Stefan, dia menjadikan aku taruhan di meja judi, dan dia kalah melawan musuh bebuyutannya, Hans Lianto.
Saat itu, aku yang berbalut gaun tipis sedang duduk di pangkuannya, sambil memegang pemantik untuk menyalakan rokoknya.
Aku nyaris tersengat api begitu mendengar ucapannya, mataku pun langsung memerah.
"Kak Stefan, aku nggak mau sama dia, aku milikmu seorang."
Aku panik hendak menciumnya, tetapi dia dengan santai menahanku, lalu mengelus kepalaku dengan manja. "Sheila, yang manis ya."
Selesai bicara, dia melemparkan aku ke atas meja judi, seolah-olah sedang membuang sampah.
Lampu terang menyinariku dari atas. Aku meringkuk di atas meja judi, menahan tatapan hina dari orang-orang di sekeliling.
Mereka memang pantas menghinaku. Aku tidak punya harga diri, aku hanya mainan Stefan yang bahkan tidak bisa disebut kekasih.
Orang yang dia cintai adalah Valentina, orang disebut sebagai kakakku, seorang putri yang sejak lahir selalu dimanja.
Sedangkan aku, Sheila, hanyalah anak haram yang baru diakui Keluarga Jayadi. Di permukaan aku disebut Nona Sheila, tetapi di belakang aku diperlakukan seperti pembantu.
Tiga tahun lalu, sehari sebelum pernikahan Valentina dan Stefan, Valentina kabur ke luar negeri.
Tak lama setelah itu, aku diakui kembali oleh Keluarga Jayadi, lalu memanfaatkan kesempatan itu untuk menggantikan Valentina dan tanpa malu-malu aku naik ke ranjang Stefan.
Sejak saat itu, dia menganggap aku yang mengusir kakakku, dan menilaiku sebagai wanita mata duitan, lalu memperlakukanku dengan segala penghinaan.
Saat ini, dari seberang meja judi, tatapan Hans padaku penuh hasrat dan agresi. Dia lalu memastikan ulang. "Pak Stefan, kamu benar-benar rela? Semalam saja cewek secantik ini bersamaku, mungkin nyawanya tinggal separuh!"
Semua orang di lingkaran itu tahu, Hans punya kelainan, yaitu suka menyiksa pasangannya.
Setiap wanita yang pernah bersamanya pasti penuh luka. Cukup sebut nama Hans, mereka akan gemetar.
Aku menoleh, memohon pada Stefan dengan tatapan penuh harap: "Kak Stefan ... "
"Secantik apa pun, setelah tiga tahun juga bosan."
Stefan mengabaikan permohonanku, menyalakan rokok dengan tenang, lalu berkata dengan datar, "Terserah mau diapakan, lakukan di sini saja."
"Pak Stefan benar-benar kejam, seleranya juga ekstrem!"
Hans, si bajingan tak tahu malu itu, berdiri dan perlahan mendekatiku. "Pak Stefan, kalau kamu mau nonton langsung, aku juga nggak keberatan."
Dia pun mencengkeram pergelangan kakiku dan menarikku ke bawah tubuhnya.
Aku menangis, menatap Stefan sambil mengulurkan tangan. "Kak Stefan ... tolong aku ... Sheila benar-benar takut ... "
Asap rokok mengepul, membuat wajahnya terlihat samar, agak sulit bagiku untuk melihat dengan jelas.
Yang terdengar hanyalah beberapa kali batuknya, dan suara dingin yang menusuk tulang. "Sheila, jangan bikin aku malu!"
Mendengar dia batuk, aku menggigit bibirku kuat-kuat, kukuku patah di atas meja judi, darah merembes dari sela jariku.
Aku memaksakan senyum. "Kak Stefan, aku menurut ... jantungmu lemah, jangan marah ya."
Stefan memang mengidap penyakit jantung sejak lahir, dan tidak boleh emosi berlebihan.
Tiga tahun lalu, demi menikah dengan Valentina, dia mengambil risiko besar dan menjalani transplantasi jantung.
Kupikir, dia sangat mencintai Valentina, dan ingin hidup bersama gadis itu sampai tua.
Namun, akhirnya, Valentina malah kabur. Meski operasinya berhasil, Stefan sangat terpukul dan nyaris meninggal.
Selama tiga tahun ini, akulah yang menemaninya siang dan malam, melewati masa-masa sakit, tetapi pada akhirnya ... dia malah menyerahkan aku ke orang lain.
Dalam kebingungan, tubuhku ditekan Hans di atas meja judi, suara sorak-sorai terdengar di sekeliling.
Aku mulai melawan, sekuat tenaga.
Tiga tahun bersamanya, aku tahu Stefan menderita OCD berat.
Biasanya, kalau ada pria lain tidak sengaja menyentuhku, dia akan memandikanku sendiri.
Kalau malam ini aku benar-benar disentuh Hans, dia pasti tidak akan menginginkanku lagi!
Saat melawan, kukuku melukai leher Hans, dan dia menamparku dengan keras.
Dia menarik rambutku dan membanting kepalaku ke meja.
Kepalaku pusing, dia mencekik leherku dengan satu tangan dan merobek pakaianku dengan tangan lain, lalu tertawa seram. "Berani melawan? Aku suka! Terus saja!"
Dia memelintir lenganku, bersiap merobek bajuku di depan umum ...
"Cukup."
Di saat genting itu, akhirnya seseorang menyela.
Itu Stefan, nadanya tenang, emosinya tidak terbaca. "Aku bilang suruh main, bukan sampai membunuh."
Aku mengangkat kepala dengan susah payah, menatapnya, lalu memanggil dengan penuh rasa terluka. "Kak Stefan ... "
Dia mengalihkan pandangannya, menunjuk Hans dan berkata, "Lepaskan dia. Lahan di utara kota, aku berikan untukmu."
Seorang wanita ditukar dengan sebidang tanah, jelas sangat sepadan.
Begitu Hans melepasku, aku buru-buru menutupi dadaku dengan kedua tangan, lalu tersenyum manis pada Stefan. "Kak Stefan, aku tahu ... kamu nggak tega ... "
"Valen, sudah puas dengan bukti yang kamu minta?"